Berbagai penolakan muncul akibat Keputusan MK pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang diubah menjadi:
"anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".
Keputusan MK ini cukup menimbulkan permasalahan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Indonesia karena hal ini di anggap bertentangan dengan hukum islam. Dalam hukum islam disebutkan bahwasannya anak yang lahir diluar nikah, hanya mempunyai hubungan darah dengan ibunya. Hal ini juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh empat ulama madzhab Hambali, Hanafi, Maliki dan Syafi’ie. Mereka berpendapat bahwasannya anak hasil zina itu tidak mempunyai hubungan nasab dengan pihak laki-laki, dalam arti anak tersebut tidak memiliki bapak, meskipun si-laki-laki yang menebar benih tersebut mengakui keberadaan anak tersebut.
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra juga disebutkan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Nasab anak itu dari perkawinan yang sah sedangkan bagi pezina itu adalah batu rajam. (HR. Muslim: 2646).
Berdasarkan hadits ini, jumhur ulama juga berpendapat bahwasannya tidak boleh menasabkan anak zina kepada lelaki yang berzina dengan ibunya. Hadits inilah yang mungkin menjadi pangkal dari perbincangan yang muncul terkait keputusan MK. Wacana yang terdengar terkait keputusan Mk adalah adanya persepsi bahwa keputusan tersebut berarti juga melegalkan anak hasil zina atau anak yang lahir tanpa nikah. Namun hal ini ditolak secara tegas oleh ketua pengadilan tinggi Agama Semarang “Dr. Khotib Rasyid yang mengatakan bahwasannya yang dimaksud kata diluar perkawinan adalah sesuai dengan UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang berarti bahwa anak diluar perkawinan adalah perkawinan secara sah. Hal ini sebagaimana anak hasil pernikahan siri yang tidak dicatatkan seperti perkara Macica Mukhtar.
Dalam fiqh al-hanafi disebutkan: “Seandainya seseorang telah berzina dengan seorang perempuan, lalu perempuan itu hamil kemudian menikah dan melahirkan anak. Jika anak itu lahir (selepas perkawinan) dalam tempo 6 bulan atau lebih maka ditetapkan nasabnya kepada bapaknya. Jika anak itu lahir kurang dari 6 bulan maka tidak ditetapkan nasab anak itu kepadanya.
Sedangkan dalam KHI pasal 186 sendiri juga disebutkan bahwasannya anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Dan pada pasal 53 ayat 1 KHI disebutkan bahwa menurut hukum, seorang perempuan yang hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan wanita yang hamil di luar nikah dengan pria yang menghamilinya dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya (Pasal 53 ayat [2] KHI). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir (Pasal 53 ayat [3] KHI).
Permasalahan nasab anak diluar nikah juga disebutkan dalam UU Perkawinan yang menyebutkan bahwasannya pada dasarnya anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Yaittu tertera pada UUP pasal 43 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Dengan berdasarkan pada UU Perkawinan, KHI serta pendapat Ulama’ salaf maka muncullah perdebatan terkait keputusan MK. Namun saat MUI menyanggah dan menyalahkan keputusan MK tersebut, justru MUI dibantah oleh MK dengan dalih bahwasannya keputusan ini diambil untuk menjaga anak yang dilahirkan dan memberikan hak-nya serta menjadi alat untuk menanggulangi adanya jajan bebas bagi kaum Adam.
Komentar
Posting Komentar