HUKUM TANAH

A.    Pengertian Hukum Tanah dan Macam-Macam Tanah
Hukum tanah (Grondrecht) ialah semua norma yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai tanah[1], yang antara lain mengatur tentang:
1.      Hak dan kewajiban subjek hukum atas tanah
2.      Cara-cara memperoleh tanah
3.      Peralihan hak atas tanah
4.      Semua perjanjian yang berhubungan dengan tanah
B. Ter Haar membedakan dua macam pengertian mengenai hukum tanah, yaitu:
-          Hukum tanah dalam keadaan diam, yakni mengatur tentang hak atas tanah, baik hak pertuanan/hak masyarakat hukum atas tanah maupun hak perseorangan atas tanah seperti hak membuka tanah, hak milik, hak memungut hasil, hak wenang pilih/hak wenang beli, hak keuntungan jabatan atas tanah dan sebagainya.
-          Hukum tanah dalam keadaan bergerak, mengatur tentang hak untuk memperoleh dan memindahkan hak atas tanah, seperti hak menjual tanah, menghadiahkan tanah, menghibahkan tanah, menyediakan tanah untuk badan hukum adat (wakaf, yayasan) dan sebagainya.
Menurut hukum adat, terdapat beberapa jenis tanah yang diberi nama menurut cara memperolehnya atau menurut tujuan penggunaannya.[2]
a.       Berdasar cara memperolehnya dapat dibedakan antara tanah yasan, tanah pusaka dan tanah pekulen.
Tanah yasan/tanah trukah/tanah truko ialah tanah yang diperoleh seseorang dengan cara membuka tanah sendiri. Tanah pusaka/tanah tilaran adalah tanah yang diperoleh seseorang dari pemberian/hibah/warisan dari orang tuanya. Tanah pekulen/tanah gogolan yakni tanah yang diperoleh seseorang dari pemberian desanya.
b.      Berdasarkan tujuan penggunaannya dapat dibedakan antara tanah bengkok dan tanah suksara.
Tanah bengkok/tanah pituwas/tanah lungguh ialah tanah milik desa (persekutuan hukum) yang diserahkan kepada seseorang yang memegang jabatan pemerintah di desa itu untuk diambil hasilnya sebagai upah jabatannya (ambtveld). Tanah suksara/tanah kemakmuran adalah tanah milik desa yang diusahakan/digarap untuk kepentingan desa atau untuk kesejahteraan masyarakat desanya (Jawa: bondo deso, Sunda: Titisara)
B.     Hubungan Persekutuan Hukum dengan Tanah
Dalam hukum adat, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting antara lain karena sifatnya yang tetap. Lebih-lebih dalam masyarakat agraris seperti masyarakat Indonesia ini, hubungan antara persekutuan hukum adat dengan tanah nasih sangat erat karena tanah merupakan tempat tinggal warga persekutuan dan memberikan penghidupan kepada warga persekutuan, sebab di atas tanah inilah ditanam segala sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Selain itu, warga juga mempercayai bahwa tanah merupakan tempat bersemayam para arwah nenek moyang mereka dan menjadi tempat dari berbagai kekuatan gaib yang dianggap sebagai pelindung persekutuan hukum mereka.
Eratnya hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah mengakibatkan kurang dekatnya hubungan antara perseorangan dengan tanah; demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, maka hubungan antara hak persekutuan atas tanah (hak pertuanan, hak ulayat, hak purba) dengan hak perseorangan atas tanah dikatakan bersifat elastis, artinya makin besar hak persekutuan atas tanah, makin kecil hak perseorangan atas tanah tersebut, demikian sebaliknya.
C.    Hak-Hak Persekutuan Hukum atas Tanah
Di lingkungan hukum adat khususnya dalam permasalahan hukum adat, campur tangan dalam urusan tanah biasanya dilakukan oleh kepala berbagai kepala persekutuan hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Dalam hal tanah, persekutuan yang terjadi tidak hanya sebatas persekutuan usaha saja namun juga persekutuan modal. Dalam hal ini, hak-hak persekutuan dan hak perorangan setiap anggotanya pengaruh-mempengaruhi. Hak persekutuan ini disebut hak purba (Djojodigoeno), hak pertuanan (Soepomo), hak ulayat (UUPA) dan dimasa lalu merupakan hak tertinggi atas tanah adat di nusantara ini.
1.      Pengertian Hak Ulayat
Yaitu hak yang dimiliki oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Di beberapa wilayah di Indonesia, hak ulayat ini merupakan sutau lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan atau wilayah yang dikuasai oleh persekutuan, yang di Jawa Tengah dipakai istilah wewengkon, di Ambon disebut patuanan, di Bali prabumian, di Kalimantan pawatasan, di Sulawesi Selatan limpo dan di Minangkabau disebut ulayat.
Ciri-ciri hak ulayat menurut Prof. C. Vallen Hoven ada enam, yaitu:
a.       Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas menggunakan tanh-tanah liar di wilayah kekuasaannya.
b.      Orang luar hanya boleh menggunakan tanah tersebut dengan izin penguasa persekutuan tersebut. Tanpa izin itu ia dianggap melakukan pelanggaran.
c.       Warga sepersekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak ulayat dengan restriksi ; hanya untuk kepentingan somah/brayat/keluarga sendiri. Jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain, ia dipandang sebagai orang asing, sehingga harus meminta izin terlebih dahulu.
Sedangkan orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak ulayat dengan izin kepala persekutuan hukum disertai pembayaran upeti atau mesi kepada persekutuan hukum.
d.      Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya, terutama yang berupa tindakan melawan hukum yang merupakan delik.
e.       Hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk selamanya.
f.       Hak ulayat juga meliputi tanah yang sudah digarap yang sudah diliputi oleh hak perorangan.
Hak ulayat mempunyai hubungan yang erat dengan hak perorangan yaitu jika hak purba kuat maka hak perorangan lemah dan sebaliknya. Lemah dan kuatnya hak purba ditentukan oleh:
a.       Hak ulayat yang lemah misalnya terdapat dalam transaksi tanah pertanian yang memerlukan bantuan dari kepala persekutuan hukum yang bersangkutan;
b.      Hak ulayat yang kuat nampak misalnya dalam pencabutan hak tanpa ganti kerugian, yaitu pada tanah  yang ditinggalkan, pada tanah warga desa yang pindah ketempat lain, dan pada tanah yang pemiliknya meninggal dengan tiada ahli waris.
Pada ketiga hal ini, tanah kembali kepada persekutuan hukum, yang dapat memberikan haknya kepada orang lain atau memakainya untuk kepentingan umum (tanah pekuburan, tempat menggembala ternak dsb).
2.      Pemindahan Hak atas Tanah Persekutuan
Pada dasarnya, tanah ulayat tidak dapat dipindahtangankan untuk selamanya kepada perseorangan atau pihak luar persekutuan, baik sebagian atau seluruhnya. Namun demikian, ada tiga alasan yang menyebabkan adanya pengecualian dari asas tersebut, yakni:
a.       Adanya rasa tanggung jawab bersama atas adanya peristiwa pembunuhan yang terjadi di atas wilayah wewengkonnya oleh orang yang tidak dikenal, sehingga persekutuan hukum menyerahkan sebidang tanah tempat mayat berada kepada keluarga/ahli waris korban agar persekutuan hukum bebas dari tuntutan pihak si korban.
b.      Demi menghindari gangguan keseimbangan magis, maka kadang kala sebidang tanah milik persekutuan hukum diserahkan kepada seseorang atau sekelompok orang sebagai ganti penyerahan barang yang dianggap memiliki kekuatan magis kepada persekutuan. Misalnya benda peninggalan nenek moyang yang ditemukan dalam suatu penggalian tanah persekutuan.
c.       Terjadinya peperangan antar desa atau antar suku pada zaman dahulu juga dapat mengakibatkan hilangnya hak atas tanah ulayat dari desa atau suku yang kalah.
3.      Lahirnya Hak Perseorangan atas Tanah
Perkembangan hak atas tanah pertanian merupakan gambaran umum tentang makin menipisnya hak persekutuan hukum atas tanah (hak ulayat) dan makin tebalnya hak perseorangan dengan perubahan yang bersifat evolusioner mengenai sistem pemilikan atas tanah.
a.       Sistem bluburan; milik komunal dengan pembagian periodik (mengelola hanya satu kali panen dan berganti tempat untuk musim selanjutnya dengan mengganti pembatasnya juga);
b.      Sistem Matok galeng gilir wong (bagian tanah tetap namun bagian garapan berubah);
c.       Sistem Matok galeng matok wong (bagian tanah tetap dengan garapan juga tetap);[3]
d.      Tanah bisa diwariskan disertai pembatasan (pewarisan tanah namun tidak berhak untuk menjual);
e.       Sistem Tebok dengan seleksi (membayar hutang dengan menggantikan menjadi kuli tanah);
f.       Boleh menjual tanah kepada sesama warga desa;
g.      Tanah kulian boleh dijual kepada warga desa lain (siapa saja), tetapi harus ada penggantinya di desa penjual.
4.      Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA
Dalam UUPA pasal 5 disebutkan bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara”. Berdasarkan pasal ini dapat diambil benang merah bahwasannya kepentingan suatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara. Sehingga tidak dibenarkan atas usaha mempertahankan terhadap hak ulayat.
Warga asli mempunyai hak yang berbeda dengan pendatang yang mana para pendatang yang ingin ikut mempergunakan tanah dalam lingkungan hak pertuanan harus membayar uang pemasukan sebagai bukti bahwa dia adalah orang asing.
Penjaga tapal batas tanah (jaring-Minangkabau / Kepala Kewang-Ambon / Teterusan-Minahasa) dilakukan secara bersama-sama oleh semua persekutuan dan dipertanggungjawabkan bersam pula. Selain pertanggung jawaban oleh perserikatan, pertanggungjawaban juga dilakukan oleh segolongan sanak saudara atas tindakan salah seorang anggotanya. Kedua pertanggung jawaban ini seakan berbeda mutlak namun pada dasarnya keduanya saling berdampingan.
D.    Hak Perorangan
Merupakan hak yang diberikan kepada warga desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak ulayat persekutuan hukum yang bersangkutan. Jenis-jenis hak perorangan menurut hukum adat yaitu:
1.      Hak milik (hak yasan / inlands bezitrecht)
Cara memperolehnya:
·         Membuka tanah hutan / tanah belukar;
Pembuka tanah berhak menggunakan tanh yang dibuka dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun hingga tanah tersebut benar-benar sudah tidak difungsikannya lagi sampai kembali tumbuh belukar diatasnya.
·         Mewaris tanah;
Pelaksanaan bentuk-bentuk pengoperan harta kekayaan yaitu:
-          Konsepsi
-          Pembagian semasa hidup
-          Pembagian diberbagai paguyuban hidup (parental, patrilinial dan matrilineal)
-          Amanat terakhir
·         Menerima tanah karena pembelian, penukaran, hadiah;
·         Daluwarsa (verjaring)
2.      Hak wenang pilih (hak kinacek / hak mendahulu / voor keursrecht)
3.      Hak menikmati hasil (genotrecht)
4.      Hak pakai (gebuiksrecht) dan hak menggarap/ mengolah (ontginningsrecht)
5.      Hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht)
6.      Hak wenang beli (naastingrecht)
E.     Transaksi Tanah
Perjanjian timbal balik yang bersifat riil dilapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu bentuk perbuatan tunai dan berobyek tanah. Penyerahan barang tunai yang diiringi dengan penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadang-kadang sebagian, selaku kontra prestasi). Perbuatan “menyerahkan” itu dinyatakan dengan istilah jual/adol/sade.
Dalam hukum adat, dikenal berbagai macam jual beli tanah antara lain:
1.      Menjual gadai : penjualan tanah dengan ketentuan bahwa tanah yang dijual itu akan dikembalikan oleh si pembeli sewaktu-waktu ditebus oelh si penjual.
2.      Menjual lepas : penjualan tanah dengan ketentuan bahwa tanah yang dijual itu terus menjadi milik si pembeli, sehingga penjual tidak mengharapkan kembalinya tanah yang dijual.
3.      Menjual tahunan : penjualan tanah dengan ketentuan bahwa tanah yang dijual itu akan dikembalikan oleh si pembeli setelah waktu tertentu, satu atau beberapa tahun, tergantung persetujuan kedua belah pihak.
4.      Menjual oyodan : penjualan tanah dengan ketentuan bahwa tanah yang dijual itu akan dikembalikan oelh si pembeli kepada si penjual setelah ia menanami dan memetik hasilnya untuk satu atau beberapa kali panen menurut persetujuan kedua belah pihak. (oyod: akar, maksudnya akar tanaman padi)
Secara umum, tanah termasuk juga didalamnya perairan.
Syarat sah adanya transaksi tanah antara lain adalah penyerahan nyata tanah yang dijual dan disertai dengan pembayaran tunai harga tanah tersebut. Selain itu, syarat sah lainnya adalah adanya pengesahan kepala persekutuan hukum adat dan persaksian dari ahli waris pemilik tanah yang dijual.
Ø  Akte Perjanjian Tanah
Di beberapa daerah, perjanjian mengenai tanah dilaksanakan di hadapan kepala persekutuan hukum adat, seringkali ditulis dalam suatu akte/surat perjanjian tanah. Akte perjanjian ini berisi pernyataan sepihak dari orang yang menyerahkan tanah dengan menyebut namanya, letak tanahnya, luas tanahnya dan perbatasan tanahnya, nama orang yang menerima penyerahan tanah, penerimaan jumlah uang harga tanah itu, jenis perjanjian untuk apa tanah tersebut diserahkan (jual gadai, jual lepas, tahunan atau oyodan) dan sebagainya.
Akte perjanjian ini dibubuhi tanda tangan dari orang yang menyerahkan tanah, kepala persekutuan hukum adat (kepala desa) yang bersangkutan dan para saksi.
F.     Transaksi yang Bersangkutan Dengan Tanah
1.      Perjanjian Bagi Hasil
Ialah perjanjian dimana seseorang diizinkan menanami atau mengerjakan tanah milik orang lain, dengan ketentuan hasil dari tanaman itu dibagi diantara mereka, sebagian untuk pemilik tanah dan sebagian lagi untuk yang mengerjakan tanah.
2.      Perjanjian Sewa Tanah
Ialah suatu perjanjian dimana seseorang dizinkan mengerjakan atau mendiami tanah milik orang lain, dengan kewajiban membayar sejumlah uang tertentu sebagai sewa pada setiap waktu tertentu (tiap tahun atau tiap panenan).
3.      Perjanjian Bagi Hasil atau Sewa Bersama dengan Jual Gadai
Ialah perjanjian dimana seseorang yang membeli gadai sebidang tanah mengizinkan si penjual untuk mengerjakan tanahnya atas dasar bagi hasil atau sewa.
4.      Perjanjian Tanggungan Tanah
Ialah suatu perjanjian dimana seseorang meminjam uang dari orang lain dengan ketentuan bahwa apabila perlu si peminjam akan menjual tanahnya kepada orang yang meminjami uang lebih lebih dahulu daripada orang lain, untuk keperluan melunasi hutangnya.
5.      Perjanjian Menumpang Rumah atau Pekarangan
Ialah suatu perjanjian dimana seseorang pemilik tanah mengizinkan orang lain (numpang, magersari) untuk mendirikan rumah atau mendiami tanah pekarangannya.
G.    Pemberian dan Penghibahan Tanah
Hal ini merupakan transaksi tanah yang tidak disertai penyerahan suatu benda atau uang dari pihak penerima tanah. Pemberian tanah adalah pelepasan hak atas tanah dari seseorang pada orang lain yang bukan anggota dari keluarga si pemberi tanah.
Alasan pemberian tanah kepada orang lain yang bukan sanak keluarga si pemberi tanah, antara lain:
1.      Tanda telah terjadinya pengangkatan anak atau untuk memutuskan hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya.
2.      Sebagai Jujur (hadiah perkawinan) yaitu pemberian kepada calon mempelai wanita sebagai syarat pemindahan istri dan anak-anaknya kelak dalam keluarga calon suami.
3.      Pemberian dari seorang ayah kepada seorang ibu yang melahirkan anaknya tanpa pernikahan yang sah, dengan maksud untuk mengakui adanya hubungan hukum dengan anak yang lahir tersebut.
Penghibahan tanah ialah pengalihan tanah dalam lingkungan keluarga yang tidak berakibat pelepasan tanah tersebut keluar dari lingkungan si pemberi tanah. Misal, pemberian tanah dari seorang ayah kepada anak perempuan yang belum menikah, dengan maksud agar anak mendapat bagian dari harta kekayaan ayahnya, karena di Batak anak perempuan bukan ahli waris dari ayahnya sendiri. Atau juga pemberian tanah kepada anak oleh orang tuanya pada saat orang tua masih hidup dengan maksud untuk ditempati atau digarap oleh anaknya setelah menikah sebagai bekal hidupnya.
H.    Pengakuan Terhadap Asas Hukum dan Hak-Hak Atas Tanah Menurut Hukun Adat dalm UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Dalam lingkungan hukum adat, tanah memiliki fungsi yang sangat fundamental, tidak semata-mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk sedemikian rupa melainkan juga sebagai tempay untuk mempertahankan hidup atau modal esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hukum tanah saat ini telah mengalami unifikasi melalui UUPA. Setelah berlakunya UUPA, syarat-syarat mengenai timbulnya atau terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat telah disubordinasikan melalui peraturan pemerintah, seperti disebutkan pasal 22 ayat (1) UUPA bahwa:
Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian, pada kenyataannya terjadinya hak milik atas tanah tersebut bukan lagi menurut hukum adat melainkan menurut peraturan pemerintah. Ketentuan lainnya yang secara tegas mengatur hak milik atas tanah menurut hukum adat disebutkan dalam pasal 56 UUPA yang menyatakan bahwa:
Selama undang-undang mengenai hak milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Selain dari beberapa pasal di atas, UUPA juga memuat ketentuan-ketentaun konversi yang di dalamnya mengatur pula mengenai konversi hak-hak milik atas tanah yang berasal dari hak gogolan pekulen atau sanggan yang bersifat tetap, dikonversikan menjadi hak milik sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUPA. Konversi tersebut memiliki implikasi bahwa orang yang menguasai hak milik atas suatu tanah setelah ia menyelesaikan urusan sertifikasi tanah mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang lain yang juga menguasai hak milik atas tanahnya masing-masing, yang tidak berdasarkan hukum adat. Seperti yang tercantum dalam Putusan MA No. 975K/Pdt/1988 tanggal 28 April 1992 menyatakan bahwa tanah warisan yang berasal dari tanah pekulen setelah disertifikasi tanah tersebut menjadi hak milik dari orang yang namanya tercantum dalam sertifikat hak milik (SHM) yang bersangkutan. Dengan demikian, si pemilik SHM dapat mewariskannya kepada para ahli warisnya. Jika tanah tersebut pada awalnya merupakan warisan dari orang yang namanya tidak dicantumkan dalam SHM, berdasarkan UU, si pemilik asal (pewaris) tidak disebut sebagai pemilik, walaupun berdasarkan kenyataan ia adalah pemilik sebenarnya.[4]
Dalam hal asas-asas hukum tanah, UUPA juga mentransformasikan asas hukum tanah adat ke dalam sistem hukum yang tertulis. Salah satu contohnya adalah tentang asas pemisahan horisontal, terpisahnya tanah dengan bagian-bagian di atasnya. Dengan demikian, dapat terjadi adanya perbedaan status kepemilikan antara tanah dengan benda-benda di atasnya, sehingga seseorang berhak atas tanahnya sedangkan orang lain berhak atas bangunan yang ada di atas tanah yang bersangkutan (numpang karang atau numpang bumi).
Tentang asas pemisahan horisontal ini diakui oleh MA melalui putusannya No. 574 K/Pdt/1992 tanggal 14 Mei 1994. Dalam bagian pertimbangannya, MA menyebutkan bahwa menurut hukum dapat dibenarkan tinggalnya seseorang dalam suatu bangunan rumah yang ada di atas tanah orang lain secara sah, walaupun kemudian tanah tersebut dijual oleh pemiliknya kepada orang lain. Dan si pembeli tanah yang bersangkutan (pemilik tanah kedua) tidak mempunyai kewenangan untuk mengusir orang yang telah menempati rumah yang berada di atas tanah tersebut.
Daftar Bacaan
Ø  Effendy, H.A.M. 1990. Pokok-pokok Hukum Adat. Cetakan ke III. Semarang: Duta Grafika
Ø  Soemadiningrat, H.R.Otje Salman. 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer; Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat. Bandung: PT.Alumni
Ø  Sudiyat, Iman. 1981. Hukum Adat, Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty
Ø  Vergouwen, J.C. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: PT.LkiS Pelangi Aksara


[1] H.A.M. Effendy, SH, 1990, Pokok-pokok Hukum Adat, Cetakan ke III, Semarang: Duta Grafika, hlm. 1.
[2] Ibid. Hlm. 3-4.
[3] Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat, Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, hlm.4.
[4] Prof.Dr.H.R.Otje Salman Soemadiningrat,SH, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer; Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Bandung: P.T.Alumni, hlm. 166.

Komentar

HEAVEN

MANAJEMEN KONTEMPORER

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

GERAK PRESESI DAN GERAK NUTASI SUMBU BUMI