RESUME BUKU “TEORI HUKUM KRITIS” KAJIAN TENTANG POSISI HUKUM DALAM MASYARAKAT MODERN OLEH: ROBERTO M. UNGER


A.    PROBLEMATIKA TEORI SOSIAL
Problematika teori sosial
A.    “Beban Masa Lalu” Dalam Teori Sosial
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tokoh-tokoh besar meninggalkan beban bagi generasi sesudah mereka. Akibatnya, generasi penerus seakan menghadapi dilema: menjadi sekedar pelestari karya-karya agung yang diwariskan tokoh-tokoh besar, ataukah berbekal hasrat akan kemandirian, tetapi kalah dalam kecemerlangan mengerucutkan ambisi secara drastis dan dengan keahlian teknisnya bertekad untuk menguasai satu bidang yang sempit.
            Dalam sejarah pemikiran spekulatif, bentuk dilema ini memang khas. Di satu sisi, para peniru (epigone) dapat menjadi peneliti dan penafsir teks-teks klasik. Sebagai alternatif agar terhindar dari pembandingan dengan para pendahulu, mereka menekuni spesialisasi dengan resiko terjerumus ke dalam semacam minoritas  intelektual permanen.
Tokoh-tokoh yang menciptakan teori sosial dalam paruh terakhir abad ke-19 dan beberapa dasawarsa pertama abad ke-20. Nama-nama seperti Marx, Durkheim, dan weber, paling banyak mendapat sorotan. Pemikiran sosial  setelah zaman mereka dibedakan antara ulasan mengenai doktrin-doktrin mereka atau spesialisasi menurut tradisi-tradisi yang mereka bangun.  Lambat laun, bidang-bidang yang di spesialisasikan ini kian jauh dari cita-cita para pendirinya semula. Semakin bidang-bidang tersebut diupayakan berdalih sebagai kebebasan ilmiah, semakin sedikit pencerahan yang diberikan.
            Kendati demikian, dari banyak sisi, agaknya semakin jelas bahwa kita mulai dapat melihat Marx, Durkheim, dan Weber sebagai tokoh klasik dan memandang karya-karya mereka sebagai teori sosial klasik yang sangat berbeda dengan tradisi panjang filsafat politik yang sudah ada sebelumnya.
B.     Teori Sosial dan Filsafat Politik
            Teori sosial adalah kajian tentang masyarakat yang ciri-ciri khasnya mulai muncul dalam tulisan-tulisan Montesquieu, tokoh-tokoh sezamannya, tokoh-tokoh sesudahnya, dan mencapai semacam puncak pada karya Marx, Durkheim, dan Weber. Awalnya teori sosial membangun identitas dengan cara membuat kontras dengan pemikiran politik tokoh-tokoh dimanapun tempatnya dalam sejarah. Para teoritisi zaman kuno berpendapat, rezim pemerintahan terbaik adalah rezim yang mampu sebanyak-banyaknya menonjolkan sisi-sisi baik watak dasar manusia dan sedapat mungkin menekan sisi buruknya.
            Salah satu konsekuensi dari pendekatan ini adalah munculnya kecenderungan untuk memperlakukan sejarah sebagai semacam latar belakang kehidupan yang mengubah keadaan tanpa mengubah persoalan dasarnya, karena persoalan-persoalan itu berpangkal pada watak dasar manusia yang tidak pernah berubah.
            Konsepsi sejarah terkait watak dasar manusia sangat erat hubungannya dengan penekanan pada perbedaan antara pemahaman dan evaluasi. Dimata teoritisi-teoritisi modern, teoritisi-teoritisi zaman kuno telah menciptakan sekumpulan pengetahuan khayali dan mubazir berdasarkan pandangan tentang manusia seperti yang seharusnya, bukan manusia seperti apa adanya.
C.    Kesatuan dan Krisis dalam Teori Sosial
            Ada dua pandangan yang sering dikemukakan dalam pemikiran kontemporer tentang ilmu-ilmu sosial, dan keduanya saling melengkapi. Pandangan pertama menyatakan, kajian-kajian kita di masa sekarang tentang masyarakat, yang dilakukan dicabang-cabang khusus ilmu sosial, berpijak pada konsep, metode, teori, dan asumsi tersirat yang diwariskan kepada kita oleh teoritisi-teoritisi sosial terkemuka dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Inilah yang menyebabkan karya-karya mereka tampak klasik bagi kita.
            Gagasan bahwa kita senantiasa dibatasi kerangka yang mewadahi pemahaman teori sosial klasik tentang masyarakat, lambat-laun diikuti perspektif kedua terkait kondisi pemikiran sosial saat ini, yaitu pemikiran adanya sesuatu yang penting yang telah keliru pada karya-karya klasik dan generasi sesudahnya.
            Ada tiga masalah utama. Pertama, masalah metode: bagaimana seharusnya hubungan antara fakta-fakta  sosial dalam pemikiran dan dalam bahasa ? kedua, masalah tatanan sosial (sosial order): apa yang menjadi pemersatu masyarakat? Teori tentang metode adalah pandangan akan cara penataan gagasan-gagasan kita mengenai masyarakat, sedangkan doktrin tatanan sosial menawarkan penjelasan tentang susunan masyarakat itu sendiri. Perhatian utamanya tertuju pada aturan-aturan yang dipakai masyarakat untuk mengatur urusannya satu sama lain. Ketiga, masalah kemodernan: apa bedanya masyarakat modern yang muncul di Eropa dengan semua masyarakat lainnya, dan sebagaimana hubungan antara citra-diri (self-imagine) dan realitas, antara apa yang terlihat dan apa yang sesungguhnya berlangsung? Ketiga pertanyaan tersebut saling berhubungan, walaupun pola hubungannya sangat kabur dan kompleks.
D.    Masalah Metode
Pendekatan teoritisi sosial terhadap masalah metode yang senantiasa kita hadapi itu sebagian besar ditentukan oleh sangat terbatasnya ketersediaan pola-pola dasar penjelasan yang ada bagi pemikiran Barat Modern. Bahkan, boleh dibilang semua prosedur yang ada merupakan variasi dari dua jenis prosedur dasar: analisis logika dan penjelasan kausal (sebab-akibat). Masing-masing prosedur memberikan penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan menjelaskan sesuatu, baik dalam arti memberitahukan seperti apakah sesuatu itu-deskripsi-atau dalam arti membuktikan alasan sesuatu itu harus berlangsung mengikuti sesuatu yang lain-penjelasan dalam arti setepat-tepatnya.
Baik logika maupun kausalitas tidak mencapai maknanya yang sekarang ini secara bersama-sama. Sebaliknya, keduanya mengalami sejarah yang panjang dan berliku-liku; keduanya muncul di saat-saat tertentu, dan keduanya mengalami berbagai perubahan.
Hubungan logika berbeda dengan hubungan kausal dalam hal hubungan kausal membutuhkan durasi untuk urutan selanjutnya, sedangkan hubungan logika hanya menampilkan urutan saja. Gabungan antara urutan dan durasi disebut waktu. Penjelasan kausal selalu berupa uraian tentang hubungan diantara peristiwa-peristiwa menurut waktu. Analisis logika menerangkan hubungan antara konsep-konsep diluar waktu.
Hubungan logika selalu bersifat normal, cirinya adalah pembedaan antara isi dan bentuk. Sebaliknya penjelasan kausal selalu dimulai sebagai upaya untuk memperjelas hubungan diantara peristiwa-peristiwa khusus.
Metode logika dan metode kausal berfungsi sebagai titik tolak untuk dua cara penanganan masalah penjelasan dalam kajian sosial. Dalam beberapa hal, teori sosial klasik merupakan upaya untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dua cara berpikir tersebut. Salah satu kelemahannya yang fatal terletak pada kegagalan teori ini dalam menyelesaikan tugas itu.
Tipe yang berlandaskan pada metode logika disebut Rasionalisme. Contoh yang paling mendekati adalah ilmu ekonomi neoklasik. Ilmu sosial rasionalis ingin menjadi sistem proposisi yang segala interdepensinya diatur oleh gagasan-gagasan sebab, konsistensi, dan kontradiksi yang logis dan tepat.
Tradisi pemikiran yang paling bertolak-belakang dengan rasionalisme dalam urainnya untuk masalah penjelasan, dikenal dengan historisme. Dilema yang dihadapi penganut historisme adalah kebalikan dari dilema yang dihadapi penganut rasionalisme, dan merupakan bentuk khusus paradoks umum kausalitas.
Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa sikap rasionalis dan historisis sama-sama memiliki satu ciri pengganggu. Dalam bentuk murni, kedua aliran itu sama-sama menjabarkan hubungan keniscayaan sebab atau hubungan sebab-akibat. Kecuali jika berkembang sampai taraf yang membingungkan, keduanya mengundang semacam determinisme sehingga memalsukan atau melenyapkan sifat lentur dalam kehidupan sosial dan sejarah.
Untuk menghindari lubang-lubang dalam pendekatan rasionalis dan historisis, caranya ialah dengan menyusun metode yang menanggalkan, walaupun harus mengabaikan sisi perbedaannya yang penting, sesuatu yang biasanya sama-sama terdapat dalam modus penjelasan logika dan kausal: perhatian pada urutan dan pencarian hubungan keniscayaan. Sebuah definisi ulang tentang apa yang dimaksudkan dengan menerangkan sesuatu atau menjabarkan dan menjelaskan sesuatu, sedang dipertaruhkan.
Berbagai macam pencarian metode telah mendasari banyak konsepsi yang berbeda, tetapi saling melengkapi, yang telah mendominasi doktrin dan praktek metodologis teori sosial. Konsepsi tersebut antara lain “dialektika”,”tipe-ideal”, dan “struktur”. Masing-masing konsepsi memiliki makna sendiri dan terkait dengan tradisi intelektual tersendiri. Namun, semua konsepsi itu sama-sama memiliki sifat-sifat yang paling penting. Metode dialektika yang dikembangkan oleh Marx, tipe-ideal yang digunakan oleh Weber, dan “strukturalisme” kontemporer, semuanya berpotensi menjadi jalan keluar dari dilema rasionalisme dan historisme.
Ada tiga keterbatasan metodologis dalam tradisi teori sosial klasik. Pertama, sejauh ini belum ada definisi yang tepat dan rinci untuk metode nonkausal dan nonlogika. Kedua, sebagian karena alasan inilah maka, hubungan antara jenis uraian yang ketiga dan kausalitas tetap tidak jelas. Ketiga, perlu dibuktikan bahwa pernyataan-pernyataan subjektivitas ataupun objektivitas sama-sama dapat dipertimbangkan untuk memahami tindakan manusia.
E.     Masalah Tatanan Sosial (Social Order)
Tahap perbincangan masalah tatanan sosial dalam teori sosial klasik tercetus dari persaingan antara dua tradisi pemikiran. Kedua tradisi pemikiran tersebut adalah doktrin instrumentalisme atau kepentingan pribadi dan doktrin legitimasi atau konsensus.
Doktrin kepentingan pribadi adalah konsepsi dalam dasar-dasar tatanan sosial yang sering disamakan dengan utilitarianisme dan ekonomi politik klasik. Doktrin ini juga menjadi unsur penting dalam banyak tradisi intelektual lainnya. Doktrin kepentingan pribadi dicirikan oleh hubungannya dengan konsepsi tertentu ikatan sosial dan pandangan tentang bentuk kaidah-kaidah yang menentukan kehidupan sosial yang teratur. Doktrin ini berpendapat bahwa manusia diatur oleh kepentingan pribadi dan dituntun oleh pertimbangan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuannya yang dipilih secara pribadi. Gagasan kepentingan pribadi dapat diperluas hingga mencakup perhatian altruistis bagi kesejahteraan manusia lain selama pilihan ini didasarkan pada kehendak bebas manusia itu sendiri, juga jika yang diinginkan adalah agar manusia lain mendapatkan apa yang mereka inginkan. Menurut teori kepentingan pribadi, tujuan masing-masing individu relatif tidak tergantung pada tujuan individu-individu lain. Kalaupun mungkin relatif dipengaruhi oleh tujuan-tujuan orang lain, tetapi tujuan-tujuan tersebut tetap dikatakan berbeda menurut maknanya. Teori ini menyatakan, faktor penentu langsung perilaku ada di dalam diri individu sendiri, bukan pada kelompok-kelompok yang diikutinya.
Terdapat dua alasan rasional mengenai hubungan umum antara gagasan-gagasan kepentingan pribadi dengan instrumentalisme, yakni:
a. Makin luas ruang lingkupnya, makin terperinci pula muatan kepentingan-kepentingan kolektif; dan makin besar otoritas untuk menentukan apa yang harus diperbuat individu, maka makin sedikit peranan yang tersisa bagi pertimbangan-pertimbangan efisiensi pribadi. Individu akan lebih mudah menata ulang tujuannya sendiri berdasarkan pengetahuan akan sarana-sarana yang dimilikinya daripada mempengaruhi tujuan-tujuan bersama milik kelompok.
b. Gagasan untuk memanipulasi alam, yang dicontohkan oleh instrumentalisme, juga menyatakan gagasan untuk memanipulasi manusia lain. Alam maupun manusia lain itu merupakan dunia eksternal yang berbeda dengan dunia individu.
Doktrin kepentingan pribadi memiliki implikasi tertentu tentang wujud sistem peraturan atau hukum. Seluruh implikasi ini menjurus pada pandangan instrumental terhadap peraturan. Individu menganggap peraturan instrumental sebagai satu faktor tambahan untuk dipertimbangkan dalam perhitungan efisiensinya. Artinya, individu akan menuruti peraturan instrumental hanya selama tujuan-tujuannya sendiri terlayani lebih baik dengan menuruti peraturan daripada melanggarnya. Akibatnya, sanksi menjadi bagian penting dalam peraturan. Ketakutan terhadap sanksi berfungsi untuk memasukkan kewajiban-kewajiban tatanan sosial ke penalaran individu terkait sarana terefektif untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.
Kelemahan-kelemahan doktrin kepentingan pribadi:
a. Kegagalannya dalam menjelaskan bagaimana perilaku manusia dapat memiliki cukup kesinambungan atas waktu dan kesamaan antar-individu untuk memungkinkan terwujudnya masyarakat yang teratur.
b. Memiliki implikasi-implikasi kontradiktif terhadap pandangan seseorang terkait kedudukan peraturan dalam masyarakat.
c. Konsepsi kehidupan sosial dalam wujud doktrin ini tidak memasukkan nilai-nilai solidaritas. Nilai-nilai ini menunjukkan manfaat yang dilekatkan pada penerapan, pranata, dan keberadaan kehidupan berkelompok itu sendiri tanpa mempedulikan penerapannya pada kehendak individu atau gabungan beberapa kehendak individu.
Teori legitimasi atau konsensus berawal dari masyarakat atau kelompok berikut nilai-nilai dan pemahaman yang dianut bersama. Cita-cita dan kepercayaan ini bisa bervariasi sesuai besarnya persesuaian di antara mereka, kadar relatif keabstrakan atau kekonkretannya, intensitas ketaatan terhadapnya, dan koherensinya. Meskipun bervariasi dari segi keluasan, kekonkretan, intensitas dan koherensinya, kehadiran orientasi-orientasi moral dan kognitif yang dianut bersama selalu memungkinkan terwujudnya kehidupan sosial yang teratur. Kepercayaan yang sama memungkinkan manusia saling memahami dan mengerti harapan mereka terhadap satu sama lain.
Menurut penganut doktrin legitimasi, peraturan menjadi perwujudan nilai-nilai bersama yang dianut kelompok. Peraturan melakukan tugas-tugas penunjang yang vital: memperjelas implikasi dan batasan tujuan-tujuan tersebut terhadap calon-calon pelanggar peraturan. Namun, semakin luas cakupan, kekonkretan, intensitas dan koherensi konsensus, peraturan menjadi semakin tidak diperlukan. Berdasar hal tersebut dapat diketahui bahwa penyebab utama hukum ditaati adalah karena anggota-anggota kelompok mempercayai nilai-nilai yang dinyatakan hukum dan mewujudkannya dalam perilaku. Ketaatan seseorang terhadap peraturan datang dari kesanggupan peraturan untuk menyatakan tujuan-tujuan bersama sehingga orang dapat berpartisipasi di dalamnya, bukan dari ancaman-ancaman kesalahan untuk menjamin tegaknya peraturan tersebut. Maka, fokus kepentingan bergeser dari sanksi ke standar perilaku yang ditentukan oleh peraturan.
Keberatan terhadap doktrin legitimasi dan konsepsi peraturannya sangat berlawanan dengan kritik yang dialamatkan pada teori instrumentalisme, sebab kedua pandangan mengenai masyarakat tersebut saling melengkapi. Keberatan tersebut sebagai berikut:
a. Kecenderungan inheren yang terlalu berlebihan sekaligus terlalu terbatas dalam memberikan penjelasan. Doktrin ini menerangkan kemungkinan keselarasan pandangan dan cita-cita, tetapi tidak menerangkan kemungkinan adanya konflik. Dalam kerangka berfikir seperti ini, konflik hanya menjadi tanda adanya suatu yang terabaikan. Konflik pasti mewakili kegagalan untuk mencapai kesepakatan yang menjadi landasan tatanan sosial, kegagalan akibat terbatasnya keluasan, kekonkretan, intensitas atau koherensi dalam nilai-nilai dan pemahaman yang dianut bersama oleh masyarakat.
b. Implikasi-implikasi terhadap pemahaman peraturan. Semakin ketat kesepakatan yang mengikat individu-individu bersama dan semakin besar kekuasaan kesepakatan itu dalam menentukan perilaku mereka, peran yang tersisa untuk peraturan semakin berkurang.
c. Doktrin ini dituduh sebagai bias yang tidak dapat dilenyapkan terhadap kolektivisme –sebuah bias yang dibangun dalam pandangan deskriptif teori itu sendiri. Dengan mengutamakan pemahaman relasi sosial daripada analisis perilaku individu dan pentingnya nilai-nilai kelompok yang dianut bersama melebihi segala-galanya, tampaknya teori tersebut mengurangi dasar-dasar untuk mempertimbangkan individu secara tersendiri dan menolak tuntutan individu untuk berdikari, demi mendukung tuntutan solidaritas kolektif.
Terkait dengan solusi atas masalah teori sosial ini, penulis mengajukan solusi yang sekiranya dapat menyatukan berbagai bentuk doktrin tersebut, solusi yang diajukan ini akan berakibat pada adanya pengakuan terhadap arti penting peraturan-peraturan instrumental, yaitu norma-norma yang meringkas pertimbangan efisiensi. Namun, pada saat yang sama, pandangan ini menegaskan adanya peraturan-peraturan yang artinya lebih dari sekedar instrumental sebab peraturan-peraturan itu dirasakan dan dipakai sebagai pengungkapan nilai-nilai kelompok. Solusi ini mengungkapkan kebutuhan masyarakat terhadap perangkat hukum atau peraturan yang eksplisit, dengan diperkuat adanya ancaman pemaksaan yang dapat menjamin keefektifannya ketika batasan-batasan keluasan nilai-nilai yang mendasari hukum atau intensitas ketaatan yang dituntut tujuan-tujuan hukum melebihi kemampuan hingga muncul perilaku menyimpang.
Dalam penerapannya, solusi ini belum dapat disebut sebagai solusi utama penyatuan doktrin. Hal ini disebabkan tidak adanya kesinambungan antara sarana dan tujuan masyarakat ketika diterapkan dalam corak masyarakat yang berbeda-beda. Kedua hal tersebut hanya dapat disatukan jika keduanya diterapkan pada situasi sosial apapun untuk membedakan dengan jelas aspek-aspek kehidupan. Namun dalam kenyataannya, apa yang menjadi sarana dalam suatu konteks, merupakan tujuan dalam konteks lain, begitupun sebaliknya. Beralih dari kondisi demikian, bukan berarti solusi yang ada lantas disingkirkan begitu saja oleh masyarakat. Justru mereka terus berusaha menemukan solusi-solusi yang dirasa dapat meredam persoalan yang ada, sebab kebutuhan mereka.
F.      Masalah Kemodernan
Bagi semua teoritisi sosial klasik, upaya untuk menetapkan pandangan yang komprehensif tentang manusia dan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari minat untuk memahami kondisi dan prospek-prospek zaman mereka. Hal ini yang kemudian mengantarkan mereka pada perbedaan cara pendekatan terhadap masyarakat, hingga sampai pada masalah perumusan konsepsi kemodernan. Hubungan antara ideologi dan aktualitas dalam kehidupan modern membutuhkan kejelian tersendiri. Sikap para teoritisi sosial klasik terhadap hubungan ini tercermin pada reaksi mereka terhadap garis pemikiran doktrin kontrak sosial.
Para penganut doktrin kontrak sosial memandang masyarakat sebagai perkumpulan individu dengan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan dapat dipersatukan oleh peraturan-peraturan yang diberlakukan secara koersif dan pertukaran ekonomi. Doktrin ini sangat mempengaruhi ideologi penguasa.melalui kacamata kelompok-kelompok masyarakat yang dominan dan pembicara intelektualnya, masyarakat modern memandang dirinya sebagai peradaban yang sangat individualistis, yang aturan dan kebebasannya dijamin oleh hukum. Peraturan-peraturan hukum memang tampak berperan, akan tetapi sangat kecil artinya dalam membina kehidupan sosial. Sehingga, masalah utama dalam kemodernan sebenarnya adalah hal metode dan tatanan sosial, yang perlu ada bagian yang dapat mengkombinasikan keduanya dalam membentuk masyarakat tersebut.
G.    Watak Dasar Manusia dan Sejarah
Untuk menyelesaikan resolusi masalah metode, tatanan sosial dan kemodernan, akhirnya dibutuhkan sebuah pandangan mengenai watak dasar manusia. Pada dasarnya, teori sosial membentuk identitasnya sendiri dan menolak gagasan bahwa watak dasar manusia itu satu dan mengatasi sejarah. Permasalahan sebenarnya adalah bolehkah wawasan zaman kuno ditanggalkan dari angan-angan zaman kuno bahwa kemanusiaan tidak pernah berubah sepanjang sejarah. Yang wajib dilakukan adalah mengembangkan doktrin yang mengakui watak dasar manusia secara lebih serius, sambil menegaskan bahwa watak dasar manusia mengalami perubahan seiring dengan sejarah, dan bahwa watak dasar manusia tersebut ditemukan kembali dalam bentuk yang berbeda-beda oleh masing-masing bentuk kehidupan sosial.
Teori tentang watak dasar manusia tidak boleh langsung membatasi diri pada deskripsi. Gambaran umum tentang manusia yang mencirikan keadaannya di dunia menyiratkan manusia bisa menjadi apa dan seharusnya menjadi apa. Sebaliknya, pilihan di antara pandangan-pandangan yang mungkin tentang kemanusiaan cenderung terpengaruh perspektif moral dan politik yang tidak mungkin seluruhnya didukung oleh pandangan yang dipilih seseorang.
Berdasar hal tersebut, hal yang patut menjadi tugas bersama bahwa masalah-masalah teori sosial tidak dapat diselesaikan kecuali jika kebenaran-kebenaran dalam teori tersebut dipertemukan dengan kebenaran-kebenaran filsafat politik zaman kuno. Perkembangan pemikiran menghendaki agar kedua tradisi dipersatukan dalam bentuk pengetahuan yang lebih inklusif.
H.    Hukum
a.       Hukum terlibat dalam masalah metode.
Setelah paham Aristoteles ditolak dalam pemikiran politik, fenomena atau gejala sosial perlu dijelaskan dan digambarkan dalam istilah-istilah yang berbeda dengan istilah-istilah tradisional untuk tujuan dan manusia. Namun, pada saat yang sama, menjadi jelas bahwa kita memang mengandalkan peraturan-peraturan preskriptif. Peraturan-peraturan ini bukan sekedar fakta tanpa signifikansi moral bagi orang-orang yang membuat, menerapkan dan menaatinya, serta memberikan penghargaan atau kecaman dengan berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut. Inti teori masyarakat adalah menerangkan hubungan antara hukum yang menerangkan dan hukum yang bersifat mengatur.
b.      Kajian terhadap hukum berhubungan erat dengan masalah tatanan sosial.
c.       Resolusi untuk masalah kemodernan mengharuskan kita menemukan hubungan antara ideologi dominan yang menempatkan hukum impersonal sebagai pusat masyarakat dan pengalaman keseharian tatkala hukum tersebut hanya berdiri di pinggiran kehidupan sosial

B.     HUKUM DAN BENTUK-BENTUK MASYARAKAT
Dalam bab ketiga ini, akan membahas persoalan tentang tatanan sosial (sosial order) dengan membahas hubungan antara bentuk hukum dan bentuk masyarakat. Dalam bab sebelumnya telah disinggung bahwa kedua doktrin utama tentang tatanan sosial sama-sama mencakup pandangan terhadap bentuk dan penggunaan peraturan. Apabila tiap-tiap doktrin tersebut paling cocok untuk satu jenis masyarakat tertentu, maka diharapkan akan diketahui bahwa karakter hukum mengalami perubahan dari satu bentuk kehidupan sosial ke bentuk kehidupan sosial yang lain. Kiat masyarakat dalam menyatukan manusia terungkap lewat hukum. Selain itu, konflik di antara jenis-jenis hukum mencerminkan ragam cara yang berbeda dalam menata kelompok-kelompok manusia.
Langkah pertama dalam menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat adalah dengan membedakan jenis hukum. Tahap kedua yaitu dengan mengungkapkan secara spekulatif kondisi-kondisi sejarah bagi munculnya tiap-tiap jenis hukum.
Ø  Tiga Konsep Hukum
1.      Hukum Adat (hukum sebagai interaksi)
Sebagian aliran pemikiran memandang hukum sebagai fenomena universal yang umum dijumpai pada semua masyarakat. Karena itu, aliran-aliran tersebut tidak dapat memahami gagasan bahwa hukum bisa saja muncul atau tidak muncul, bahwa hukum memang memiliki ciri-ciri khusus sesuai jenis masyarakatnya.
Dalam pengertiannya yang lebih luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang diantara banyak individu dan kelompok, diikuti pegakuan eksplisit kelompok dan individu tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal balik yang harus dipenuhi. Pengarang menyebutnya sebagai hukum adat (customary law) atau hukum interaksional (interactional law). Ada dua sisi dalam konsep hukum sebagai interaksi. Sisi yang satu adalah keseragaman yang tampak nyata dalam berperilaku. Sisi yang kedua lebih bersifat normatif: sentimen akan kewajiban dan hak, atau kecenderungan untuik menyamakan bentuk-bentuk perilaku yang sudah mapan dengan gagasan mengenai tatanan yang benar di masysrakat dan dunia secara umum.
Hukum adat tidak punya sifat positif, namun lebih bersifat tersirat daripada terungkap secara lisan. Sehingga mengkodifikasinya berarti merubahnya. Justru karena hukum ini bersifat nonpositif, maka maka tidak mengenal antara pembedaan keteraturan dan norma.  Hukum adat terdiri dari standar dari implisit perilaku, bukan standar peraturan yang dirumuskan. Standar ini berupa peraturan tidak tertulis dan seringkali amat ketat tentang cara individu dalam status tertentu harus berperilaku ke orang lain.
2.      Hukum Birokratis
Perbedaan hukum adat dengan hukum birokratis (bureaucratic law) atau hukum pengatur (regulatory law) terletak pada sifatnya yang publik dan positif. Hukum birokratis terdiri dari peraturan eksplisit yang ditetapkan oleh pemerintah yang sah. Sehingga hukum ini diciptakan oleh pemerintah dengan sengaja, bukan tercipta secara spontan oleh masyarakat. Hukum birokratis terdiri dari peraturan dengan lingkup luas atau perintah-perintah yang ditujukan untuk situasi-situasi yang ditentukan secara sempit menurut ruang dan waktu.
Peraturan birokratis senantiasa diikuti hukum jenis lain yang boleh jadi membatasi ruang lingkupnya secara drastis. Pola ini tampak jelas pada kekaisaran besar zaman kuno. Peraturan pemerintah dinegara kaisar biasanya dibatasi dalam dua hal. Disuatu sisi, ada adat yang senantiasa mengatur sebagian besar kahidupan sehari-sehari. Disisi lain, ada hukum agama yang kerap kali dipegang badan agama indepnden. Hukum agama ditentukan oleh aturan-aturan teologis yang isinya tidak dapat dipengaruhi langsung oleh penguasa.
Hukum adat dan hukum agama disatu sisi, dan hukum birokratis disisi yang lain, mambagi wilayah sosial menjadi dua. Wilayah pertama relatif diluar jangkauan kekuasaan raja. Wilayah kedua tunduk pada kebijaksanaan raja yang nyaris tak terbatas. Salah satu contoh masyarakat yang hukum agama diatas hukum birokratis adalah kekaisaran cina.
3.      Tatanan Hukum
Hukum ketiga ini tidak begitu dikenal oleh semua jenis masyarakat. Karena muncul dan bertahan hanya dalam keadaan-keadaan tertentu. Tatanan hukum (legal order) atau sistem hukum (legal system) diyakini bersifat general dan otonom, sekaligus publik dan positif.
Hukum bersifat otonom alam arti substansif tatkala peraturan-peraturan yang dirumuskan dan ditegakkan oleh pemerintah tidak bisa dianalisis sebagai pengulangan setiap perangkat kepercayaan atau norma non hukum. Lebih khusus lagi, sistem hukum otonom tidak tidak mengkodifikasikan teologi khusus. Sebagai perangkat aturan duniawi, sistem hukum otonom terpisah dari prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan terpisah pula dari pandangan agama terhadap relasi sosial.
Ketiga konsep hukum diatas dapat dianggap sebagai spesies dalam genus tatanan normatif (normative order). Ketiganya menjabarkan bagaimana standar-standar perilaku yang menentukan apa yag boleh dan tidak boleh dilakukan.
Ø  Munculnya Hukum birokratis
Kodisi yang menonjolkan peraturan publik dan peraturan positif dalam tatanan normatif masyarakat dapat dibagi menjadi dua kategori. Yaitu pemisahan negara dengan masyarakat, dan disintegrasi komunitas. Kategori yang pertama bertanggung jawab atas sifat publik hukum birokratis, sedangkan yang kedua bertanggung jawab atas sifat positif.
·         Pemisahan negara dan masyarakat
Pemisahan negara dan masyarakat mengisyaratkan konsepsi yang sangat berbeda terkait tatanan normatif dan keteraturan perilaku. Negara didefinisikan justru atas keunggulannya atas relasi-relasi sosial. Batasan penting pada tesis hubungan antara pembedaan negara-masyarakat dan gagasan masyarakat sebagai ciptaan kehendak. Pertama, walaupun negara tampil sebagai manipulator kehidupan sosial, karakter dan aktifitas negara, sebagian besar ditentukan oleh hubungan-hubungan kelompok antar masyarakat. Batasan yang kedua ialah dunia baru hukum pemerintahan yang dibawa oleh pemerintahan dan masyarakat, cenderung membedakan wilayah kehidupan sosial yang sakral dan tidak tersentuh dengan lingkungan kehidupan sosial yang tunduk pada kepentingan-kepentingan penguasa.
Hanya satu entitas yang dapat membatasi kekuasaan semua kelompok sekaligus bersikap seakan-akan tidak memihak, adil, atau ditakdirkan selaras yang mengesahkan tuntutannya untuk memperoleh kesetiaan dari mereka. Pada saat yang sama, negara harus memperkuat hubungan dominasi dan ketergantungan. Semua konflik yang mendandai sejarah pemisahan antara negara dan masyarakat pada akhirnya bersumber pada paradoks implisit dalam situasi ini.
·         Disintegrasi Komunitas
Dari perspektif kesadaran sosial, disintegrasi komunitas berarti perkembangan situasi ketika orang semakin merasa mampu mempertanyakan kebenaran praktik-praktik yang sudah mapan sekaligus melanggarnya. Sehingga peraturan positif harus diterapkan untuk memperjelas apa yang telah dikaburkan oleh disintegrasi manusia.
·         Pembagian Kerja dan Hierarki Sosial
Pemunculan negara dan disintegritas komunitas merupakan dasar bagi hukum birokratis. Keduanya sama-sama bergantung pada perubahan pengorganisasian sosial. Perubahan ini didefinisikan pengarang sebagai kemajuan yang menonjol dalam pembagian kerja seairing dengan meluasnya spektrum pelapisan dan pembedaan status sosial.
·         Ketegangan di dalam Hukum Birokratis
Apa pun sebabab perubahan sosiala yang menjelaskan perkembangan peraturan publik dan peraturan positif, hukum birokratis mengalami konflik intern yang musabb membuatnya tidak stabil dan membawanya pada transformasi. Pengarang menyimpulkan, bahwa hukum publik bertindak sebagai alat negara untuk memanipulasi relasi-relasi sosial. Huku menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara.
Namun, pada saat yang sama, mencitunya ruang lingkup persepsi tak sadar manusia dan ketaatan pada standar untuk perilaku menancam bentuk kehidupan sosial yang sudah mapan. Jika tatanan normatif ditafsirkan sebagai sekumpulan alat untuk memenuhi kepentingen-kepentingan penguasa, maka tatanan itu tidak akan bisa menuntut untuk ditaati, kecuali dengan terror yang digunakan untuk memaksanya.
Ø  Munculnya Tatanan Hukum
Terdapat dua kondisi sejarah yang memunculkan rule of law. Kondisi pertama menjabarkan pengalaman dan pandangan relasi kelompok. Agar tatanan hukum dapat berkembang, tidak boleh ada satu pun kelompok yang memegang posisi dominan secara permanen atau dipercayai memiliki hak inheren untuk memerintah.hubungan antar kelompok seperti tiu disebut masyarakat liberal atau dalam bahasa ilmu politik amerika, pluralisme kelompok kepentingan. Kondisi yang kedua adalah kepercayaan pada hukum universal yang “lebih tinggi” atau hukum Tuhan sebagai standar untuk menilai dan meninjau hukum positif negara.
·         Pluralisme Kelompok
Dalam kehidupan sosial terdapat masyarakat liberal atau seringkali disebut dengan pluralisme kelompok, yang bentuknya sendiri mempengaruhi manusia untuk berjuang demi  ideal rule of ideal . adapun yang dimaksud dengan masyarakat liberal adalah sebentuk kehidupan yang tidak ada satu kelompok didalamnya yang mampu menuntut loyalitas dan ketaatan seluruh kelompok lain dalam waktu lama. maka, menjadi penting untuk menemukan sistem hukum yang muatannya sanggup mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang bertantangan dan prosedurnya sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang merasakan, kepentingan mereka untuk mentaati peraturan tersebut.

·         Hukum Alam
Faktor utama kedua bagi munculnya tatnan hukum adalah kepercayaan luas pada sesuatu yang umumnya disebut hukum alam. Pendukung gagasan hukum alam adalah religiositas transenden. Inti agama transedensi adalah keyakinan bahwa dunia diciptakan satu Tuhan sesuai kehendakNya. Karena dunia diciptakan bukan dihasilkan, maka dunia tidak sepenuhnya memiliki sifat-sifat sakral dan illahi yang sama dengan Penciptanya. Meskipun demikian, alam yang taat hukum ini memperlihatkan kekuasaan Sang Pembuat Hukum Yang Maha Agung. Sehingga agama transenden merupakan pandangan sekaligus kumpulan dari kelompok yang berbeda-beda, pranata, dan ritual.
Aturan-aturan ketuhanan ini sudah ada sebelum aturan dari kehendak manusia. Aturan tersebut berlaku untuk masyarakat dan zaman yang berbeda-beda karena sang pembuat hukum berdiri terpisah dari waktu dan mengunggulinya. Jadi, ada hukum yang lebih tinggi atau hukum alam, yang terpisah dan lebih tinggi daripada adat istiadat kelompok sosial tertentu dan perintah penguasa duniawi.
·         Masyarakat Liberal Dan Hukum Yang Lebih Tinggi
Pluralisme kelompok saja atau kepercayaan pada hukum yang lebih tinggi saja, tidak akan sanggup menciptakan tatanan hukum. Negara liberal memberi isyarat bahwa tidak ada satu golongan dalam masyarakat yang memiliki akses istimewa terhadap kebenaran norma dan agama.
KASUS CHINA : SEBUAH ANALISIS KOMPARATIF
·         Hipotesis
Upaya untuk menemukan landasan-landasan sejarah tatanan hukum memaksa kita untuk memperjelas pemikiran kita tentang aspek-aspek paling mendasar dalam masyarakat yang di dalamnya terbentuk rule of law. Dalam peradaban-peradaban lain, kita menemukan perubahan-perubahan social yang berdampak pada pluralisme  kelompok tertentu atau penguatan pandangan transenden akan dunia, sebuah pandangan yang kerap diikuti dengan penafsiran kumpulan-kumpulan sistematis hokum agama. Namun, dimanapun tidak pernah terjadi kedua unsure tersebut bergabung sempurna dan menghasilkan rule of law modern dari interaksi tersebut.
Peradaban China, terutama pada era yang berlangsung sejak awal periode Musim Semi dan Musim Gugur sampai penyatuan di zaman Ch’in dan berdirinya Negara kaisar pada 221 SM. Masyarakat disini tumbuh dan mengandalkan peraturan publik dan peraturan positif sebagai alat kontrol politik. Pembandingan dengan China sebagai kasus yang bertolak belakang, menjanjikan akan memperdalam wawasan kita tentang hubungan kompleks antara cara-cara pengaturan social, jenis-jenis kesadaran, dan bentuk-bentuk tatanan normatif.
Pembandingan ini berlangsung dalam tiga tahap analisis. Pertama, telaah cirri-ciri khusus salah satu periode dalam sejarah China. Peraturan positif dan peraturan publik (hukum sebagai regulasi) tidak terlalu dianggap penting. Kedua, hubungan antara penekanan keduanya sebagai telaah absennya kondisi-kondisi bagi sebuah tatanan hokum otentik di China. Ketiga, bagaimana isu-isu perkiraan sosial dan cultural dalam berbagai jenis hokum telah diangkat dalam perdebatan antara dua aliran pemikiran selama periode dalam sejarah Cina ini – aliran Konfusianis dan aliran Legalis.
·         Adat Istiadat  dan “Foedalisme” pada Cina Awal
Sesuai kesepakatan, periode dalam sejarah Cina kuno dibagi dua. Pertama, periode feudal yang meliputi sebagian besar masa Chou Barat (1122-771 SM) dan sebagian dari masa Musim Semi dan Musim Gugur sesudahnya (722-464 SM) sampai sekitar pertengahan abad ke-6 SM. Periode kedua, periode transformasi yang menyaksikan perubahan kepercayaan dan pengorganisasian social, sehingga menghasilkan revisi besar-besaran pada tatanan normative masyarakat. Periode ini dimulai pertengahan masa Musim Semi dan Musim Gugur, termasuk masa Chan Kuo (463-222 SM) sampai penyatuan Ch’in pada 221 SM.
Aspek-aspek terpenting dalam periode feudal untuk memahami jenis tipikal hukumnya adalah pengaturan politiknya, hubungan antar status social yang mencirikan periode itu, serta visi religious  yang mendominasi. Pengorganisasian feudal berhadapan dengan latar belakang ekonomi pertanian penghasil bahan baku, yang sudah mulai menggunakan pengaruh sentralisasi. Berhadapan juga dengan perang yang relatif sengaja diciptakan oleh para bangsawan utama dan para shih pengikutnya. Untuk memahami cara politik itu, kita harus mempertimbangkan system status sosialnya.
Ada dua kategori yang sangat mencolok perbedaannya : bangsawan (chun zu) dan rakyat jelata (Hsiao jen). Bangsawan adalah keluarga kaisar, para pemilik tanah hadiah raja, golongan dominan yang dikendalikan oleh tanah hadiah bangsawan feudal dan golongan shih.  Golongan shih setara dengan golongan ksatria di Eropa Barat, samurai di Jepang zaman Tokugawa, dan equite zaman Romawi Republic awal.
Gambaran singkat tentang masyarakatb feudal Cina ini ditutup dengan menambahkan cara-cara khas kepercayaan religiusnya. Kesatuan ketuhanan ditegaskan sebagai hail persatuan roh-roh fungsional yang mewujudkan kekuatan alam yang menjadi penopang masyarakat. Pengaruh agama dalam periode feudal terhadap gagasan ketuhanan universal bersifat ambigu dikarenakan adanya dua sebutan bagi Tuhan : Shang Ti (kaisar, penguasa tinggi) dan T’ien (langit). Sebutan T’ien perlahan-lahan menggantikan Shang Ti.
Ketika citra dominan masyarakat adalah citra pemerintah terpusat di bawah satu penguasa, kosmos dipahami sebagai versi luas tatanan social. Maka, Tuhan menjadi pemimpin militer tertinggi, lalu menjadi pembuat hokum yang dilambangkan sebagai Yaweh pada agama Yahudi awal. Terbukalah jalan bagi agama-agama transendensi. Peraturan-peraturan tertulis atau kitab undang-undang yang belum dikenal, dan wewenang pangeran-pangeran penguasa yang tak terbatas, masih dijaga dalam batas-batas yang paling ketat.
Hukum milik masyarakat feudal terangkum oleh konsep li yang mendominasi pemikiran Konfusianis. Li adalah standar hierarkis untuk perilaku, li mengatur hubungan sesuai kedudukan social relative individu. Sifat hierarkis li merupakan respon terhadap struktur politik masyarakat feudal dan system statusnya. Maka jurang pemisah antara chun zhu dan Hsiao jen diterima begitu saja. Hanya bangsawan yang ambil bagian dalam system kewajiban saling bersikap sopan, jika dipakai untuk kalangan rakyat biasa makna asli li  melebur menjadi konsep adat istiadat yang lebih luas. Li dipandang sebagai bentuk perilaku yang intristik dengan situasi dan kedudukan social tertentu.
Li bukan peraturan positif, bahkan dalam satu pengertian, li bukan peraturan sama sekali. Li bukan sifat positif karena tidak dipahami, dirumuskan, atau dipatuhi sebagai sesuatu yang terpisah dari hubungan-hubungan konkret yang menentukan identitas individu dan kedudukan sosialnya. Tatanan normative yang sangat mengandalkan citra perilaku yang benar secara tegas namun tidak teraktualisasikan itu hanya berlangsung efektif dalam konteks social yang memiliki consensus nilai dan persepsi yang kuat.
Landasan social bagi karakteristik li terletak pada tidak adanya pemisahan Negara dan masyarakat selama periode feudal. Li tidak bersifat publik dan tidak dianggap sebagai produk lembaga Negara. Li menyentuh segala aspek dalam kehidupan social. Kedudukan seseorang dalam urutan status nyaris sepenuhnya menentukan aksesnya terhadap kekuasaan. Secara umum, periode feudal Cina kuno memberikan contoh yang bagus sekali tentang masyarakat yang hampir sepenuhnya bergantung pada hokum interaksional dan belum mengenal jenis hokum lain. Gejala ini menjadi gambling setelah kita memahami kondisi social dan budaya tiap-tiap tatanan normatif.
·         Periode Transformasi : Dari Hukum Adat Menuju Hukum Birokratis
Masyarakat dan kebudayaan Cina mengalami perubahan mencolok menjelang pertengahan periode Musim Semi dan Musim Gugur, yaitu abad ke-6 SM. Perubahan ini semakin cepat dengan dimulainya periode Negara-negara yang sedang berperang pada 436 SM. Dan mencapai puncaknya dengan berdirinya Negara kaisar bersatu pada 221 SM. Masa ini disebut masa transformasi.
Sejarah politik periode transformasi merupakan sejarah runtuhnya system feudal secara terus menerus. Pada lingkupn antar Negara, kecenderungan dasarnya mengarah pada sentralisasi politik. Konflik dalam masyarakat feudal menyebabkan jumlah Negara yang berperang menyusut dengan cepat dan tiap-tiap Negara mengalami pemekaran wilayah. Perang membawa akibat penting bagi peraturan dalam negeri negara-negara yang bermusuhan.   Disamping itu, pemisahan yang tiba-tiba serta berbaliknya peruntungan yang tidak disangka-sangka akibat situasi pergolakan memunculkan kader diplomat, sarjana dan sofis yang cekatan.
Rakyat jelata maupun bangsawan tidak luput dari sapu gelombang perubahan social. Dengan terbentuknya pemerintahan terpusat dan penataan ulang system perpajakan, “budak-budak” dari masyarakat feudal beralih menjadi penyewa tanah yang membayar upeti. Secara keseluruhan, dampak dari segala peristiwa politik dan social ini memisahkan Negara dari masyarakat. Ada dugaan bahwa semua peristiwa itu juga turut berperan dalam meruntuhkan kesatuan nilai dan persepsi yang sangat kuat, yang menjadi landasan tatanan feudal dan hukum adatnya. Menjelang abad ke-7 SM, kitab undang-undang hukum tertulis mulai bermunculan di negeri-negeri Cina.
·         Kaum Konfusianis dan Legalis
Pengalaman Cina kuno mengungkapkan hubungan diantara tipe-tipe hokum, struktur social, dan kesadaran serta memajukan pemahaman akan kondisi-kondisi tatanan hokum di masyarakat kita sendiri. Konflik doktrinal utama pada periode transformasi adalah pertentangan antara murid-murid Konfusius dan Fa Chia, begitulah sebutan bagi kaum legalis. Legalisme dan Konfusianisme punya inti pandangan sendiri-sendiri yang mencampuradukan deskripsi dan preskripsi. Inti pandangan Legalisme dan Konfusianisme juga mencakup penjelasan tentang watak dasar manusia, pandangan tentang manusia yang sepatutnya antara pemerintah dan kelompok-kelompok social serta doktrin tatanan normatif.
BATAS-BATAS PERBANDINGAN DENGAN CINA : PENGALAMAN PERADABAN-PERADABAN YANG LAIN
Perbandingan antara pengalaman hokum Cina kuno dengan Eropa modern menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Kedua tradisi mewakili akstrem dari spectrum ada atau tidak adanya rule of law. Kedua masyarakat itu sama-sama mengalami perubahan-perubahan yang mengarah pada pebanyakan hokum birokratis, tetapi hanya satu masyarakat yang mengembangkan tatanan hokum yang sesungguhnya. Kebanyakan peradaban menempati posisi menengah dalam spectrum ini.
Ada dua jenis situasi utama yang dalam hal-hal tertentu mendekati rule of law, sementara dalam hal-hal lainnya tidak teralalu mendekati. situasi pertama meliputi hokum agama di India kuno, Islam, dan Yudaisme.  Dan yang kedua adalah sejarah hokum Yunani-Romawi.
·         Hukum agama di India kuno, Islam, dan Yudaisme
Semua system hokum agama ini dipercaya memilki otoritas yang mengatasi manusia sebagai kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa atau sebagai refleksi tatanan impersonal. Dharmarasta Hindu menerangkan implikasi terhadap pelaksanaan dharma manusia. Hukium Syari’ah menetapkan perintah-perintah Allah bagi umat manusia. Wahyu ilani yang ditetapkan lewat ayat-ayat Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Demikian pula halakhah Yahudi menunjukan tatanan komprehensif bagi kehidupan manusia. Sumber utama adalah Taurat, wahyu Tuhan diatas Gunung Sinai kepada manusia pilihan-Nya.
Agama India (Hinduisme) turut berperan terhadap konsepsi karakteristik dewa tertinggi selalu ambivalen. Dalam Islam, Syari’ah adalah hokum universal yang mencerminkan kehendak Tuhan dan menetapkan kesetaraan diantara umat manusia. Halakhah Yahudi lebih mendekati bentuk tatanan hokum daripada kumpulan hokum agama lainnya. Asal usul ilahi kitab Taurat memperkuat kepercayaan akan universalisme hokum agama dan doktrin kitab Injil menekankan kesetaraan hakiki semua bangsa.
·         Varian Yunani-Romawi
Sejarah hokum Yunani dan Romawi menawarkan satu lagi contoh tradisi yang terletak di antara penolakan Cina kuno dan penerimaan Eropa modern terhadap rule of law. Factor social disini tidak  seperti di Cina, sentralisasi di Yunani tidak pernah cukup kuat untuk mengendalikan, apalagi menekan konflik kelompok. Menjelang abad ke-7, kekuasaan raja-raja di sebagian besar wilayah Hellas sudah lama surut ke tangan oligarki aristokratis. Dari abad ke-7 sampai awal ke-5 SM, perekonomian semakin melibatkan uang.
“Tirani” menjadi tahap menentukan dalam evolusi tatanan sosial yang relatif pluralistis. Demikianlah rezim Peisis-tradid di Athena mengadu domba komunitas pedagang asing dengan golongan Eupatrid. Kadar pluralisme kelompok dan konflik kelompok yang dicapai tidak pernah cukup memadai untuk mentransformasi masyarakat itu menjadi masyarakat liberal. Ketika konsep alam berhasil terbentuk, landasan teologisnya teralalu lambat dan lemah, dengan penguatan social yang yang kelewat kurang untuk menjadi pengaruh yang signifikan terhadap pengorganisasian.
HUKUM SEBAGAI RESPONS TERHADAP MEROSOTNYA KETERTIBAN
Situasi yang digambarkan oleh pandangan konsensus terhadap tatanan sosial merupakan dasar bagi hukum interaksional. Adat istiadat tumbuh subur sampai mencapai tahap ada kesatuan pemahaman dan ideal yang berpadu erat, menyebar luas, saling berkaitan secara koheren, dengan norma-norma yang konkret dan dipegang teguh. Dalam situasi yang memunculkan hukum birokratis, penguasa atau kelompok yang berkuasa bisa melihat masyarakat dari sudut pandang doktrin instrumentalis.
Hukum publik dan  hukum positif menjadi sarana untuk memanipulasi relasi sosial atas nama kebijakan-kebijakan yang sengaja dipilih oleh kelompok yang berkuasa. Pemisahan Negara dari masyarakat menciptakan wahana institusional untuk kontrol tersebut. Selama ribuan tahun manusia memandang alam dan masyarakat sebagai perlambang tatanan suci yang sifatnya hidup sendiri. Bentuk eksistensi dan kesadaran yang benar-benar berbeda hanya muncul di dalam lingkup sejarah yang relative modern. Setiap upaya solusi terhadap krisis tatanan tersebut terbatas kemampuannya dalam mengesahkan kesepakatan sosial.
BAB III
A.    HUKUM DAN MODERNITAS
PERSPEKTIF MODERNITAS
Unger berpendapat bahwasannya setiap teoritisi sosial klasik bekerja menurut perspektif modernisasi. Peradaban yang ada merupakan hasil pemisahan revolusioner dengan peradaban-peradaban pendahulunya, sebuah pemisahan yang benar-benar baru dalam dunia sejarah.
Para teoritisi modern cenderung menerima gagasan masyarakat modern sebagai suatu perkumpulan banyak individu yang merdeka, yang sederajat, keselamatan dan kebebasannya dijamin oleh hukum impersonal. Namun tidak semua menerima teori ini yang dianggap kabur dan tidak bisa menjelaskan teori modernisme. Wawasan mereka yang terdalam harus berhubungan dengan proses perubahan bentuk yang dialami pengorganisasian sosial dan kesadaran sosial melalui konflik dengan satu sama lain.
Perubahan bentuk kehidupan memerlukan banyak penjelasan yang belum terbukti dan menawarkan pandangan baru mengenai sejarah. Namun hal ini dibantah karena menyiratkan bahwa tidak adanya keterkaitan antara unsur-unsur peradaban eropa dengan pasca-renaisance.
Permasalahan yang timbul ahirnya dipelajari terkait relevansinya dengan sejarah hukum. Semua transformasi hukum memberikan sudut pandang untuk meninjau kemodernan dari segala sudut.
PERBANDINGAN ANTARA BERBAGAI MASYARAKAT: SEBUAH KERANGKA PENDAHULUAN
            Untuk merumuskan analisis dasar sistem pembandingan masyarakat, Unger membedakan tiga bentuk kehidupan sosial yaitu kehidupan sosial kesukuan, liberal, dan aristokratis. Dalam hal ini, masyarakat sebagai individu berinteraksi dengan dua konteks yaitu orang dalam dan orang luar.          
            Kemudian timbul tiga permasalahan lain yaitu:
Tentang anatomi kelompok-kelompok tersebut;
Berhubungan dengan bentuk ikatan sosial itu sendiri;
Kecenderungan masyarakat untuk mendefinisikan hubungan antara pengalaman mereka yang sebenarnya dengan apa yang seharusnya terjadi, antara kenyataan dan ideal.
            Ketika membedakan ragam hukum, Unger mengemukakan bahwa dalam memahami aspek sosial dalam perilaku manusia secara khusus, tidak bisa berhenti pada deskripsi dan penjelasan keteraturan faktual. Karakter sejumlah relasi sosial masih dipahami secara keliru sampai berhasil menjelaskan gagasan atau sentimen kewajiban yang diterapkan manusia dalam mempengaruhi urusan mereka satu sama lain, saling menghargai maupun mencela ssesamanya. Studi terhadap ikatan sosial membutuhkan pengetahuan akan jenis-jenis tatanan normatif yang mengelilingi relasi sosial dengan perintah, lambang dan kepercayaan. Terkadang tatanan normatif ini disamakan bulat-bulat dengan praktik sosial; kenyataan dijadikan ideal dan ideal dijadikan kenyataan. Inilah yang kita lihat sudah terjadi pada hukum adat dan agama-agama imanen. Namun ada kalanya ideal dan kenyataan akan saling berlawanan, misalnya pada jenis hukum selain adat, dan agama-agama transenden.
            Ketiga hal diatas merupakan komponen-komponen terpenting dalam kerangka studi komparatif mengenai bentuk-bentuk kehidupan sosial diantaranya:
Masyarakat kesukuan
Sebuah masyarakat yang setiap individu di dalamnya menjadi anggota sejumlah kelompok signifikan. Jumlah kelompok signifikan sangat kecil, tetapi tiap-tiap kelompok ini mengisi sebagian besar kehidupan individu. Dengan begitu, aktivitas dalam kehidupan sosial lainnya dapat dihubungkan dengan aneka ragam kelompok yang berbeda, dalam masyarakat ini terkonsentrasi pada beberapa badan kolektif. Awalnya kelompok yang signifikan hanyalah kelompok yang keanggotaannya ditentukan oleh ikatan kekerabatan, baik yang riil maupun teoritis. Namun pada hampir semua masyarakat, kelompok-kelompok signifikan lainnya seperti entitas wilayah, juga memperoleh semacam kebebasan relatif dari kelompok keluarga.
Masyarakat kesukuan tidak mempunyai konsepsi benar atau salah sebagai sesuatu yang mengatasi dunia alam dan sosial disekeliling mereka. Kesatuan perasaan dan pemikiran mereka yang terikat erat akan mendorong mereka untuk menyamakan ideal dengan jalan menolak pengalaman keraguan moral. Karena itulah, hukum, agama, dan seni mereka pada dasarnya tidak terpisahkan. Bahkan gagasan bahwa alam dan masyarakat itu sendiri mungkin mengalami perubahan mendasar tetap asing bagi seorang manusia yang belum pernah memutuskan lingkaran yang nyaris tertutup itu, lingkaran tempat berputarnya segala sendi kehidupan bersuku.
Masyarakat liberal
Masyarakat liberal merupakan lawan dari masyarakat kesukuan. Dalam masyarakat liberal, setiap individu menjadi anggota sejumlah besar kelompok signifikan, tetapi masing-masing kelompok hanya mempengaruhi bagian terbatas dari kehidupannya. Dengan demikian kepribadian terbagi menjadi banyak aktifitas khusus yang terpisah-pisah atau malah saling bentrok. Sebaliknya pengerucutan ini menyebabkan keseluruhan pribadi seseorang mulai dipahami dan diperlakukan sebagai kumpulan abstrak kemampuan yang tidak pernah bertemu bersama pada salah satu konteks kehidupan berkelompok.
Dalam masyarakat liberal, Pembedaan antara orang dalam dan orang luar tidak lenyap seluruhnya. Pembedaan itu tetap ada dalam ikatan kedaerahan, ikatan etnis, dan ikatan nasional serta pembedaan antara lingkungan publik pekerjaan dan kehidupan pribadi keluarga dan persahabatan. Namun keimpersonalan lingkunagn publik dan karakter komunitas lingkungan pribadi senantiasa berubah. Pada masyarakat liberal, berkali-kali hukum solidaritas komunitas diterapkan pada kehidupan publik dengan nama hukum rimba, sedangkan hukum rimba pun diterapkan pada kehidupan pribadi dengan nama hukum solidaritas komunitas.
Menurut Unger, ikatan sosial yang tidak lagi mementingkan kesatuan intra kelompok dan permusuhan antar kelompok adalah asosiasi kepentingan. Asosiasi kepentingan yaitu seseorang menerima dan mematuhi kerangka berstruktur (menaati peraturan) terkait urusan timbal balik dengan orang lain itu sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Sistem ini tidak mampu bergerak sendiri. Sistem tradisional menyatakan bahwa seseorang yang bermain-main dengan peraturan akan mendapatkan sanksi, namun teori ini ternyata tidak benar-benar berlaku saat sanksi-sanksi tidak ada artinya bagi si pelaku.
Bentuk kehidupan berkelompok dan ikatan sosial dimasyarakat liberal, dapat disimpulkan jenis-jenis kepercayaan yang dikembangkan oleh masyarakat adalah terkait dengan ideal dan kenyataan.
Bagi masyarakat kesukuan, akal adalah kesadaran akan ideal yang sangat konkret yang tersimpul dalam realitas. Akal seperti ini menganggap tidak ada bedanya antara yang sebenarnya dan yang seharusnya atau antara teori dan praktik. Akan tetapi masyarakat liberal menganut pandangan berbeda hubungan antara ideal dan kenyataan, sehingga pandangannya tentang ideal dan kenyataan juga berbeda.
Masyarakat aristokratis
 Masyarakat aristokratis mempunyai ciri yang hampir sama dengan feodal dan oligarkis, namun pada dasarnya contoh yang paling sempurna tetap standestaat Eropa. Standestaat merupakan kategori yang khas dalam logika tipe-tipe masyarakat, karena struktur internalnya berupa gabungan seperti halnya masyarakat kesukuan dan masyarakat liberal juga merupakan masyarakat terkecil yang tidak bisa dibagi lagi seperti halnya kedua tipe msyarakat lainnya itu.
Masyarakat liberal cenderung bergerak mendekati universalisme; masyarakat ini cenderung mempersatukan orang dibawah hukum kesetaraan formal. Masyarakat kesukuan bersifat partikularistis; ketaklukan individu terhadap kelompoknya dan kekakuan pembedaan diantara banyak kelompok menenggelamkan pengakuan bahwa penduduk asli maupun pendatang adalah sama-sama manusia. Masyarakat aristokratis paling baik dipahami sebagai gabungan universalisme dan partikularisme. Baik kekuatan maupun kelemahannya berasal dari gabungan ini.
Prinsip utama yang mempersatukan tatanan aristokratis ialah kehormatan. Bukan solidaritas komunitas atau asosiasi kepentingan. Kehormatan adalah pengakuan dari orang lain bahwa seseorang memiliki sifat-sifat kebajikan yang lebih, sesuai dengan status orang tersebut terkait hak dan kewajiban yang menyertai statusnya.
            Karena tatanan aristokratis menganut tatanan tunggal yang stabil, berbeda dengan jenjang status yang banyak dan tidak stabil pada liberalisme, maka lapisan tertingginya, aristokrasi memainkan peran penting dalam menentukan karakter masyarakat.
            Setiap tipe masyarakat mempunyai titik pusat ketegangan, cacat tersembunyi dalam mendefinisikan ikatan sosial sehingga saat cacat tersebut tampak jelas akan menimbulkan pengambilan bentuk baru. Masyarakat kesukuan menghadapi bahaya berupa runtuhnya kesatuan nilai-nilai bersama dan menjadi korban konflik kelompok. Masyarakat liberal rentan dari berbagai implikasi dari sistem statusnya yang tidak stabil itu. Walaupun setiap kelompok tidak berhak menguasai kelompok yang lain namun beberapa kelompok sebenarnya lebih besar kekuasaannya daripada kelompok yang lain.
            Unger mendeskripsikan masyarakat aristokrasi dengan memperhatikan antara yang ideal dan yang sebenarnya, kemudian mendekati dengan sudut pandang universalisme dan partikularisme.
Perubahan Sosial
            Akar terdalam dari semua perubahan sejarah adalah konflik nyata atau konflik tersembunyi antara pandangan yang ideal dan pengalaman kenyataan yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat liberal, terdapat banyak konflik dengan berbagai segi yang berbeda antara yang ideal dan kenyataan sehingga perubahan dalam masyarakat liberal berlangsung amat cepat dan luas dibandingkan dengan jenis kehidupan sosial lainnya.
Dalam masyarakat aristokratis, hubungan antara ideal dan pengalaman dirasakan lebih akrab. Sehingga dalam masyarakat ini, dirasakan perubahan bisa berlangsung lebih lambat dan kurang nyata dari pada perubahan dibawah liberalisme.
Sedangkan perubahan bagi masyarakat kesukuan cenderung tidak bertubi-tubi dan tidak disadari.
HUKUM DAN MASYARAKAT ARISTOKRATIS EROPA
Antara Feodalisme Dan Liberalisme
Umumnya tipe masyarakat Eropa yang berlangsung sesudah tatanan feodal, tetapi sebelumnya negara liberal, disebut sebagai masyarakat golongan (sosiety of estate) atau standestaat. Baik feodalisme abad pertengahan maupun standestaat dapat dianggap sebagai spesies masyarakat aristokratis, tetapi standestaat-lah yang langsung melahirkan liberalisme dibarat. Untuk mendefinisikan kedudukan standaestaat dalam kategori tatanan aristokratis yang lebih luas yaitu dengan mengingat karakteristik umum yang mengutamakan pengaturan kekuasaan yaitu terdapat dua kesenjangan sosial yaitu antara elite dan rakyat; Golongan-golongan yang menyusun elit tersebut bergerak menurut kelompoknya sendiri (tipikal milik masyarakat aristokratis); dan terdapat upaya untuk saling menjinakkan dan pelanggaran antara perdagangan dan birokratis terhadap hierarki status tradisional.
Dari ketiga krakteristik tersebut, karakter pertama mengaitkan masyarakat golongan dengan feodalisme, karakter ketiga dengan liberalisme dan masyarakat kedua menggambarkan sifat institusionalisnya yang khas dan menentukan tempatnya yang istimewa didalam genus tatanan aristokratis. Hintze menunjukkan bahwa ciri khas standestaat adalah pengaturan golongan secara berkelompok yang memiliki dua bentuk sebagai ciri institusional standestaat, yang akhirnya Unger mengatakan bahwa halk tersebut sebagai sifat masyarakat aristokratis secara umum. yaitu:
Bikameral yaitu adanya majelis tinggi dan majelis rendah
Tripartit yaitu adanya tiga golongan (bangsawan, pendeta, dan profesional) menjadi badan-badan dari perangkat prerogatif legislatif, administratif, dan peradilan permanen.
Hukum pada standestaat
Hukum birokratis mencakup dua unsur yaitu:
Alam duniawi berisi perintah-perintah berdasarkan kebijaksanaan
Wilayah dalam kehidupan sosial yang kebal terhadap penguasa dan tunduk semata-mata terhadap suatu tatanan yang suprapositif dan suci.
Kontras antara dua wajah hukum praliberal ini ditekankan oleh perbedaan tradisional antara polizeisache (urusan-urusan yang menjadi wilayah kompetensi raja) dengan justizsache (urusan-urusan yang menyangkut privilese dan kewajiban golongan di bidang itu).
Berdasarkan perkembangan yang ada ahirnya hukum prerogatif golongan mulai memperoleh sifat publik dan positif tanpa sepenuhnya kehilangan identitas semula. Hukum tetap dianggap sebagai sesuatu yang lebih tinggi dan tidak dapat diusik lagi. Hukum previlese menjadi inti dari hukum konstitusional Eropa modern sampai kaum revolusionis Prancis menegaskan kedaulatan rakyat sebagai hal yang tertinggi.
Namun tetap saja dalam suatu permasalah itu pasti ada perbedaan sehingga ada juga yang menerapkan sentralisasi atau otonomi.
Absolutisme birokratis dan konstitusionalisme parlementer adalah dua jalur transisi utama dari masyarakat golongan menuju masyarakat liberal.  Dalam standestaat, raja tidak punya pilihan kecuali menegakkan rule of law. Ahirnya rul of law modern muncul dari proses bersisi dua, yaitu ketika hukum maklumat resmi memperoleh tambahan generalitas dan otonomi, dan hukum privilese golongan menjadi publik dan positif.
MASYARAKAT LIBERAL DAN HUKUMNYA
Konsesus
Yang dimaksud konsesus dalam pembahasan ini adalah situasi konsesus dalam masyarakat liberal. Bahasan ini merupakan pijakan awal untuk mengungkapkan paradoks-paradoks (pertentangan makna) utama dalam sebuah ideologi yang dominan.
Kesadaran dan eksistensi pada masyarakat liberal didasarkan pada interdependensi di antara 3 faktor:
1.   Semakin bertambahnya jumlah kelompok signifikan seiring dengan mengurangnya wilayah kehidupan individu yang didominasi oleh tiap-tiap kelompok.
2.   Sirnanya perbedaan mencolok antara orang dalam dan orang luar. Tatanan sosial menjadi asosiasi kepentingan yang memanfaatkan kebudayaan manusia akan persetujuan satu sama lainnya.
3.   Ideal-ideal yang ternyata bertentangan dengan kenyataan.
Universalisme masyarakat liberal memang berhasil menjadikan manusia bisa berbagi beberapa tujuan dan kepentingan, tetapi tidak bisa menjadikan kelompok mereka sebagai komunitas.
Meskipun demikian, dalam masyarakat liberal masih terdapat kekuatan-kekuatan yang menjalankan kesepakatan moral jika dibandingkan dengan masyarakat aristokratis.
Dan jika dibandingkan dengan masyarakat kesukuan masyarakat liberal lebih cenderung menciptakan keseragaman keinginan dan prasangka universal dan lebih terbuka tehadap perselisihan terus menerus daripada masyarakat kesukuan.
Dari jabaran komparasi antara masyarakat liberal dengan masyarakat aristokrasi dan masyarakat kesukuan diatas timbullah suatu teka-teki yaitu bagaimana mungkin ada konsesus tanpa otoritas (otoritas; aristokratis), stabilitas tanpa kepercayaan (kepercayaan; kesukuan), dan juga tatanan tanpa adanya pembenaran (pembenaran adat sebagai sesuatu yang suci; kesukuan).
Untuk memahami posisi hukum dan negara dalam masyarakat liberal, kita harus memecahkan teka-teki ini. Untuk memecahkannya maka kita beralih fokus penelitian dari konsesus menuju hierarki. 
Hierarki
Pembahasan dilanjutkan ke asal-usul paradoks-paradoks yang telah diterangkan dalam pembahasan sebelumnya dalam sebentuk hierarki yang khas.
            Urutan status (rank order) distribusi kelompok-kelompok sosial secara hierarkis dalam hal aksesnya terhadap kekayaan, kekuasaan dan pengetahuan.
            Ada 2 bentuk urutan status dalam sebuah masyarakat:
1.  Ranking yang bersifat tertutup dan inklusif. Sifat tertutup berhubungan dengan stabilitas kedudukan yang dimiliki masing-masing anggota. Sifat inklusif menggambarkan pentingnya kedudukan tersebut dalam menentukan kedudukan sosial individu. Kedua sifat ini saling mendukung. Sifat ini terjadi dalam masyarakat aristokratis.
2.   Ranking yang bersifat terbuka dan parsial. Sifat terbuka mengacu pada kemudahan individu untuk berganti tempat dalam urutan status. Sifat parsial menggambarkan banyaknya sistem kedudukan yang berbeda-beda. Kedua sifat ini terjadi pada masyarakat liberal.
Dari penjabaran urutan status diatas, selanjutnya Unger memfokuskan bahasannya pada masyarakat liberal dengan ranking yang bersifat terbuka dan parsial.
           Urutan status masyarakat liberal lebih berpeluang menciptakan situasi yang tidak tetap dan berubah-ubah, yang pada akhirnya tidak memiliki dasar apapun dalam katagori masalahnya.
            Dalam struktur masyarakat modern (liberal), kecintaan pada kesetaraan akan semakin memperbesar penyetaraan keadaan. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk manemukan dasar bagi penggunaan kekuasaan yang sah dan wewenang.
            Kecenderungan budaya masyarakat modern untuk mengkritik kepercayaan atau ideal dengan cara mengungkapkan bahwa kepercayaan atau ideal tersebut berasal dari kekuasaan politik atau kekuasaan personal mengakibatkan pelemahan pada legitimasi urutan kedudukan atau hierarki yang telah mapan.
            Kekuasaan masyarakat liberal adalah sistem yang lambat laun tidak mampu  mempertahankan kekuasaannya. Sifat-sifatnya sendiri yang telah menghancurkan legitimasinya dimata para penguasa dan yang dikuasai.
            Semua ini menimbulkan sketisisme moral yang mendorong rasa putus asa untuk menerima tatanan yang telah ada atau tanpa tujuan berganti-ganti pola dari satu ketidakadilan ke ketidakadilan yang lain. 
Hukum dan negara
Dalam pembahasan sebelumnya telah menyinggung tentang rule of law yang dicirikan oleh komitmennya kepada generalitas dan otonomi.
Kemudian dalam bahasan hukum dan negara ini, penulis bermaksud membedakan antara konsepsi rule of law yang lebih bebas yaitu yang merupakan respons dominan yang khas terhadap situasi liberal dengan konsepsi rule of law yang lebih sempit yang hanya muncul dalam situasi-situasi yang khusus.
            Rule of law disinni berusaha untuk memisahkan antara politik dan hukum atau bertujuan pada obyektifitas hukum sehingga hukum bersifat netral, seragam dan dapat diprediksikan. Dari sini muncul asumsi dua asumsi, yaitu:
1.      Bahwa jenis kekuasaan yang paling signifikan dapat dikonsentrasikan di pemerintah. Selama hierarki kelas atauu hierarki peran di masyarakat tidak bisa mempengaruhi kebebasan-kebebasan individu tersebut, maka masalah kedudukan yang tidak pada tempatnya masih bisa dikendalikan.
2.      Ideal rule of law ialah bahwa kekuasaan dapat dibatasi secara efektif oleh peraturan, entah peraturan itu bertindak sebagai batasan-batasan terhadap administrasi atau sebagai hakikat pilihan dalam ajukasi.
Kedua asumsi diatas tidak sepenuhnya benar. Karena dalam masyarakat liberal tidak semua kekuasaan yang signifikan diserahkan kepada pemerintah. Bahkan, hierarki-hierarki yang paling langsung mempengaruhi situasi individu secara mendalam adalah hierarki dalam keluarga, tempat kerja dan pasar. Dan juga metode pembuatan hukum di masyarakat liberal tidak bisa dianggap benar-benar netral.
Alasan-alasan yang menyebabkan gagalnya upaya untuk menjamin keimpersonalan (kenetralan) kekuasaan ini adalah adanya urutan status yang relatif terbuka dan parsial juga disintegrasi (kekacauan) konsesus yang menyertainya.
Negara, suatu pengawas konflik sosial yang dianggap netral, selamanya terjebak dalam pertentangan kepentingan-kepentingan pribadi dan dijadikan alat salah satu faksi. Hal ini semakin membuktikan adanya gap antara visi tentang ideal dengan kenyataan yang sesungguhnya dialami.
Hukum, birokrasi dan liberalisme: Jerman sebagai contoh
            Kesimpulan sejarah negara Jerman tentang hukum masyarakat liberal:
1.   Rechtsstaat adalah pengejawantahan kompromi antara kedaulatan negara dan tatanan kelompok masyarakat golongan. Hal yang sama juga menimpa rule of law di Inggris dengan kadar yang lebih rendah. Kasus Jerman menyiratkan bahwa birokrasi sebagai “kelas universal”, berpeluang besar untuk memainkan peran krusial dalam penciptaan liberalisme nondemokratis, yang membatasi golongan lain dengan formalisme peraturan.
2.   Kesimpulan kedua dari kasus Jerman terkait dengan hubungan tatanan hukum dengan otoritarianisme. Komitmen pada generalitas dan otonomi dalam hukum, serta pembedaan antara legislasi, administrasi dan ajudikasi semata-mata, tidak memiliki signifikansi demokratis yang inheren (bersatu padu). Komitmen pada kedua hal tersebut dapat membantu memajukan monopoli kekuasaan Oligarki atau diktator.
3.   Yang terakhir, sejarah Jerman mengilustrasikan dengan jelas, dilema yang dihadapkan ideal legalitas bagi kaum Proletar (kaum awam, miskin) disebuah negara yang kelas-kelas pekerjanya tidak memegang kendali secara efektif. Kaum Proletar bertindak sebagai pengimbang kelompok-kelompok kepentingan Oligarki (pemerintahan kaum elite) setampat dan diseluruh negeri. Sedangkan perlakuan yang sama oleh lembaga yudikatif semakin memperparah ketidaksetaraan antara kaum Proletar dan kaum elite.
DISINTEGRASI RULE OF LAW DI MASYARAKAT PASCALIBERAL
Masyarakat pascaliberal
Karakteritik pada masyarakat-masyarakat pascaliberal meruntuhkan rule of law dan memperkuat kecenderungan terhadap kepercayaan dan pengorganisasian yang pada akhirnya melemahkan kepercayaan pada peraturan publik dan positif sebagai dasar tatanan sosial. kecenderungan ini menyebabkan kajian pandangan terhadap situasi dan prospek masyarakat liberal. Ada dua perangkat ciri yang biasa tampak pada bentuk kehidupan sosial yang baru ini yaitu:
1. Perangkat ciri yang pertama mengacu pada intervensi pemerintah dalam wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap berada di luar lingkup tindakan negara yang sepantasnya.
2. Perangkat ciri lain yang menonjol dari masyarakat pascaliberal adalah sisi kebalikan dari peristiwa-peristiwa yang baru saja dipaparkan: perkiraan bertahap yang dilakukan negara dan masyarakat tentang wilayah publik dan wilayah pribadi. 
 Negara kesejahteraan dan turunnya pamor rule of law
Perkembangan negara kesejahteraan mempengaruhi tatanan hukum masyarakat liberal dalam bermacam-macam cara, tetapi ada dua pengaruh langsung yang secara khusus tampak sangat signifikan yaitu:
1.   Meluasnya penggunaan standar-standar yang lentur dan klausul-klausul umum dalam legislasi, administrasi dan ajudikasi.
2.   Perubahan dari gaya penalaran hukum formalitas ke gaya penalaran hukum yang berorientasi pada kebijakan, dan perubahan dari perhatian pada kesetaraan formal ke perhatian pada kesetaraan prosedural atau kesetaraan subtantif.
Negara korporat dan ancaman terhadap hukum publik dan hukum positf
Dampak kecenderungan korporatis masyarakat pasca liberal terhadap hukum akan lebih dramatis daripada kecenderungan yang dipunyai negara kesejahteraan. Kalau kecenderungan negara kesejahteraan turut menyumbangkan disintegrasi rule of law, maka kecenderungan korporatis masyarakat liberal akhirnya melawan gejala hukum birokratis yang lebih mendasar dan lebih universal: hukum publik dan hukum positif.
Pengaruh paling nyata yang dimiliki korporatisme terhadap hukum adalah kontribusinya bagi perkembangan hukum, maka hukum administratif, korporat dan perburuhan melebur menjadi satu kumpulan hukum sosial. Pada saat yang sama akan sulit dibedakan antara tindakan negara dan perilaku pribadi.
Formalitas, keadilan dan solidaritas
Legalitas sebagai formalitas.
Dalam pengertian paling umum, formalitas berarti tanda-tanda yang membedakan sebuah sistem hukum: pengupayaan hukum yang general, otonom, publik dan positif yang membatasi –walaupun tidak sepenuhnya- apa yang boleh dilakukan seorang pejabat atau seorang pribadi.
Sistem peraturan bersifat formal sepanjang sistem tersebut mengizinkan penafsir resmi atau tak resmi membenarkan keputusan-keputusanya dengan mengacu pada peraturan itu sendiri dan ada tidaknya fakta yang dinyatakan oleh peraturan tersebut, tanpa memedulikan argumen keadilan atau kemanfaatan lainnya.
Seorang formalis memandang keadilan itu tidak ada bentuknya sebab keadilan tidak dapat dikodifikasikan sebagai sistem peraturan, dan tidak dapat dikatakan tiranis karena semua pertimbangan moral bersifat subjektif, meskipun pertimbangan-pertimbangan itu dimiliki barsama secara luas.
Formalitas dan keadilan.
Lawan bagi justifikasi oleh peraturan adalah keadilan, pengertian keadilan intuitif dalam kasus tertentu. Formalisme menganggap bahwa keadilan hanya bisa melunakkan konsekuensi formalisme yang tampaknya keras tak tertahankan mengingat gagasan-gagasan moral yang berkuasa.
Semakin banyak keadilan yang dikorbankan demi logika peraturan, semakin lebar jarak antara hukum pemerintah dan sentimen awam akan kebenaran. Akibatnya, hukum kehilangan kejernihannya, juga legitimasinya di mata orang awam; orang awam mengenal hukum sebagai catur alat ajaib yang digunakan oleh golongan terhormat.
Formalitas dan solidaritas.
Tatanan hukum memberikan hak dan kewajiban; semakin formal tatanan hukum, semakin besar kemungkinan tiap hak akan diperlakukan sebagai suatu kekuasaan yang akan dilaksanakan sesuai kehandak pemegang kekuasaan itu.      
Baik sisi formalitas individualis maupun sisi formalitas kolektivitas tidak memenuhi tuntutan solidaritas, karena ideal solidaritas mengisyaratkan seseorang tidak boleh memanfaatkan wewenangnya yang sah untuk mengejar tujuan-tujuannya sendiri tanpa menghiraukan dampak yang diakibatkannya bagi orang lain. 
Tujuan dan standar.
Tatanan hukum sebagai sistem formalitas menghadapi 2 masalah besar yaitu:
1.   Perjuangan untuk keluar dari dilema kesewenang-wenangan dan formalisme membabi buta
2.   Upaya untuk menciptakan antara legalitas dan moralitas dengan menolak ekstrem-ekstrem individulisme dan kolektivisme serta menyediakan ruang yang lebih lapang di dalam hukum bagi nilai-nilai solidaritas
Praktisi hukum menganggap hukum sebagai sistem peraturan yang sudah jelas dengan makna yang dikendalikanoleh tujuan-tujuan yang bermanfaat yang harus dihubungkan oleh para pengguna hukum dengan peraturan-peraturan itu.
 Dengan cara itu praktisi hukum berharap dapat menguasai ketegangan antara formalitas dan keadilan serta menghindari akibat-akibat yang tidak menyenangkan dalam sebagian besar kasus.
Keadilan, solidaritas, dan dominasi: peran kedilan subtantif.
Ada 4 dalil yang memperjelas hubungan saling terkait antara keadilan atau solidaritas di satu sisi dengan dominasi di sisi lain yaitu:
1. Persoalan keadilan dan solidaritas lebih umum daripada persoalan dominasi.
2. Memang benar bahwa berbagai upaya untuk mempraktikan keadilan dan solidaritas pasti kacau, atau bahkan gagal dengan sendirinya karena persoalan mendasar kekuasaan yang tidak pada tempatnya, belum juga terselesaikan.
3. Kompromi antara keadilan formal dan keadilan substantif yang ditunjukkan oleh keadaan prosedural tidak sesuai dengan pemulihan reputasi ideal-ideal hukum keadilan dan komunitarian atau tidak sesuai dengan pengurangan dominasi.
4. Penentu utama bagi progres keadilan dan solidaritas dalam hukum adalah penghancuran hubungan ketergantungan dan dominasi.
Lunturnya legalitas: sejarah Jerman pun berlanjut
Lunturnya legalitas, menyebabkan sejumlah klausul umum mendadak naik derajat menjadi yang utama. Kalangan kritikus menyatakan bahwa kecenderungan ini akan melemahkan tatanan hukum dengan jalan memaksa pengadilan agar memberikan keputusan-keputusan yang sangat personal; bahwa kecenderungan itu akan membuat lingkup peraturan hukum menjadi tidak pasti dengan mengatasnamakan keadilan.
Kasus Jerman memperlihatkan banyaknya ancaman bagi kebebasan yang muncul dengan lunturnya tatanan hukum, juga tingginya resiko yang dijalani cendekiawan kritis saat mengecam gagasan hukum positif atas nama gagasan komunitas yang memerintah sendiri.
DISINTEGRASI RUL OF LAW DI MASYARAKAT PASCA LIBERAL
Kecenderungan komunitarian, korporatis dan kesejahteraan yang terungkapkan selama evolusi hukum bergabung mengubah masing-masing unsur dasar masyarakat liberal.
Ketika masyarakat mengalami transformasi sesuai pola korporatis dan menerima kebenaran aspirasi-aspirasi komunitarian, kelompok-kelompok signifikan yang memberikan nyawa bagi hidup individu semakin berkurang jumlahnya dan semakin penting artinya.
Karena hierarki mengalami transformasi dan kondisi komunitas bergerak maju dalam masyarakat liberal, semakin besar peluangnya bahwa hubungan-hubungan personal yang tidak diatur dengan peraturan yang bersifat tidak subordinatif. Setidaknya asosiasi kepentingan bisa secara parsial digantikan oleh tujuan bersama sebagai prinsip pembangkit tatanan sosial. kehancuran hukum positif, publik, otonom dan general mengiringi dan mengungkapkan metamorfosis ini.


Perspektif Modernisasi
Perbandingan Antara Berbagai Masyarakat: Sebuah Kerangka Pendahuluan
Hukum Dan Masyarakat Aristokratis Eropa
Masyarakat Liberal Dan Hukumnya
Disintegrasi Rul Of Law Di Masyarakat Pasca Liberal
Ragam Kemodernan
Hukum Seusai Masyarakat Modern: Dua Kemungkinan
BAB IV
MENINJAU KEMBALI PROBLEMATIKA TEORI SOSIAL
MENINJAU KEMBALI PROBLEMATIKA TEORI SOSIAL
Dengan mengingat kembali apa yang telah diketahui dari kajian sosial hukum, sekarang tiba saatnya meninjau kembali masalah-masalah yang sudah disinggung di awal buku ini.
Bab-bab sebelumnya telah memperlihatkan, dan telah ditegaskan kembali oleh bab ini, bahwa masalah metode, tatanan, dan kemodernan itu berhubungan erat. Solusi lengkap terhadap masalah salah satu dari masalah-masalah itu mensyaratkan solusi terhadap masalah-masalah yang lain.
MASALAH METODE
Seperti terungkapkan  dalam bagian pertama buku ini, masalah metode mencakup empat hal pokok: kemungkinan bagi sebuah alternatif terhadap logika dan sebab-akibat, yang mampu mengatasi ketidaklayakan rasionalisme maupun historisisme; hubungan antara metode yang ketiga ini dengan kausalitas; hubungan antara makna suatu tindakan bagi pelakunya dengan makna tindakan itu bagi pengamat; dan hubungan teori sistematis dengan pemahaman sejarah.
Kajian sosial terhadap hukum memiliki signifikansi khusus karena pandangan situasi metodologis pemikiran modern. Kita dikacaukan oleh hubungan antara tindakan dan keyakinan, terutama ketika keyakinan mengandung aspek normatif yang nyata. Hukum kita tampil sebagai seperangkat peraturan yang menentukan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, bukan menjelaskan bagaimana seharusnya perilaku manusia itu.
Metode makna umum mendefinisikan kembali istilah perdebatan dengan memandang satuan terkecil dalam kajian sosial sebagai persesuaian tertentu antara kepercayaan dan perilaku, Persesuaian ini disebut makna. Kejelasan perilaku manusia mensyaratkan bahwa tindakan bisa dipahami dengan mengacu pada gagasan tentang tujuan yang dikejar individu dan kondisi yang mendukung atau menghalangi pencapaian tujuan itu. Perilaku manusia bisa dimaklumi khusunya dalam bahasa sosial hanya jika kita mampu mengerti mengapa dia berlaku demikian pada situasi yang demikian, mempertimbangkan kemampuan yang dimilikinya tentang tujuan yang ingin dicapainya, juga tentang keadaan-keadaan yang membuatnya harus berbuat demikian. Perilaku juga bisa digambarkan dan dijelaskan dengan ungkapan yang murni fisik. Cara yang lebih tepat untuk menerangkan hal ini ialah bahwa tindakan manusia selalu berasal dari kepercayaan.
Masalah pada hipotesis bahwa tindakan berasal dari kepercayaan berhubungan dengan implikasi-implikasinya terhadap kemungkinan kebohongan, kesadaran yang keliru, dan perilaku tak sadar. Ada ancaman bahwa penekanan pada kedekatan hubungan antara perilaku dengan kesadaran akan dianggap memiliki arti bahwa apa pun yang orang pikirkan atau katakan tentang perbuatannya berarti itulah yang sebenarnya dilakukannya.
Jadi metode interpretatif demikian tidak menyamakan kepercayaan yang diucapkan dengan kepercayaan yang sebenarnya. Sebaliknya, metode interpretatif mempergunakan tiap-tiap kepercayaan sebagai konteks untuk memahami kepercayaan yang lain. Jadi, kita juga memberikan makna pada perilaku dengan asumsi bahwa si pelaku mungkin menganut pemahaman yang keliru tentang keadaan dan dampak perbuatannya. Terakhir, memang benar ada tindakan-tindakan yang benar-benar tidak disengaja atau tidak dipikirkan lebih dulu dengan matang. Dan semua tindakan kemungkinan hanya setengah saja yang mengandung unsur kesengajaan atau pertimbangan.
Barang kali muncul pertanyaan apakah pemberian makna itu selalu berseberangan dengan gagasan tradisional kausalitas. Tujuan-tujuan pilihan yang diambil boleh dianggap sebagai sebab primer, dan keadaan yang mendasari pilihan itu boleh dianggap sebagai sebab atau kondisi yang melatarbelakangi. Namun, tetap akan ada batasan penting terhadap penggunaan kausalitas.
Ketidaktepatan penyamaan metode makna umum dengan penjelasan kausal menjadi semakin jelas ketika kita berdalih dari dua dimensi metode interpretatif, dari kedekatan perilaku dan pengalaman menjadi cara berkumpulnya gejala sosial menjadi kesatuan-kesatuan yang mempunyai makna. Dua bentuk utama gejala sosial adalah  perbedaan fungsional dan persamaan. Perbedaan fungsional muncul ketika gejala-gejala yang berimplikasi khusus untuk wilayah kehidupan sosial yang berlainan, Persamaan muncul ketika beberapa fakta sosial berubah menjadi implikasi-implikasi yang analog bagi kepercayaan dan perilaku.
Setiap bentuk kehidupan sosial yang dibicarakan dalam buku ini, masyarakat kesukuan, masyarakat aristokratis, dan masyarakat liberal adalah satu kesatuan bermakna dari jenis yang paling komprehensif. Masing-masing menambahkan satu modus eksistensi manusia secara utuh. Dan bagi tiap bentuk-bentuk kehidupan sosial tersebut, hukum berperan krusial dalam mengungkapkan dan menentukan hubungan kepercayaan dan pengorganisasiannya.
Dalam buku ni, meskipun metode makna umum sudah digambarkan dengan singkat, namun belum dijelaskan hubungannya dengan penjelasan kausal. Tentu saja metode ini tidak membebaskan untuk memperlihatkan bagaimana dan mengapa satu kejadian atau kesatuan bermakna terjadi mengikuti kejadian atau kesatuan bermakna lainnya. Jawaban yang dangkal terhadap pertanyaan ini ialah metode makna umum berorientasi pada deskripsi, sedangkan kausalitas menjadi alat bagi eksplanasi.
Kendati penjelasan kausal dan penjelasan interpretatif berbeda, keduanya juga saling tumpang tindih. Di satu sisi, aktivitas purposif terungkapkan lewat manipulasi pernyataan-pernyataan kausal: sarana yang dipilih pelaku guna mewujudkan tujuan-tujuannya dimaksudkan untuk menyebabkan tercapainya tujuan-tujuan lain. Di sisi lain, dalam membuat penilaian tentang peristiwa sejarah, kita biasanya harus membedakan sebab primer dengan sebab sekunder, atau antara sebab dengan kondisi yang menjadi latar belakang. Tidak semua hal dalam masyarakat yang bisa dijelaskan secara kausal juga bisa ditafsirkan secara bermakna. Aktivitas manusia di dalam masyarakat banyak yang tersembunyi dari pemahaman sosial atau pemahaman manusia.
            Relatif terbatasnya kisaran mode interpretasi terletak pada dualisme watak dasar manusia. Manusia adalah kesadaran yang sanggup memiliki intensionalitas, tetapi manusia juga hidup di dunia fisik. Walaupun maksudnya meresapi sebagian aspek situasinya, maksud tersebut tidak pernah mencapai semua aspek.
Komunikasi di antara perseorangan mensyaratkan dua hal. Prasyarat pertama, komunikan sebagai anggota-anggota spesies yang sama memiliki jenis wujud lahiriah atau batin yang sama. Prasyarat yang kedua, potensi atau persamaan tersembunyi ini diaktualisasikan lewat seperangkat pengalaman, pemahaman dan nilai yang sama.
Tuntutan objektivitas dan subjektivitas dapat terpenuhi selama terwujud kesatuan universal aktual antara pengalaman, pemahaman dan nilai. Semakin rapuh hubungan diantara ketiganya dengan masyarakat yang kita pelajari, semakin kita tidak mampu memperoleh pengetahuan subjektif terkait masyarakat itu, untuk menerapkan penjelasan interpretative atasnya.
Alat krusial bagi pengakuran pemahaman sejarah yang sistematis adalah tipe. Tipe adalah suatu kesatuan bermakna, dan kesatuan unsur-unsurnya adalah kesatuan makna. Karena itu dasar atau pembenaran bagi metode tipologi ini adalah kecenderungan gejala-gejala sosial untuk berkumpul menjadi kesatuan-kesatuan bermakna. Namun kecenderungan tersebut tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana kita bisa merumuskan teori-teori yang memperbandingkan banyak kehidupan social, juga tidak bisa memberikan pedoman nyata tentang tingkat abstraksi yang bisa menghasilkan pernyataan-pernyataan teoritis. Untuk menangani persoalan-persoalan tersebut harus kembali pada gagasan metafisis, kesatuan watak dasar manusia, lalu mengembangkannya.
Dalam menafsirkan watak dasar manusia, setiap bentuk kehidupan sosial mengubah definisi dan wujud kemanusiaan. Sehingga peluang dan hambatan yang dihadapi masyarakat pascaliberal, tradisionalistis, dan masyarakat sosialis revolusioner (bukan hanya menyajikan pertentangan antara individulitas dan sosiabilitas, kebebasan dan kesatuan, dengan cara yang lebih tajam dan cermat, tetapi juga menyediakan kekayaan sarana jasmani dan rohani yang belum ada sebelumnya guna menyelesaikan kembali masalah itu) berbeda dengan peluang dan hambatan yang dihadapai masyarakat sebelumnya.
Pandangan tentang hubungan antara bentuk-bentuk kehidupan sosial dan watak dasar manusia didasarkan pada dua gagasan utama yang muncul bertentangan. Gagasan pertama menyatakan sumber masalah itu terbatas dan ada banyak peluang bagi pergaulan manusia. Gagasan kedua menyatakan bahwa sumber masalah itu terbatas memungkinkan adanya teori komprehensif dan perbandingan universal.
Cara untuk mengakurkan dua gagasan yang sama-sama penting ini adalah dengan memahami watak dasar manusia sebagai satu entitas yang terwujudkan dalam bentuk-bentuk khusus kehidupan social, tetapi tidak pernah lekang karenanya.
Seluruh konsepsi kita tentang akal tetap berlandaskan pada gagasan hal-hal universal (watak dasar manusia terhadap hubungan seseorang dengan alam, dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri) sebagai generalisasi abstrak dari hal-hal yang khusus (bentuk kehidupan social dan kepribadian individu yang mewakili dan membangun kemanusiaan).
Doktin hal-hal universal dan hal-hal khusus, menunjukkan batas-batas sejauh mana masalah keabstrakan tipe-tipe kehidupan social bisa diselesaikan, lalu menuju masalah teori sistemtis dan historiografi. Tipe yang  terakhir adalah watak dasar manusia sendiri.
Jika dilihat dari teoritisi sosial yang bisa membuat suatu tipologi menjadi jauh lebih konkret tanpa merusak kekhasannya, masalah abstraksi dan kekonkretan dalam kajian sosial memperoleh aspek baru. Jadi kita tahu bahwa sebagaimana dilema subjektivitas dan objektivitas yang membutuhkan resolusi politik, persekutuan pemikiran penggeneralisasi dan historiografi mensyaratkan perubahan pada gagasan filosofis kita. Untuk menebus kegagalannya sendiri, teori social wajib menjangkau di luar dirinya sendiri sampai ke ilmu politik dan metafisika.
MASALAH TATANAN SOSIAL
Dalam kondisi social saat ini, ada 2 hal yang tampak nyata untuk mendekati persoalan pemersatu masyarakat. Pertama, mencari konsepsi umum tentang ikatan social yang mempersatukan doktrin legitimasi dan doktrin instrumentalisme. Kedua, melepaskan pencarian hipotesis komprehensif karena tidak berguna, lalu mencoba mencari tahu keadaan-keadaan yang paling cocok untuk menerapkan masing-masing deskripsi teori sosial.
Pandangan yang muncul dari esai ini, terletak diantara kedua solusi tersebut. Pandangan yang menegaskan bahwa tidak ada masyarakat yang berhasil menyelesaikan masalah tatanannya sendiri sampai masyarakat tersebut berhasil mempertemukan tuntutan-tuntutan manusia digambarkan oleh kedua doktrin tersebut.
Doktrin legitimasi berlaku dengan kekuatan khusus pada bentuk kehidupan social (masyarakat kesukuan), dan lebih umunya, pada semua jenis komunitas berhierarki. Doktrin ini paling lazim dalam lingkungan social hokum adat.
Doktrin kepentingan pribadi (instrumentalisme) mengalami kesulitan dalam menerangkan stabilitas dan kesatuan. Jadi, dalam masyarakat liberalpun, setiap kesepakatan kolektif pada akhirnya dirasa rapuh dan tidak sah.
Krisis tatanan sosial menjadi subjek sadar perhatian manusia setiap kali konsensus gagal atau kehilangan kemampuannya untuk menuntut kesetiaan, sebab kemudian nyatalah bahwa adat bahkan tidak sanggup menjadi pengganti naluri. Hukum birokratis maupun tatanan hukum tidak mampu membatalkan krisis ini.
Kedua varian utama kehidupan sosial ini, masing-masing dengan doktrin tatanan yang menopangnya, memperoleh daya hidup dari aspek mendasar dalam watak dasar manusia. Alasan utama mengapa tidak ada masyarakat yang sanggup memecahkan masalah tatanan dengan mengandalkan salah satu dari dua aspek kepribadian ini adalah karena dari dua sifat kemanusiaan itu, tidak ada satupun yang bisa ditetapkan dengan sepenuh-penuhnya.
Dalam situasi imajiner ini, secara teori, kontroversi antara doktrin instrumentalisme dan legitimasi akan kehilangan makna, tetapi hanya kontoversi itu akan teratasi secara praktik. Bahkan karena kemampuan kita yang terbatas dalam menguniversalkan pengalaman komunitas, kita tidak bisa menunjukkan bahwa sintesis ini akan atau bisa benar-benar terecapai. Karena itulah tidak ada jaminan bahwa persoalan teoritis tatanan social ini akan benar-benar terjawab.
Ada 2 kesimpulan dalam jenis analisis ini yang perlu dikedepankan. Pertama, memang ada hubungan antara kejelasan suatu masyarakat dengan kesempurnaannya. Masyarakat yang mengorbankan salah satu sisi dalam dilemma tatanan social ini yang lain akan terjerumus dalam salah satu doktrin tatanan social yang parsial. Kedua, masalah teoritis tatanan, seperti masalah metode, juga merupakan masalah politik. Batas-batas solusinya sama dengan batas-batas politik itu sendiri.
MASALAH KEMODERNAN
Pendekatan dengan memahami watak kemodernan yang paling dasar memaksa kita untuk menolak 2 interpretasi terpopuler tentang masyarakat modern. Salah satunya, dengan gaya pemikiran politik liberal, menyatakan bahwa masyarakat adalah perkumpulan individu yang memiliki tujuan saling bertentangan yang keamanan dan kebebasannya dijamin oleh rule of law. Interpretasi yang lainnya menganggap masyarakat sebagai susunan kelompok, khususnya susunan kelas, dominasi yang karakter sejatinya masih tersembunyi, belum terungkapkan oleh ideologi yang berkuasa. Interpretasi yang pertama menganggap remeh kesadaran; interpretasi yang kedua mengabaikannya. Sebaliknya, inti dari pendekatan terhadap masyarakat liberal modern ialah konsepsi hubungan saling mempengaruhi antara kepercayaan dan pengalaman, kesadaran dan pengorganisasian.
Ketika liberalisme menjadi pascaliberalisme, ketika masyarakat tradisionalistis dan masyarakat sosialis revolusioner muncul sebagai tipe-tipe modern yang menyimpang. Hubungan saling mempengaruhi ini mendapat bentuk baru. Masyarakat liberal terlibat dalam paradoks cara perkumpulan yang menafikan komunitas maupun tatanan imanen, sehingga paling baik dijabarkan dengan kepentingan pribadi. Namun, masyarakat pascaliberal, tradisionalisitis, dan sosialis revolusioner, dengan cara berbeda-beda, semuanya terobsesi pada bertemunya kebebasan dan persatuan. Persatuan ini merupakan bagian dari tanggung jawab yang lebih luas; makna tatanan yang tersembunyi atau tatanan alam dalam kehidupan social harus diselaraskan dengan kemampuan untuk mengizinkan kehendak menciptakan kembali kesepakatan social. Untuk mencapai hasil ini, yang artinya mengupayakan ideal komunitas universal, merupakan tugas politik yang besar bagi masyarakat-masyarakat modern.
TEORI SOSIAL, METAFISIKA DAN POLITIK
Banyak teori sosial yang dibangun sebagai benteng terhadap metafisika dan politik. Setia kepada pandangan yang dihasilkan pemeberontakan kaum modern terhadap filsafat kuno, para teoritisi sosial klasik tidak sabar untuk membebaskan diri dari ilusi metafisika, lalu dari ketidakpastian pertimbangan politik. Mereka ingin menciptakan kumpulan pengetahuan objektif tentang masyarakat, yang tidak akan dipengaruhi oleh spekulasi metafisika maupun kontroversi politik.
Teori sosial harus mengambil sikap terhadap masalah dasar watak manusia dan pengetahuan manusia yang tidak pernah dibicarakan dalam penjelasan “ilmiah” manapun. Dan teori sosial harus mengakui bahwa masa depannya sendiri memang tidak terpisahkan dari takdir masyarakatnya. Progres teori ini bergantung pada peristiwa-peristiwa politik. Doktrin-doktirn yang dianut teori berupa ideal sekaligus deskripsi: pilihan-pilihan yang wajib diambil teori sosial adalah pilihan diantara pandangan-pandangan tentang apa yang sebenarnya. Pilihan-pilihan ini tidak berubah-ubah, juga tidak sama dengan bukti logika atau bukti empiris. Pilihan-pilihan ini mengembangkan konsepsi-konsepsi spekulatif tentang syarat-syarat tatanan sosial dan tuntutan-tuntutan watak dasar manusia – konsepsi-konsepsi yang mendapat informasi dari pengetahuan sejarah, tetapi tidak bisa berpura-pura senantiasa mengikuti jalannya sejarah.
Maka, jalan pulang kepada metafisika dan politik dalam teori sosial terancam bahaya oleh peluang bahwa pembelajaran yang diperoleh secara perlahan-lahan akan ditukar murah dengan khayalan dan nafsu. Namun, penilaian apa pun terhadap risiko ini perlu memperhatikan dua hal. Pertama, tidak ada jalan keluar yang nyata. Program internal milik teori sosial itu sendiri, bebannya atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, paradoks-paradoks yang tak terselesaikan, serta asumsi-asumsinya yang tidak tepatlah yang memaksa kita untuk menempuh cara ini. Selain itu, reuni kajian sosial dengan metafisika dan politik ini mengandung janji sekaligus bahaya yang luar biasa, sebab tentu saja sama benarnya bagi teori sosial maupun bagi cabang pengetahuan lainnya bahwa wawasan dalam kemungkinan besar diperoleh ketika berpindah persepsi dari yang umum ke yang khusus, atau sebaliknya.



Komentar

HEAVEN

MANAJEMEN KONTEMPORER

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

GERAK PRESESI DAN GERAK NUTASI SUMBU BUMI