REVIEW BUKU HUKUM RESPONSIF, REPRESIF DAN OTONOM MATA KULIAH SOSIOLOGI HUKUM “Law and Society in Transition : Toward Responsive Law” (Philip Nonet dan Philip Selznick)

BAB I

ILMU HUKUM DAN ILMU SOSIAL
Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan dan peraturan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik –bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial berlaku pula untuk analisis atas institusi hukum-maupun semangat pembaruan. Harapannya, telah tiba saatnya bagi kajian yang berkelanjutan untuk dapat membuahkan hasil yang bermanfaat bagi penyelenggaraan keadilan
Bermula di kalangan akademisi, ilmuwan sosial dan pengurus lembaga-lembaga filantrofi dan kemudian menjadi semakin signifikan. Mereka menyatakan bahwa hak-hak sipil, kemiskinan, kejahatan, protes massal, penyalahgunaan merupakan masalah sosial, sehingga dituntut untuk menemukan solusi yang paling tepat untuk menciptakan keadilan. Oleh karenanya law and society menjadi sebuah topik yang sangat penting dan menampilkan persoalan-persoalan yang tidak mampu diatasi, bahkan dipahami, oleh mereka yang menggelutinya.
Ilmu hukum selalu lebih dari sekedar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang. Konsep-konsep yang abstrak, seperti kewajiban hukum, sebenarnya berbicara mengenai hal-hal yang menciptakan perbedaan dalam pemahaman mengenai hukum dan tentang bagaimana hukum itu digunakan. Sudut pandang filosofis (seperti kritik positivisme) dan persoalan-persoalan analitis yang sulit dijawab (seperti perbedaan antara aturan dan prinsip) merupakan metode yang tidak bisa ditawar lagi untuk memeriksa persoalan-persoalan yang mengelilingi tertib hukum. Jadi, teori hukum tidaklah buta terhadap konsekunsi sosial dan juga tidak kebal dari pengaruh sosial.
Ada kebutuhan untuk membuat pemiikiran-pemiikiran implisit ini menjadi lebih sentral dalam kajian ilmu hukum, guna mendorong adanya apresiasiyang diperbarui tentang keterkaitan antara teori hukum dan kebijakan sosial. Untuk membuat ilmu ukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori politik dan teori sosial
Teori Hukum dan Krisis Otoritas
Sebagai titik awal, perlu diingat bahwa teori-teori hukum dibangun di atas teori-teori yang bersifat implisit menegenai otoritas. Banyak perhatian dan kontroversi seputar ilmu hukum kontemporer yang berakar pada krisis otoritas yang telah mengguncang institusi-institusi publik.
Kritik atas hukum selalu ditunjukkan kepada tidak memadainya hukum sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan subtantif. Tanda bahaya yang konservatif tentang terkikisnya otoritas, penyalahgunaan aktivisme hukum dan macetnya “hukum dan ketertiban” (law and order) digunakan dalam gerakan baru yang radikal yang berfokus kemandulan dan terkorupsinya tertib hukum.
Sehingga ketika berbagai peristiwa ditelaah, tampak ketegangan antara dua pendekatan terhadap hukum, kebebasan dan kontrol sosial. Yang pertama, yang bisa disebut pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban, menekankan betapa besarnya stabilitas hukum terhadap suatu masyarakat yang bebas dan betapa beresikonya sistem yang berdasarkan otoritas dan kewajiban sipil. Sehingga jelas garis pemisah antara hukum dan politik.
Pendekatan ini menolak menyamakan “hukum” dengan “ketertiban”. Karena dalam perspektif ini, hukum dinilai sebagai sumber bagi kritik dan sebagai instrument untuk perubahan, dan ada kepercayaan diam-diam bahwa suatu sistem otoritas dapat melestarikan dirinya sendiri dengan lebih baik, dan dapat menjadi lebih baik, bila ia terbuka terhadap rekonstruksi dalam konteks bagaimana pihak yang diperintah memaknai hak-hak mereka dan meninjau kembali komitmen moral mereka.
Untuk menjadi responsif, sistem itu perlu terbuka dalam banyak hal, perlu mendorong partisipasi, dan perlu mengantisipasi minat-minat sosial yang baru yang memungkinkan hal-hal tersebut diketahui dalam situasi sulit. Garis pemisah atara hukum dan politik tidaklah jelas, setidak-tidaknya pada wilayah di mana advokasi dan keputusan hukum bersentuhan dengan isu-isu kebijakan publik yang kontradiktif. Inilah yang disebutkan sebgai pandanga risiko tinggi tentang hukum dan ketertiban.
Masing-masing perspektif di atas mempunyai kelemahan tersendiri. Perspektif yang pertama, karena relatif tidak responsif, bisa mendorong penolakan terhadap hukum, jika dibutuhkan beberapa akomodasi terhadap kepentingan, nilai dan gaya hidup. Dan ia bisa mendatangkan krisis dan kekacauan dengan ditutupnya saluran untuk menyatakan keberatan, partisipasi dan perubahan. Di lain pihak, perspektif risiko tinggi. Karena berupaya untuk lebih responsif, bisa mengundang lebih banyak kesulitan daripada apa yang diperrjuangkannya, bisa memunculkan kelemahan dan ketimbangan ketika berhdapan dengan tekanan, dan terlalu banyak memberi kepada minoritas aktivis.
Walau banyak hal persepektif “risiko rendah” dan “risiko tinggi” serupa dengan “konservatif” dan “liberal”. Namun penyerupaan tersebut tidak tepat. Karena ada versi liberal dari pandangan “risiko rendah”, yait pandangan yang menekankan nilai demokrasi dari dipisahkannya hukum dan politik dan pembatasan terhadap diskresi jabatan. Tampaknya Bagi keduanya, teori hukum yang implisit diterima jika menimbulkan pembatasan fleksibilitas dan respnsivitas.
Apapun label dan pertalian ideologisnya, perspektif-perspektif ini sedang diuji saat ini ketika institusi-institusi hukum beradaptasi dengan sikap dan harapan berubah, dan dengan perpecahan sosial. Alternatif ini dimunculkan secara tajam ketika krisis hukum dan ketertiban muncul, yakni ketika otoritas melemah dan legitimasinya dipertanyakan, ketika perpecahan begitu meluas sehingga menimbulkan kesan bahawa otoritas hukum terlalu sedikit berdasarkan pada partisipasi dan persetujuan. Dalam kondisi otoritas yang terancam seperti ini, alternatif-alternatif abstrak menjadi pilihan nyata yang memberikan karakter (character defining) 
Strategi Ilmu sosial
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Prinsip ini dilanggar ketika hukum diangggap berdimensi tunggal atau dikatakan sebagai suatu yang memiliki atribut-atribut seragam. Konsepsi hukum yang seragam sebagai “suatu pengorganisasian untuk kemaslahatan bersama“ atau “alat pemaksa untuk tujuan penegakan norma”atau “sinonim dengan kekuasaaan Negara” dapat diterima dengan baik. Namun konsepsi-konsepsi semacam itu menyebabkan pemberian definisi yang kaku terhadap hukum tanpa melihat konteks di mana hukum berlaku.
Ciri hukum, sebagaima halnya ciri fenomena sosial lain, adalah sesuatu yang harus dipelajari dalam proses pengkajian terhadap hukum. Ciri hukum adalah hasil, bukan titik awal. Ciri hukum tidak dapat diketahui tanpa kajian empiric terhadap aspek-aspek ketertiban hukum yang bervariasi dan saling bergantung satu sama lain.
Gagasan mengenai hukum akan kehilangan fokus bila diidentifikasikan sebgai kekuatan pemaksa (the gunman writ large) atau dicampurkan ke dalam konsep yang lebih luas tentang kontrol sosial. Sebaliknya, kajian tentang variasi akan membuat frustasi jika hukum dipahami secara kaku.
Adalah benar bahwa suatu definisi harus mengandung beberapa hubungan analitis dengan suatu konteks teori yang lebih luas, namun definisi tidaklah, dan tidak perlu, mengandung argumentasi. Dengan kata lain, dalam studi mengenai fenomena sosial, termasuk hukum, definisi memang bersifat “lemah” sementara konsep-konsep dan teori-teori bersifat ”tegas”.
H. LA. Hart, menyajikan suatu kerangka acuan yang sangat cocok untuk suatu definini hukum. Yaitu “Unsur-unsur minimal dari suatu tertub hukum ada bila tersedia kriteria-kriteria yang dapat diterima untuk menguji dan menegaskan otororitas kewajiban-kewajiban sosial. Ia menamakan kreiteria-kriteria tersebut sebagai “peraturan sekunder,” yakni peraturan mengenai peraturan.
Philip nonet dan philip seiznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu : (1) hukum sebagai pelayan kekuasaan represif,. (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya, dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Dan dasar dari hukum masyarakat ini diusulkannya sebagai upaya memperjelas berbgai keterkaitan yang sistematik tersebut dan untuk mengidentifikasi konfigurasi-konfigurasi khas di mana keterkaitan-keterkaitan itu terjadi . Sebgai contoh, walau paksaan
Ada paham instrumentalisme represif di mana hukum tunduk terhadap keinginan penguasa, ada suatu langkah mundur dari tujuan yanng otonom; dan ada pembaruan instrumentalisme, namun untuk mencapai kepentingan publik yang lebih obyektif, dalam konteks hukum responsif. sehingga yang menjadi titik tumpu pada pandangan ini adalah diskresi, yang bergantung pada konteks sosial. Diskresi tidak serta merta mendorong otoruras yang tidak terkndali. Hal seperti itu kemungkinan terjadi bila kekuasaan terisolasikan dari struktur sosial dan karenanya jauh dari kontrol sosial..
Hukum represif mengingatkan kita akan gambaran teori thomas Hobbes, John austin dan Karl Max. Dimana hukum merupakan perintah dari yang berdaulat yang pada prinsipnya memiliki diskresi yang tidak terbatas. Hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sedangakan hukum otonom adalah bentuk pemerintahan yang dilihat dan dikenal sebagai “rule of law” dalam teori yang dikemukakan oleh A.V. Dicey.
Hukum yang otonom, karena ia berupaya untuk mengontrol dan mempersempit diskresi, menginginkan langgengnya isolasi jabatan. Dibawah kondisi kekuasaan yang berbelit-belit dan terintegrasi, resiko terjadinya represi akan berkurang dan persoalan hukum menjadi berkurang dalam membatasi pejabat daripada membuat mereka berkomitmen kepada kepentingan publik. Karena pembaruan terhadap fokus pada tujuan mungkin memerlukan perluasan diskresi.
Perspektif-perspektif itu dapat terpadukan dan dipahami secaa lebih baik kalau mereka dilihat sebgai penyebab adanya klasifikasi yang berbeda-beda atas pengalaman hukum. 
Model Perkembangan (Developmental Model)
Perkembangan (development) merupakan satu dari banyak pemikiran yang paling membingungkan dalam ilmu-ilmu sosial. Namun upaya untuk merasionalkan sejarah kelembagaan nampaknya memerlukan pemahaman mengenai kepastian arah (directionaly), pertumbuhan dan kehancuran. Dalam ilmu hukum terdapat pula pemahaman intuitif bahawa beberapa bidang hukum lebih “berkembang” dibanding bidang hukum lainnyam dan bahwa perubahan hukum sering menggambarkan pola-pola pertumbuhan atau kehancuran. Sehingga menurut penulis teori-teori perkembangan merupakan upaya intelektual yang berlebihan, namun perspektif dasar teori perkembangan merupakan sesuatu yang berharga dan bahkan tidak dapat dihindari.
Fungsi utama dari model perkembangan dalam kajian sosial adalah untuk membantu mendiagnosis kapasitas dan kelemhan institusi, dan mngukur potensinya untuk merealisasikan prinsip-prinsip. Pengukuran potensi tersebut tidaklah didasarkan pada sesuatu yang tidak jelas. Justru maksud dari suatu model perkeembangan adalah untuk memberikan landasan dalam menemukan prinsip yang muncul atau prinsip yang penting dalam analisis mengenai penekanan dan peluang historis, jadi menyatakan bahawa hukum represid sebgai tahapan yang rendah dan hukum responsif sebagai tahapan yang tinggi dalam perkembangan hukum bukanlaah berarti bahawa hukum responsif lebih disukai ketimbang hukum represif
Teori perkembangan menentang penilaian yang didasarkan atas kriteria-kriteria dari hukum, organisasi atau kepribadian yang “baik”, yang sebenarnya abstrak. Ia secara tegas menyatakan bahwa evaluasi memerlukan suatu penilaian yang mendalam atas masalah-masalah aktual, sumber daya dan peluang-peluang.
Oleh karenanya, penulis mengakui bahwa dalam model yang diajukannya, tahapan III kurang stabil dibandingkan tahapan II. Tahapan I juga mempunyai sumber bagi ketidakstabilannya sendiri, termasuk legitimasi yang tidak stabil. Jadi, mereka berargumen bahwa tahapan II yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. 
Dengan demikian model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif, namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.
TABEL TIGA TIPE HUKUM
HUKUM REPRESIF HUKUM OTONOM HUKUM RESPONSIF
TUJUAN HUKUM
Ketertiban Legitimasi Kompetensi
LEGITIMASI Ketahanan dan tujuan negara (raison d’ etat) Keadilan prosedural Keadilan suntantif
PERATURAN Keras dan rinci namun berlaku lemah terhadap pembuat hukum Luas dan rinci, mengikat penguasa maupun yang dikuasai Subordinat dari prinsip dan kebijkan
PERTIMBANGAN Ad hoc; memudahkan mencapai tujuan dan bersifat partikular Sangat melekat pada otoritas legal; rentan terhadap formalisme dan legalisme Purposif (berorientasikan tujuan); perluasan kompetensi kognitif
DISKRESI Sangat luas; oportunistik Dibatasi oleh peraturan; delegasi yang sempit Luas, tetapi sesuai dengan tujuan
PAKSAAN Ekstensif; dibatasi secara lemah Dikontrol oleh batasan-batasan hukum Pencarian positif bagi berbagai alternatif, seperti intensif, sistem kewajiban yang mampu bertahan sendiri
MORALITAS Moralitas komunal, moralisme hukum, “moralitas pembatasan” Moralitas kelembagaan, yakni dipenuhi dengan integritas proses hukum Moralitas sipil, “moralitas keja sama”
POLITIK Hukum subordinat terhadap politik kekuasaan Hukum independen dari politk, pemisahan kekuasaan Terintegrasinya aspirasi hukum dan politik, keberpaduan kekuasaan
HARAPAN AKAN KETAATAN Tanpa syarat, ketidaktaatan per se dihukum sebagai pembangkangan Penyimpangan peraturan yang dibenarkan, misalnya untuk menguji validias undang-undang atau pemerintah Pembagkangan dilihat dari aspek bahaya subtantif, dipandang sevagai gugatan terhadap legitimasi
PARTISIPASI Pasif; kritik dilihat sebgai ketidaksetiaan Akses dibatasi oleh prosedur baku; munculnya ktik atas hukum Akses diperbesar dengan integrasi advokasi hukum dan social.
HUKUM OTONOM
Munculnya Hukum Otonom  ini sebagai wujud tertib hukum untuk menjinakkan represif. Dalam perkembangan sejarah disebut “rule of law”(pemerintah berdasarkan hukum). Rule of law mengandung arti lebih dari sekedar eksistensi hukum. Ia muncul dari sebuah aspirasi hukum dan politik, penciptaan “sebuah pemerintahan berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan orang-orang”. Sehingga rule of law akan lahir ketika institusi-institusi hukum mendapatkan otoritas independen untuk memaksakan standar-standar pengedalian dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan.
Rule of law lebih baik dipahami sebagai sistem kelembagaan sendiri dari pada cita-cita yang abstrak. Karena karakter utama dari rezim ini adalah terbentuknya institusi-institusi hukum yang terspesialisasi dan relatif otonom. Dan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, sistem ini disebut sebagai hukum otonom.

Legitimasi dan Otonomi
Sebelum masuk pembahasan lebih mendalam mengenai hukum otonom, perlu kiranya dibahas lebih dahulu hubungan antara hukum, legitimasi dan otonomi instutisional. Karena pencarian akan legitimasi merupakan sumber utama bagi transisi dari hukum represif ke hukum otonom.
Tidak ada rezim yang mampu bertahan tanpa adanya sebuah landasan yang dipersetujui warga negara. Legitimasi tersebut memberikan batasan bagi kekuasaan. Akan tetapi, batasan tersebut dapat dengan mudah memberikan dukungan bagi rezim represif. Oleh sebab itu, legitimasi memerlukan perhatian yang khusus dan tindakan kontrol dalam melaksanakan kekuasaan, dengan dilihat sebagai sesuatu yang sangat variatif dalam muatan dan efeknya.
Sebenarnya sebuah institusi-institusi hukum dalam menciptakan legitimasi memiliki masalah-masalah dalam legitimasi tersebut. Jika ia mampu menyakinkan dunia dan dirinya sendiri bahwa putusannya tidak ternoda oleh kompromi-kompromi istimewa, maka masalah-masalah legitimasinya terpecahkan. Untuk menegaskan dan menjaga kompetensi itu, ia harus mengklaim suatu otonomi institusional. Inilah dasar pemisahan kekuasaan yudikatif dari kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Karakteristik khas hukum otonom dpat diringkas sebagai berikut:
1.      Pemisahan Hukum dan Politik
Keberadaan hukum positif harus dijauhkan dari kontroversi politik yang dibuktikan melaui proses konstitusional. Oleh karena itu, otoritas penilai ini harus dibuat terlindungi dari perebutan kekuasaan dan pengaruh politik. Dalam menginterpretasikan dan melaksanakan hukum, ahli-ahli hukum harus menjadi juru bicara obyektif. Serta memberikan keadilan yang pasif, secara impersonal dan berupa keadilan yang diterima sebagai sesuatu yang baku. Sehingga, jika institusi-institusi hukum ingin mempertahankan otonominya, maka mereka harus menahan diri untuk tidak memasukkan pemikiran mereka sendiri mengenai muatan hukum.
Pemisahan hukum dan politik adalah strategi utama legitimasi. Itulah cara hukum otonom membawa legitimasi, baik bagi dirinya maupun bagi tatanan politik. Strategi tersebut mempunyai dua aspek:
2.      Sebuah fondasi dibuat untuk mensubordinasikan politik kepada hukum.
Pada rezim hukum otonom tindakan dari komunitas politik yang terorganisir tidak terlegitimasi dengan sendirinya. Elit politik bisa saja membuat putusan-putusan dan mengarahkan sumber-sumber daya yang ada, namun pernyataan mengenai apakah tindakan-tindakan tersebut sah secara hukum, membutuhkan sebuah penilaian terpisah. Dimana hukum otonom menyediakan forum untuk meneliti dan memberikan penilaian terhadap hal tersebut.
3.      Dalam pencarian akan legitimasi, hakim-hakim menekankan dan mengagungkan fungsi-fungsi mereka yang semata-mata bersifat hukum dan tidak bersifat politik. Prinsipnya, hukum otonom bersifat kaku, institusi-institusi hukum otonom harus membatasi dirinya untuk tidak menerapkan hukum yang diterima ke dalam kasus-kasus di mana hanya fakta-fakta yang dinilai.
4.      Formalisme Hukum dan Model Peraturan (Model of Rules)
Pada prinsipnya hukum otonom berpusat pada hakim dan terikat pada peraturan. Hakimlah yang menjadi simbol tatanan hukum, bukan polisi atau legislator. Pada perauran, hukum otonom mengaburkan pembedaan antara hal umum dan hal khusus, hal abstrak dan hal konkrit. Dengan berupaya mengartikan norma tertentu seolah-olah norma tersebut merupakan norma yang sudah, atau seharusnya, sangat tepat dan bebas dari keraguan. Hal ini dilakukan dengan melihat kata-kata sebagai sesuatu yang penting. Benar-benar mencermati arti adalah suatu karakter pembeda hukum otonom.
Sifat berpusat-pada-peraturan (rule-centered character) dari hukum otonom memiliki sebuah dasar yang sangat praktis:
5.      Peraturan merupakan sebuah sumber potensi untuk melegitimasi kekuasaan.
6.      Ketika hakim dibatasi oleh peraturan, cakupan nyata diskresi mereka menjadi sempit. Akibatnya, kekuasaan yudikatif lebih mudah memberikan justifikasi karena ia nampak terbatas.
7.      Naiknya jumlah peraturan mengundang kompleksitas dan mendatangkan masalah-masalah konsistensi.
8.      Orientasi pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab sistem hukum.
9.      Hukum otonom, meskipun menjinakkan represi, masih tetap berkomitmen pada gagasan bahwa hukum utamanya adalah sebuah instrumen kontrol sosial.
Dalam ilmu hukum, perjuangan untuk mencapai ketepatan dan kejelasan ini direfleksikan dalam pengakuan yang luas terhadap model peraturan (model of rules) sebagaimana dikemukakan oleh Dworkin. Sebagai sebuah teori, model tersebut terbukti selalu salah dalam realita hukum. Namun, bertahannya model ini bukanlah sebuah kesalahan intelektual, bias bahasa, atau kecenderungan falsafi, ataupu sebagai artefak pendidikan hukum.
Model of rules dipelihara dan dipertahankan karena ia mengartikulasikan bidang perhatian utama hukum otonom yang mempunyai sifat berpusat-pada-peraturan. Dimana sifat ini membantu meningkatkan dan menjaga sistem kelembagaan. Karena jika hukum diperintah oleh peraturan dan bukannya oleh diskresi atau prinsip, maka integritas proses hukum akan lebih mudah dijaga dan dipertahankan. Sehingga dibutuhkan sebuah penekanan terhadap peraturan, inilah memang ciri khas hukum otonom.
Model of rulesmembangkitkan etos birokrasi modern. Seperti halnya hukum otonom, birokrasi menekankan ketaan pada peraturan, prosedur yang benar dan yuridiksi yang tegas. Ia memang bisa dilihat,  sebagaimana Max Weber melihatnya sebagai wujud historitas utama dari model rule of law. Dalam birokrasi, formalisme yang begitu kuat merasuk memperlemah makna tujuan. Fokusnya bukanlah pada hasil, namun pada ditaatinya secara teratus rutinitas administrasi yang sudah baku atau yang sudah digariskan. Ini sebuah cara untuk mengawasi pembuatan keputusan yang sewenag-wenang.
Prosedur dan Pengendalian Diri
Gagasan bahwa “prosedur adalah jantung hukum” menempati posisi  penting dalam etos hukum otonom. Penjinakkan represif dimulai dengan tumbuhnya komitmen untuk memerintah berdasarkan peraturan. Selanjutnya, prosedur  merupakan jaminan paling nyata dari suatu penerapan peraturan secara adil. Adapun otoritas yang berpotensi represif dikendalikan oleh dua process (perlaksanaan prosedur hukum berdasarkan asas dan peraturan yang baku).
Akibatnya, penekanan pada “cara” melampui legalitas dan keadilan. Keadilan substantif  menjadi bersifat derivatif, sebuha hasil turunan yang diharapkan dari sutau metode yang sempurna. Padahal keadilan formal secara konsisten melayani pola-pola hak istemewa dan kekuasaan yang ada. Makna keadilan dirusak ketika sebuah sistem yang bangga akan adanya peradilan yang sempurna dan tidak memihak, tidak mampu menjustifikasi gugatan akan ketidakadilan substantif. Keadilan hukum terasa menyesatkan dan sewenang-wenang ketika ia menghalangi terwujudnya harapan akan keadilan, yang sebenarnya telah ia dorong sendiri. Pada akhirnya, tarik-menarik antara keadilan prosedural dan keadilan substantif melahirkan daya yang mendorong tatanan hukum untuk keluar dari batas-batas hukum otonom.
Meskipun demikian, pada tahap evolusi hukum bertahan oleh sebuah norma pengendalian diri yang berakar sangat mendalam. Pengadilan dan birokrasi menyadari bahwa integritas mereka dapat dipertahankan hanya jika “ciri pasif’ diadopsi. Dimana hakim bersifat pasif berdasarkan peraturan, tidak boleh secara aktif menafsirkan peraturan.
Klaim terhadap Ketaatan
Pemerintah berdasarkan hukum (rule of law) mengharapkan kesetiaan yang tegas kepada hukum masyarakat dan pejabat pemerintah. Tidak seorangpun dapat menjadi hakim dalam kasusnya sendiri. Itulah gunanya pengadilan, jika seorang diizinkan untuk menentukan untuk dirinya sendiri apa itu hukum, setiap manusia bisa. Ini akan menimbulkan kekacauan dan akhrinya tirani. Retorika ini menunjukkan apa yang kita sebut suatu perspektif “resiko rendah’ pada hukum dan otoritas. Tiap penyimpangan ketaatan penuh terhadap hukum dipandang sebagai sebuah ancaman terhadap tatanan hukum secara keseluruhan.
Pemerintah berdasarkan hukum (rule of law) menunjukkan rasa irinya terhadap model hukum-dan ketertiban (rule-and-order). Menurut model hukum-dan ketertiban, bahwa kewajiban masyarakat terdiri dari ketaatan tak bersyarat pada peraturan-peraturan negara. Peraturan tersebut sejalan atau tidak sejalan dengan rasa keadilan warga negara itu sendiri tidaklah penting: warga negara tidak menilai hukum namun mematuhi. Model ini tidak serta merta lebih cocok dengan sebuah kediktatoran daripada dengan sebuah demokrasi. Bagaimanapun model ini menuntut  seorang warga negara untuk selalu tunduk. Jadi warga negara dalam sebuah demokrasi mungkin saja bebas untuk mencela sebuah hukum dan memperjuangkan perubahan di dalamnya melalui proses politik, namun sampai hukum itu diubah, hukum menuntut ketaatan dari warag negara tersebut.
Klaim terhadap ketaatan menemukan kenyamanan dan dukungan dalam karakter hukum otonom yang berpusat-pada-peraturan (ruel-centered). Karena peraturan-peraturab yang tepat dan hak-hak yang tegas berjalan bersamaan. Serta untuk warga negara dan juga pejabat-pejabat publik, tempat diskresi dipersempit.

Kritik Hukum dan Perkembangan Hukum
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, maka dapat digarisbawahi bahwa model pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law) yang menjadi pusat perhatiannya adalah otonomi institusi hukum. Selain menunjukkan keberhasilannya, hukum otonom juga membawa keterbatasan-keterbatasan, itu muncul karena terlalu banyak energi digunakan untuk keperluan integritas kelembagaan. Dalam kerangkan rule of law ancaman, kesempatan dan harapan muncul, yang semuanya cenderung menghancurkan otonom dan menyatukan kembali hukum dengan politik dan masyarakat.
Transprotasi model tersebut bukanlah sebuah keharusan perkembangan historis, sebab banyak hal tergantung pada konteks kebutuhan sosial dan sumber daya yang melingkupinya. Dalam konteks ini mengenai sebuah potensi perkembangan hukum. Dimana potensi tersebut merujuk pada sumber-sumber dan pola-pola yang khusus dari kekuatan-yang-bersifat-memberi-arahan (directional energy). Sumber dan pola khusus tersebut adalah tipe-tipe pemikiran hukum dan partisipasi hukum yang (1) menciptakan sumber-sumber daya untuk perubahan hukum dan (2) dengan sendirinya efektif dalam membangkitkan harapan dan tuntutan hukum.
Kompetensi utama hukum otonom adalah kapasitasnya untuk mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban warga negara. Namun, ada satu hal yang tidak diduga kemunculannya yaitu mendorong sikap kritis. Ketika institusi-institusi dan prosedur-prosedur hukum otonom berkembang, kritik atas otoritas menjadi pekerjaan sehari-hari bagi orang-orang hukum. Hal ini nyata dengan semangat mereka dalam menganalisis, menginterpretasi, mengelaborasi arti peraturan dan dalam komitmen mereka secara sadar terhadap keraturan prosedural. Komitmen ini menempatkan pengadilan dalam soal menentukan kesempatan-kesempatan untuk menyatakan kali-kalim. Sehingga advokasi menandingi ajudikasi sebagai paradigma tindakan hukum.
Advokasi tidak menerima hukum begitu saja. Ia menggunkan segala sumber analisis hukum untuk memperjuankan penerapan suatu peraturan tertentu daripada peraturan lainnya, untuk membenarkan sebuah interpretasi khusus, untuk menjadi dasar pembelaan dan untuk menhadirkan fakta yang nyata. Dampak jangka panjangnya adalah untuk membangun da dalam tatanan hukum sebuah dinamika perubahan dan untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum merespon secara fleksibel masalah-masalah dan tuntutan-tuntutan baru. Sebuha visi pun muncul dan suatu kemungkinan ikut dirasakan. Suatu visi dan kemungkinan akn sebuah tatanan hukum responsif, yang lebih terbuka terhadap pengaruh sosial dan yang lebih efektif dalam menangani atau menghadapi masalah-masalah sosial.
Top of Form
HUKUM RESPONSIF
Penganut realisme hukum (legal realism) memiliki tujuan utama yaitu membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorng perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir dan nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks dinamika kehidupan sosial dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan para penegak atau aparat hukum.
Kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih intens dan eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam pandangan ini, hukum yang baik memiliki kriteria seharusnya memberikan suatu esensi yang lebih dari sebatas prosedur formalitas hukum. Hukum harus kompeten dan adil, sehingga seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.
Hukum represif, otonom dan responsif dapat dipahami sebagai tiga respons terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan. Hukum yang represif ditandai dengan adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial politik. Hukum otonom merupakansuatu reaksi menentang keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau yang menjadi titik perhatian utama adalah bagaimana menjaga integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengisolasikan dirinya, mempersempit tanggungjawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah integritas.
Dan hukum responsif berusaha mengatasi ketegangan tersebut, bukan terbuka dan adaptif, untuk menunjukkan kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab, dengan demikian adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Institusi yang responsif berusaha mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritas sembari tetap memperhitungkan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan ini, hukum responsif memperkuat cara-cara dimana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terkadanh harus ada benturan diantara keduanya. Lembaga responsif ini menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan mengoreksi diri. Untuk mencapai tujuan itu, hukum responsif memerlukan tujuan yang menetapkan standarisasi untuk mengkritisi tindakan yang sudah mapan, dan membuka kesempatan untuk melakukan perubahan.
Institusi responsif cenderung beradaptasi secara oportunis karena kurang memiliki kriteria untuk secara rasional merekonstruksi yang dipandang sudah ketinggalan zaman dan memerlukan perubahan, namun hal itu bisa diatasi apabila institusi sudah memiliki tujuan yang jelas sehingga bisa mengkombinasikan antara integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskersi. Jadi, hukum responsif memandang bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup berkuasa mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif.
Kedaulatan Tujuan
Masa peralihan dari otonom ke responsif yang merupakan tahapan yang paling kritis adalah generalisasi tujuan-tujuan hukum. Berbagai peraturan, kebijakan dan prosedur tertentu menjadi penting dalam penilaian dan dapat digunakan. Perangkat-perangkat hukum itu tetap dihormati namun sebatas sebagai sekumpulan pengalaman, sedangkan perangkat-perangkat ini berhenti mendefinisikan komitmen tatanan hukum. Justru penekanan yang dilakukan bergeser pada tujuan yang bersifat universal, yang berisikan premis-premis kebijakan sekedar menyampaikan urusan yang sedang ditangani. Sehingga bisa dikatakan, ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan atau kebijakan.
Suatu contoh yang lazim untuk hal ini adalah doktrin “due process”. Sebagai doktrin konstitusional, due process mungkin hanya dipahami sebagai nama untuk serangkaian peraturan, yang dipaparkan secara historis, yang melindungi hak-hak atas pemberitahuan, untuk didengar dalam persidangan, peradilan dengan sistem juri, dan hal lain semacam itu.
Kewajiban dan Kesopanan
Dalam mengakui kompleksitas penilaian hukum yang mulai mengendurkan klaim terhadap kepatuhan, hukum responsif mengacu pada suatu ideal yang lebih besar. Hukum responsif menjanjikan kesopanan dalam cara hukum digunakan untuk mendefinisikan dan memelihara ketertiban umum. Dalam idiom kontemporer, gagasan mengenai kesopanan ini cenderung hanya dibatasi pada tingkah laku yang baik atau kepantasan etika dan tingkah laku di tempat-tempat umum. Standar kesopanan menjangkau pula pelaksanaan otoritas dan partisipasi publik. Kesopanan cenderung menyuarakan suatu sikap yang moderat dan terbuka.
Hukum yang berorientasikan tujuan memberikan konstribusi kepada kesopanan sebab ia bersifat “etik pertanggungjawaban” daripada oleh “etik tujuan akhir yang utama”. Secara lebih spesifik, hukum responsif mendorong mengembangkan kesopanan dalam dua cara pokok;
1.      Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam moralitas komunal.
2.      Mendorong suatu pendekatan baru terhadap krisis-krisis keterlibatan umum yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada masalah dan integritas secara sosial.
Dampaknya adalah untuk memfasilitasi usaha pencarian resolusi krisis yang integratif. Bentuk ini mengasumsikan bahwa kondisi-kondisi atau syarat-syarat ketertiban umum bukanlah sesuatu yang benar-benar kaku, namun sesuatu yang masih terbuka untuk dibicarakan kembali sehingga kondisi tersebut lebih memperhatikan kepentingan sosial yang dipengaruhi. Karena itu, rekonstruksi hubungan sosial dianggap sebagai sumber utama mencapai ketertiban umum.
Partisipasi Hukum dan Partisipasi Politik
Disaat sistem hukum memperluas sumber-sumber kritisnya, sistem hukum itu mendelegasikan lebih banyak diskresi untuk memutuskan hal-hal yang otoritatif. Partisipasi hukum memiliki arti yang baru; bukan saja partisipasi ini menjadi kurang pasif dan kurang patuh; namun ia diperluas hingga menjangkau perbuatan dam interpretasi kebijakan hukum.
Perluasan hukum responsif tidak hanya mengembangkan nilai demokratik tatan hukum, tapi juga mampu memberikan konstribusi kepada kompetensi institusi-institusi hukum. Ada suatu kondisi paralel yang memberikan instruksi dalam upaya berbagai organisasi modern untuk membuat keputusan yang partisipatif. Gaya administrasi baru ini meminjam banyak dari pengalaman demokrasi, namun hal ini terutama merupakan sarana menuju suatu organisasi yang lebih berorientasi pada tujuan, yang bebas dari kekangan otoritas birokratik.
Organisasi post-birokratik tidak terlalu peduli atau tidak banyak berurusan dengan keteraturan administratif. Organisasi seperti ini menerima sebagai kebenaran suatu konteks dimana nilai rasionalitas ditetapkan dengan tegas dan terpeliharanya integritas jabatan tidak lagi menjadi prioritas dalam agenda kerjanya.
Sebenarnya, penyebaran otoritas hukum dan perluasan partisipasi hukum menghasilkan semakin lemahnya negara. Secara paradoks, ledakan administratif zaman modern telah mengaburkan dan melemahkan konsepsi negara sebagai agen kekuatan publik yang khas dan tunggal. Model baru sistem hukum dan politik terlihat oleh kemunculan cabang keempat dari pemerintahan, yang mencerminkan aspirasi dan permasalahan hukum responsif dan purposif.
Dari Keadilan Menuju Kompetensi
Dalam konteks hukum responsif, klaim-klaim hak dipahami sebagai kesempatan untuk menyingkap ketidakteraturan atau kerusakan, dan karenanya dapat dinilai dari sumber daya administratif. Namun penyelesaian kontroversi tidak dapat dibiarkan sebagai persoalan paradigmatik, demikian pula hukum tidak dapat bergantung pada proses tersebut untuk memenuhi tanggung jawabnya. Keadilan prosedural hanyalah salah satu kewajiban dan sumber diantara begitu banyak kewajiban dan sumber yang ada. Namun tidak berarti pula bahwa fairness dan keadilan individual kurang penting nilainya.
Ide pokok hukum responsif sebagaimana otonom adalah legalitas. Bahwa kontinuitas dipertahankan. Namun ideal mengenai legalitas seharusnya tidak dikacaukan dengan pernak-pernik legalisasi-pengembangan peraturan dan formalitas prosedural. Ideal mengenai legalitas perlu dipahami secara lebih unversal dan dibebaskan dari formalisme.
Jika fungsi paradigmatik hukum responsif, fungsi tersebut adalah fungsi regulasi, bukan ajudikasi. Dipahami secara luas, regulasi adalah proses elaborasi dan mengoreksi kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan hukum. Jadi, regulasi dipahami sebagai mekanisme untuk mengklarifikasi kepentingan publik. Ia juga melibatkan kegiatan menguji strategi alternatif untuk mengimplementasikan mandat-mandat tersebut dengan bangtuan hal yang telah dipelajari.
Hukum responsif mempunyai tujuan berupa memberikan kemampuan dan memfasilitasi; akuntabilitas restriktif hanya menjadi prioritas kedua. Ada visi akan suatu jenis baru keahlian pembelaan hukum-keahlian dalam mengartikulasikan prinsip-prinsip mengenai model diagnosis institusional.

Komentar

HEAVEN

MANAJEMEN KONTEMPORER

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

GERAK PRESESI DAN GERAK NUTASI SUMBU BUMI