PENDAHULUAN
Banyaknya khazanah keilmuan pada zaman sekarang ini telah menjadi bukti meningkatnya sumber daya manusia di dunia. Fenomena ini menyebabkan banyak penemuan-penemuan baru yang muncul sehingga penemuan-penemuan terdahulu seakan tenggelam begitu saja. Hal ini tidak hanya berdampak pada keilmuan non-Islam saja akan tetapi juga berdampak pada keilmuan Islam. Khususnya penemuan-penemuan dalam hal keibadatannya.
Dalam hal ibadah, banyak problema yang muncul diantara kaum muslimin. Mulai dari hal-hal yang berkaitan langsung dengan ibadah-ibadah tersebut maupun yang tidak langsung namun juga berkaitan erat dengan sah tidaknya ibadah tersebut. Mulai dari permasalahan haji sampai dengan permasalahan shalat yang sudah umum kita laksanakan dan sudah tidak asing lagi. Misalnya dalam hal penentuan awal bulan sebagai pedoman pelaksanaan puasa Ramadlan, Idul Adha, maupun Idul Fitri. Selain itu bisa juga dalam penentuan awal maupun akhir waktu shalat yang lima.
Dalam permasalahan ini, banyak konsep perhitungan maupun penentuan yang bisa dijadikan acuan sehingga dengan adanya perbedaan-perbedaan dalam perhitungan tersebut mengakibatkan munculnya perbedaan dalam hasil. Mulai dari perhitungan hakiki sampai perhitungan yang sudah dengan metode kontemporer dengan menggunakan peralatan-peralatan dengan konsep yang berbeda pula.
Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, data astronomi sangat dibutuhkan dalam penentuannya dan tidak mungkin setiap orang mampu menetapkannya sekejap saja sebelum mereka melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Sehingga muncullah berbagai macam peralatan yang khusus digunakan untuk penghitungan awal bulan maupun penghitungan awal waktu shalat. Diantaranya adalah rubu’.
Rubu’ dengan bentuk ¼ lingkaran ini juga dikenal dengan nama kuadran. Alat ini juga merupakan salah satu alat yang digunakan oleh para ilmuan ahli falak untuk menentukan hal-hal yang terkait dengan ibadah-ibadah mahdloh. Hal-hal yang terkait itu tentunya berkaitan dengan data-data astronomi. Dalam kajian kali ini, kami ingin mencoba untuk menelaah lebih dalam mengenai rubu’ dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Rubu’ atau Rubu’ mujayyab secara bahasa berarti seperempat. Rubu’ merupakan suatu alat hitung yang berbentuk seperempat lingkaran. ada juga yang mengatakan bahwa rubu’ adalah revolusi dari kuadrant. Yaitu alat hitung yang pernah di munculkan oleh Al-Khawarizmi dan Ibn Shatir. Alat ini berfungsi untuk alat bantu menghitung fungsi geniometris yang berguna untuk memproyeksikan peredaran benda-benda langit pada bidang vertical atau lingkaran vertical[1]. Rubu’ ini biasanya terbuat dari kayu atau semacamnya yang salah satu mukanya dibuat garis-garis skala sedemikian rupa.[2]
gambar 1[3]
Sebelum dikenal daftar logaritma, daftar logaritma dilakukan dengan rubu’ ini. Dalam bukunya Muhyiddin Khazin disebutkan bahwa rubu’ ini telah dibahas dalam Badi’atul Mitsal dan Taqribul Maqshad yang ditulis pada tahun 1930-an. Selain itu, pembahasan mengenai rubu’ juga dapat ditemukan dalam kitab Tibyan al-miqat yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri dan juga kitab Durusul Falakiyyah yang ditulis oleh Syaih Muhammad Ma’shum Bin Ali,[4] Jombang.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN RUBU’
Rubu’ mujayyab merupakan alat yang digunakan untuk memecahkan seluruh masalah dasar pada astronomi ruang (masalah yang berhubungan dengan pemetaan ruang langit) untuk ketinggian tertentu[5]. Alat ini dengan menggunakan nilai derajat dalam pengaplikasiannya dan juga dengan data-data yang sangat minimalis yang tertera pada salah satu sisi muka rubu’ ini.
Pada awalnya penggunaan rubu’ adalah pengganti dari astrolabe[6]. Mengenai kapan munculnya rubu’ tidak pasti kapan ditemukan. Dalam kitab durusul falakiyyah maupun kitab tibyanul miqat yang merupakan kitab khusus membahas tentang rubu’ juga tidak dijelaskan kapan, dimana, dan bagaimana perjalanan rubu’ mujayyab ini.
Pada abab ke-11, para astronom muslim mesir mulai mengembangkan alat ini. Perputaran harian yang terlihat pada ruang angkasa disimulasikan dengan gerak benang tegang yang terletak pada pusat rubu’, dengan sebuah manik-manik yang bergerak pada benang ke posisi yang berhubungan degan matahari atau bintang tertentu, posisi tersebut dibaca pada tanda-tanda dalam rubu’. Maka benang dan manik-manik menggantikan rete pada astrolabe[7]. Jauh lebih mudah menggunakan rubu’ dibanding dengan menggunakan astrolabe. Rubu’ pada saat itu depergunakan untuk memecahkan masalah-masalah standar pada astronomi ruang untuk garis lintang tertentu[8].
Pada abad ke-14 sebuah rubu’ yang halus dan unik dibuat dari gading, bukan kuningan atau kayu. Rubu’ ini memliki dua garis lintang. Bagian dalam, perangkat tanda standar di bagian depan berguna untuk garis lintang Kairo. Sedangkan pada bagian luar, perangkat nonstandard berguna untuk garis lintang Damaskus. Bagian belakang alat ini memiliki kisi-kisi standar yang digunakan untuk memecah masalah-masalah geometri secara numerik. Jenis rubu’ seperti ini pada saat itu dinamakan Rubu’ Mesir[9].
Sekitar tahun 1480 para astronom Portugis telah mengatur cara untuk menentukan lintang dengan menggunakan posisi matahari sebagai perpindahan utara dan selatan khatulistiwa dengan musim, dimana kita menyebutnya sebagai "deklinasi ". Dalam hal yang sederhana, para pelaut yang dapat menentukan altura[10] nya, lintangnya, dengan menggunakan kuadran untuk mengambil ketinggian matahari di daerah tengah hari, dan kemudian melakukan koreksi sederhana untuk posisi matahari utara atau selatan khatulistiwa menurut tanggal[11].
Pada abad ke-16 di Afrika Utara terdapat sebuah rubu’ terbuat dari kuningan yang di ukir dengan sangat indah. Rubu’ ini memiliki kisi-kisi sinus standar untuk melakukan fungsi trigonometri. Kisi-kisi ini pada abad pertengahan sebanding dengan penggaris geser yang ada sekarang. Bagian belakang pada alat ini memiliki penandaan yang menarik yang mungkin tidak lengkap. Lingkaran luar kemungkinan menunjukan ekuator langit, lingkaran terkecil tidak diberi tanda dan tidak memiliki fungsi yang jelas. Bulan sabit merupakan proyeksi setereografi dari eklipsi (gerhana)[12].
Mengikuti jalan perkembangannya, rubu’ telah menyebar ke penjuru dunia, salah satunya Indonesia. Penyebaran itu salah satunya berkat para asronom muslim yang giat melakukan penggamatan-pengamatan. Beberapa tokoh yang berperan dalam pengkembangan rubu’ ini antara lain; al-Khawarizmi ( 770-840 H ), dan Ibnu Shatir ( abad ke-11 H ). Rubu’ Mujayyab yang berkembang di Indonesia adalah jenis Rubu’ yang telah dikembangkan oleh Ibnu Shatir.[13]
C. BAGIAN-BAGIAN RUBU’
Gambar 2[14]
Dalam rubu’ terdapat beberapa bagian, diantaranya markaz, Qous, Jaib, Sittiny, hadafah, khoit, muri, dan syakul. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:[15]
1) Qous (Busur) yaitu bagian yang melengkung. Qous yang dalam bahasa arab biasa diartikan dengan busur, mempunyai tiga bagian sama besar dan setiap bagian besarnya adalah 30˚ untuk satu buruj. Qousul Irtifa’ yaitu busur yang mengelilingi rubu’ bagian inilah yang diberi skala derajat 0 sampai 90 berawal dari kana kekiri.[16] Dalam penggunaan rubu’ ini, busur dihitung dari jaib tamam dan berakhir pada jaib sittiny.
2) Jaib yaitu perbandingan antara sisi siku-siku didepan suatu sudut dengan sisi miring pada suatu segitiga siku-siku. Dalam geneometri biasa disebut dengan sinus.[17] Jaib (sinus) yaitu satu sisi tempat mengincar yang memuat skala yang mudah terbaca berapa sinus dari tinggi suatu benda langit yang dilihat. Jaib ini mempunyai beberapa bagian diantaranya[18]:
Jaib Mabsuth yaitu garis lurus yang ditarik dari tiap-tiap titik satuan skala pada jaib tamam menuju ke Qous.
Jaib Mankus yaitu garis lurus yang ditarik dari tiap-tiap titik satuan skala pada sittiny menuju ke Qous.
Jaib at-Tamam (Cosinus) yaitu sisi kanan yang menghubungkan markaz ke awal qous. Bagian ini diberi skala 0-60. Jaib ini memuat skala-skala yang mudah terbaca berapa cosines dari tinggi benda tersebut.
Jaib Aushat
3) Awwalul al-qaus (permulaan busur) yaitu bagian busur yang bberimpit dengan sisi jaib at-tamam.
4) Akhiriul al-qous yaitu bagian busur yang berimpit dengan sisi jaib. Dari awwal al-qous sampai akhir qous dibagi-bagi dengan skala dari 0 derajat sampai dengan 90 derajat.
5) Hadafah (sasaran) yaitu lubang untuk mengincar.
6) Markaz yaitu titik sudut siku-siku, pada sudut ini terdapat lubang kecil untuk memasukkan tali/ khoit yang biasa dibuat dari benang sutera agar tali itu dibuat sekecil-kecilnya.
7) Muri yaitu simpulan benang kecil yang dapat digeser untuk menandai data yang diambil dari jaib maupun qous.
8) Syaqul yaitu ujung tali yang diberi beban yang terbuat dari metal. Apabila seseorang mengincar suatu benda langit maka syaqul tersebut bergerak mengikuti gaya tarik bumi dan terbentuklah sebuah sudut yang dapat terbaca pada qous, berapa tinggi benda langit tersebut dalam bentuk derajat.
D. FUNGSI RUBU’ MUJAYYAB
Rubu’ mujayyab, suatu alat yang telah diciptakan oleh ilmuan muslim terdahulu tentunya juga mempunyai manfaat dan fungsi yang sangat penting bagi kaum muslimin. Diantara fungsi rubu’ tersebut adalah:
1. Alat hitung atau sering dikenal dengan orthogonal grid, jika dilepaskan dari statifnya dan diposisikan secara horizontal,[19] dengan menggunakan nilai derajat. Mengukur ketinggian.
2. Alat ukur mengumpulkan data fisik yang kemudian diolah berdasarkan persamaan tertentu sesuai dengan kebutuhan[20]. Misalnya nilai Jaib yang diubah kedalam nilai qous atau sebaliknya. Misalnya menentukan arah kiblat.
3. Table astronomi. Rubu’ membantu menentukan posisi matahari dalam bujur ekliptika karena konsepsi kosmos yang masyhur kala itu adalah geosentris yang menempatkan bumi sebagai pusat alam semesta.
KESIMPULAN
Rubu’ atau Rubu’ mujayyab secara bahasa berarti seperempat. Rubu’ merupakan suatu alat hitung yang berbentuk seperempat lingkaran. ada juga yang mengatakan bahwa rubu’ adalah revolusi dari kuadrant. Yaitu alat hitung yang pernah di munculkan oleh Al-Khawarizmi dan Ibn Shatir. Alat ini berfungsi untuk alat bantu menghitung fungsi geniometris yang berguna untuk memproyeksikan peredaran benda-benda langit pada bidang vertical atau lingkaran vertical[21]. Rubu’ ini biasanya terbuat dari kayu atau semacamnya yang salah satu mukanya dibuat garis-garis skala sedemikian rupa. Alat ini juga merupakan salah satu alat yang digunakan oleh para ilmuan ahli falak untuk menentukan hal-hal yang terkait dengan ibadah-ibadah mahdloh. Hal-hal yang terkait itu tentunya berkaitan dengan data-data astronomi.
Untuk sejarah rubu’ ini belum kami temukan dalam literature yang kami dapatkan (tibyanul miqat, durusul Falakiyyah dan juga literature-literatur yang lain). Namun dengan pembahasan yang ada, kami menyimpulkan bahwa sejarah perkembangan rubu’ ini memang sudah ada namun telah mengalami perkembangan-perkembangan dari waktu ke waktu. Mulai dari astrolabe, kwadran sampai kepada rubu’ mujayyab itu sendiri.
Rubu’ mempunyai bagian-bagian yang berfungsi untuk orthogonal grid, Alat ukur mengumpulkan data fisik, dan juga sebagai Table astronomi dimana hal ini karena adanya salah satu sisi rubu’ yang memuat data-data yang berupa angka dan bisa digunakan untuk perhitungan tentunya.
Walaupun begitu banyak manfaat dari rubu’ ini namun rubu’ ini masih mempunyai kekurangan yaitu sulitnya dalam penghalusan data yang diambil untuk menentukan suatu hal. Hal ini disebabkan kecilnya satu bagian yang memuat 60 derajat. Sehingga penghitungan yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang yang lainnya memungkinkan akan menghasilkan data yang jauh berbeda pula. Jadi ketelitiannya masih sangat sulit untuk dipersamakan.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat. Banyaknya kekurangan serta kesalahan yang masih perlu diberikan pembenahan sehingga kami mengharapkan koreksi dari para pembaca semua untuk menambah kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, ensiklopedi Hisab Rukyat, cetakan II, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Khazim, Muhyiddin, Kamus Ilmu Falak, 2005, Jogjakarta : Buana Pustaka,
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka
Kholiq, Abdul, Pelajaran astronomi, Nganjuk: Darussalam
Ma’shum bin Ali, Muh., ad-Durusul Falakiyyah, 1992 M / 1412 H, Jombang : Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan
http//: Almalakawi's Blog. Mengukur ketinggian sesuatu dengan rubu’ mujayyab. Htm.
http//: Almalakawi's Blog. Rubu' Mujayyab, الربع لبمجيب Ppt Presentation.htm.
[1] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, hal. 16
[2] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, 2005, Yogyakarta: Buana Pustaka, hal. 69
[3] http//: Almalakawi's Blog. Mengukur ketinggian sesuatu dengan rubu’ mujayyab. Htm. 3 juli 2011(pukul 11.00 WIB)
[4] Dia adalah ahli falak asal Cirebon Jawa Barat. Dia adalah salah satu santri K.H Hasyim Asy’ari selama bertahun-tahun mondok di PP. Tebuireng Jombang. Berkat ketekunan dan keseriusannya membuat Dia menadapatkan kepercayaan sebagai lurah pondok. Kepintaran dan kecemerlangan dalam berfikir dan mengaji khususnya dalam pelajaran ilmu falak, menarik simpati K. H hasyim Asy’ari untuk mengangkatnya menjadi salah seorang menantu yang dinikahkan dengan putrinya Siti Khodijah. Pergulatan dan konsentrasinya dalam menekuni bidang ilmu falak dengan tidak mengabaikan disiplin lainnya ternyata membuahkan hasil. Yaitu karya monumentalnya dalam bidang ilmu falak, Durusul Falakiyyah dan Badi’atul missal. (Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, cetakan II, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 135)
[5] http://maryaniabdulmuiz.blogspot.com/2009/04/melacak-perkembangan-rubu-mujayyab_21.html, diakses ahad, 3 juli 2011, pukul 10.21 WIB
[6] Ibid
[7] Kata astrolabe berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata asto dan labio. Astro berarti bintang sedangkan labio berarti pengukur jarak. Di dalam istilah ilmu falak, astrolabe adalah perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur benda langit pada bola langit. Perkakas ini pertama dirakit oleh orang Arab. Bentuk yang paling sederhana terdiri dari piringan dengan sekala pembagian derajat, dengan sebuah alat pengintai. (Ibid)
Astrolabe adalah sebuah instrumen astronomi berbentuk bulat yang digunakan untuk menentukan lokasi dan memprediksi posisi matahari, bulan, planet, dan bintang. Selain itu, Astrolabe juga kerap dipakai untuk menentukan waktu lokal berdasarkan informasi letak bujur dan letak lintang, survei serta triangulasi. (http://bataviase.co.id/node/212909)
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] arah
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] http//: Almalakawi's Blog. Rubu' Mujayyab, الربع لبمجيب Ppt Presentation.htm. diakses ahad, 3 juli 2011(pukul 11.00 WIB)
[15] Dr. Susiknan Azhari, M. A, ensiklopedi Hisab Rukyat, cetakan II, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 181-182
[16] Muh. Ma’shum bin Ali, ad-Durusul Falakiyyah, 1992 M / 1412 H, Jombang : Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan, hal. 2
[17] Muhyiddin Khazim, Kamus Ilmu Falak, 2005, Jogjakarta : Buana Pustaka, hal. 39
[18] Abdul Kholiq, Pelajaran astronomi, Nganjuk: Darussalam
[19] http://bataviase.co.id/node/212909, diakses ahad, 3 Juli 2011, pukul 11.03 WIB
[20] Ibid
[21] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, hal. 16
Komentar
Posting Komentar