Konsep al-Qur’an tentang Baik dan buruk, Hubungan Akal dan Wahyu dan Prinsip Kebebasan Memilih bagi Manusia
PENDAHULUAN
Al-Quran Al-Karim adalah satu-satunya wahyu yang masih ada hingga sekarang. Ia merupakan kitab yang tidak pernah tercampur dengan kebathilan, dari mana pun datangnya.
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya. (QS. Al-Baqarah : 2 )
Begitulah keadaan Al-Quran, yang tidak ada pengurangan atau penambahan sedikit pun, sejak diturunkan hingga saat ini. Semua ini merupakan jaminan dan penjagaan Allah Swt. dari hal-hal yang demikian, baik dari jin maupun manusia.
Sebagai umat yang dipilih Allah Swt., sudah seharusnya umat Islam menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup dan mengaktualisasikan dirinya secara aktif. Bukan sebaliknya, pasif dan membisu, sebagaimana orang-orang jahiliyah dulu yang menutup telinganya terhadap Al-Quran[1].
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam Al-Quran banyak ilmu yang dapat kita ambil yang kemudian bisa kita terapkan dalam hidup kita. Di dalam Al-Quran juga terkandung banyak berita dan penjelasan tentang zaman dahulu sampai hari akhirat kelak. Yang semua itu tersusun dengan sangat rapi. Dan terjamin kebenarannya.
Dari sekian banyak pembahasan yang ada sebagian kecilnya adalah tentang kebaikan dan keburukan, tentang hubungan akal dan wahyu, dan tentang kebebasan memilih bagi manusia. Dari ketiga pembahasan yang disebutkan di atas akan dikupas dan diuraikan lebih lanjut dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BAIK DAN BURUK MENURUT AL-QUR’AN
Baik dan buruk itu seringkali kita kaitkan dengan sifat atau karakter seseorang. Dalam Al-Qur’an, banyak kata yang digunakan untuk menunjukkan baik dan buruk ini.
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang disebut dengan baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempunaan.
Kata-kata yang menunjukkan baik diantaranya :
1. Al-Hasanah
Al-Hasanah menurut al-Raghib al-Asfahani adalah untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Kemudian hasanah dibagi menjadi 3 bagian yakni: dari segi akal, segi hawa nafsu/keinginan dan juga dari segi panca indera. Lawan dari al-hasanah adalah as-sayyiah. Yang termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan, rizki dan kemenangan. Sedangkan as-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan[2]. Misalnya pada ayat:
äí÷Š$# 4’n<Î) È@‹Î6y™ y7În/u‘ ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9ω»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u‘ uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#‹Î6y™ ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïωtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[3]dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(an-Nahl: 125)
2. Thoyyibah
Kata ini khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada panca indera dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya[4].
$oYù=¯=sßur ãNà6ø‹n=tæ tP$yJtóø9$# $uZø9t“Rr&ur ãNä3ø‹n=tæ £`yJø9$# 3“uqù=¡¡9$#ur ( (#qè=ä. `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB öNä3»oYø%y—u‘ ( $tBur $tRqßJn=sß `Å3»s9ur (#þqçR%x. öNßg|¡àÿRr& tbqßJÎ=ôàtƒ ÇÎÐÈ
Artinya: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa"[5]. makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka Menganiaya kami; akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri”. (al-Baqarah: 57)
3. Khairan
Kata ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah asy-syarr. [6]
`tB uä!%y` ÏpoY|¡ysø9$$Î/ ¼ã&s#sù ׎öyz $pk÷]ÏiB ( `tBur uä!$y_ Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$$Î/ Ÿxsù “t“øgä† šúïÏ%©!$# (#qè=ÏHxå ÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# žwÎ) $tB (#qçR%x. šcqè=yJ÷ètƒ ÇÑÍÈ
Artinya: “Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan”. (al-Qashash: 84)
`tBur tí§qsÜs? #ZŽöyz ¨bÎ*sù ©!$# íÏ.$x© íOŠÎ=tã ÇÊÎÑÈ
Artinya: “Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[7] kebaikan lagi Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah: 158)
4. Al-Mahmudah
Kata ini digunakan untuk menunjukkan sessuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. dengan demikian kata ini menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual.[8]
z`ÏBur È@ø‹©9$# ô‰¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7tƒ y7•/u‘ $YB$s)tB #YŠqßJøt¤C ÇÐÒÈ
Artinya: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”.(al-Isra’:79)
5. Al-Karimah
Kata ini untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata ini digunakan untuk menunjukkan hal yang terpuji yang skalanya besar, seperti menafkahkan harta dijalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua dan sebagainnya.[9]
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”[10].(al-Isra’:23)
6. Al-Birr
Kata ini untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut kadang digunakan untuk menunjukkan sifat Allah dan terkadang juga digunakan untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah Allah memberikan pahala yang besar dan jika digunakan untuk manusia, maka yang dimaksud adalah ketaatannya. [11]
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q—9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿Íh‹Î;¨Z9$#ur ’tA#uäur tA$yJø9$# 4’n?tã ¾ÏmÎm6ãm “ÍrsŒ 4†n1öà)ø9$# 4’yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur ’Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# ’tA#uäur no4qŸ2¨“9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdωôgyèÎ/ #sŒÎ) (#r߉yg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur ’Îû Ïä!$y™ù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y‰|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (al-Baqarah: 177)
Dalam Al-Qur’an, baik adalah segala hal yang meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi akal, fisik, rohani, jiwa, kesejahteraan didunia dan kesejahteraan di akhirat serta akhlak yang mulia. Dengan tolak ukur, selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan keridlaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan akhlak dikatakan baik jika dilakukannya karena inisiatif sendiri dan ikhlas hanya karena Allah. Jadi baik dan buruk itu tergantung pada niatnya.
Selain itu, baik dan buruk itu juga dilihat dari cara melakukannya. Jika niatnya baik namun cara melakukannya tercela maka perbuatan tersebut dianggap tercela atau tidak baik dan sebaliknya.
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy™ ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $ydu‘qègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Dalam al-Qur’an surat asy-Syams ayat 7-8 diatas disebutkan bahwa pada dasarnya walaupun sifat baik dan buruk itu ada dalam diri manusia,ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan dan pada dasarnya manusia cenderung kepada kebajikan.[12]
Sedangkan kata-kata yang menunjukkan buruk misalnya, asy-syar, sai iah, fahsya’ dan lain-lain. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu dikenal istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang bernilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.
B. HUBUNGAN AKAL DAN WAHYU
Akal manusia akan kesulitan untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan tanpa adanya wahyu. Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu yang turun kepada manusia dengan keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Selain itu, karena kemampuan akal ini, manusia menyingkap pengetahuan dan terus meningkatkannya sebagaimana yang telah dilakukannya selama berabad-abad. Karena pengetahuan ini manusia juga mempunyai rasa tanggung jawab. Namun rasa tanggung jawab manusia ini belum dikembangkan secara maksimal.
Namun persoalan akal dan wahyu ini masih dihubungkan dengan dua masalah pokok. Yaitu[13]:
1. Masalah mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan (Husul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifah Allah)
2. Masalah baik dan buruk, kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. (ma’rifah al-husn wa al-qubh dan wujub I’tinaqul hasan wal ijtinabu al-qabih / al-tahsin wa al-taqbih)
Dalam hal ini, pendapat mu’tazilah berlainan dengan pendapat Asy’ariyah. Yakni Mu’tazilah mengatakan bahwa akal mampu mengetahui kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan dengan pemikiran mendalam sebelum diturunkannya wahyu sedangkan kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa semua itu hanya bisa dipahami dari wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.
Al-Syahrastani mengungkapkan bahwa kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. sedangkan wahyu membawa kewajiban-kewajiban.
Akal dapat mengetahui hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Karena akal mampu memilah perbuatan manusia yang membawa efek manfaat bagi manusia dalam hal ini adalah perbuatan baik dan juga hal-hal yang membawa efek kemudlaratan (kejelekan/bahaya) yaitu perbuatan buruk. Al-Juwaini tidak menyangkal konsep tersebut. Akan tetapi akal hanya terbatas pada perbuatan baik dan buruk menurut hukum manusia atau dengan kata lain baik dan buruk berdasarkan atas sifatnya sendiri atau akibatnya, akal manusia bisa mengetahuinya. Sedangkan baik dan buruk menurut syari’at Tuhan, akal tak mampu mencapainya[14].
Al-Qur’an sering menyebutkan bahwa kita harus memberdayakan akal. Namun ada juga yang mengatakan bahwa bagaimana jika penggunaan akal itu justru dikekang?
Dalam hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa pengekangan terhadap akal, meski dengan dalih untuk menyelamatkan agama itu tidak benar. Karena intelektualisme itu merupakan sesuatu yang rapuh sehingga jika dibelenggu pasti akan menemui kematiannya. Namun penggunaan akal harus diletakkan pada posisi yang proporsional. Dalam konteks ayat al-qur’an, akal diletakkan pada posisi keempat setelah ilmu bahasa Arab, Asbabun Nuzul, dan Sunah. Namun jika dipahami, ketiga hal tersebut juga akan dipahami dengan bantuan akal.[15]
C. PRINSIP KEBEBASAN MEMILIH BAGI MANUSIA
Pada dasarnya manusia itu mempunyai kehendak untuk melakukan sesuatu. Kemudian akal menunjukkan kepada kebaikan atau keburukan. Namun setiap apa yang dilakukan oleh manusia itu, pasti akan dimintai pertanggung jawaban.
$ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3
Artinya : “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (al-Baqarah : 286)
Syeih Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyatakan kata “iktasabat” memberi arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, berbeda dengan kata “kasabat” yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa pemaksaan. Dalam ayat ini, beliau mengartikan “iktasabat” sebagai perbuatan-perbuatan manusia yang buruk, sedangkan perbuatan yang baik dengan “kasabat”. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (hal ini tentunya pada saat fithrah manusia masih berada dalam kesuciaannya.[16]
Potensi manusia akan baik dan buruk ini, membebaskan manusia untuk memilih akan tetapi dia sendiri yang harus mempertanggungjawabkan pilihannya dan tak boleh diwakilkan. Namun tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu pengetahuan, kemampuan dan kesadaran. Jadi dalam hal ini terdapat dua kaidah yaitu[17]:
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya.
Selain itu pertanggungjawaban juga dilakukan berdasarkan niat dan kehendaknya. Seperti perbuatan yang disengaja atau tidak disengaja. Baik sengaja berbuat baik atau tidak berbuat baik dan juga tidak sengaja berbuat baik atau berbuat tidak baik.
Tolak ukur kelakuan baik dan buruk mesti merujuk pada ketentuan Allah. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Hal ini diwujudkan dalam sifat-sifat Allah sedangkan sifat-sifat Allah yang tidak sesuai untuk manusia seperti Kibriya’ (keangkuhan Allah), hal ini tidak akan disandang oleh Allah kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, atau terhadap orang yang merasa dirinya superior. Namun dalam suatu riwayat disebutkan bahwa bersikap angkuh pada orang yang angkuh adalah sedekah.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa baik adalah perbuatan manusia yang membawa efek manfaat bagi manusia sedangkan buruk adalah hal-hal yang membawa efek kemudharatan (kejelekan/bahaya). Akal mampu mrngetahui hal-hal yang baik dan buruk, akan tetapi akal hanya terbatas pada perbuatan baik dan buruk menurut hukum manusia atau dengan kata lain baik dan buruk berdasarkan atas sifatnya sendiri atau akibatnya, akal manusia bisa mengetahuinya. Sedangkan baik dan buruk menurut syari’at tuhan, akal tak mampu mencapainya.
Baik dan buruk itu relatif, tergantung niat dan cara melakukannya. Jika niatnya baik namun cara melakukannya tidak benar maka hal tersebut dianggap tidak baik begitu juga jika niatnya jelek dan cara melakukannya benar. Namun jika niatnya baik dan cara melakukannya benar, maka hal tersebut dianggap baik.
Manusia diberi kebebasan untuk memilih. Namun dengan potensi akal manusia akan hal baik dan buruk ini mengharuskan manusia untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami sampaikan yang pasti masih sangat jauh dari kesempurnaan. Dan semoga bermanfaat bagi penulis maupun pembaca sekalian. Kritik dan saran akan menjadi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad, Al-Quran Kitab Zaman Kita, Bandung: PT Mizan Pustaka
2008
Kiswati, Tsuroya, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Islam, Jakarta: Erlangga
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 1983
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawwuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet.5, 2003
Rahman, Fazlur, Hermeneutika Al-Qur’an, Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2007
Syihab, M Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: PT. Mizan Pustaka, cet.2, 2007
[1] Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Al-Quran Kitab Zaman Kita, 2008, Bandung : PT Mizan Pustaka, hal. 23-24
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf,2003, Jakarta: PT. Grafindo Persada, hal. 120
[3] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil
[4] Op. Cit. hal. 121
[5] Salah satu nikmat Tuhan kepada mereka Ialah: mereka selalu dinaungi awan di waktu mereka berjalan di panas terik padang pasir. manna Ialah: makanan manis sebagai madu. Salwa Ialah: burung sebangsa puyuh
[6] Abuddin Nata, Op. Cit, hal. 121
[7] Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya
[8] Abuddin Nata, Op.Cit, hal. 121
[9] Abuddin Nata, Op. Cit, hal. 122
[10]Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
[11] Abuddin Nata, Op. Cit, hal. 122
[12] M. Quraish Shihab, 2007, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan Media Utama, hal. 338
[13] Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: Universitas Indonesia, hal. 79
[14] Dr. Tsuroya Kiswati, 2005, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,Jakarta: Erlangga, hal.174
[15] Fazlur Rahman,2007, Hermeneutika Al-Qur’an, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 47
[16] M. Quraish Shihab, op.cit, hal. 340
[17] M. Quraish Shihab, Op.Cit, hal. 343
Komentar
Posting Komentar