PENDAHULUAN
Pada dasarnya, setiap pendapat maupun keputusan itu pasti ada yang menyetujui dan juga ada yang menolak. Setiap mereka pasti juga mempunyai alasan sendiri-sendiri sehingga mereka mengungkapkan gagasan mereka untuk menolak bahkan mungkin sangat keras dalam menanggapi hal tersebut.
Fatwa tentang pornografi dan pornoaksi juga telah dibahas dalam RUU tahun 2003, dan RUU tahun 2006 yang mana terkenal dengan Undang-Undang AntiPornografi dan Pornoaksi (UU APP) yang akhirnya pada oktober 2008, UU ini disahkan menjadi UU No. 44 Tahun 2008 UU Pornografi dan Pornoaksi saja.
Selain itu, Pornoaksi dan Pornografi ini juga telah diatur dalam:
- KUHP pasal 281 dan 282;
- UU No. 32/2002/ tentang penyiaran (Pasal 36 ayat 5);
- UU N0. 40/ 1999 tentang pers (Pasal 5 ayat 1, Pasal 13 ayat (1) huruf a);
- UU No. 7/1994 tentang lembaga sensor film (LSF), (Pasal 19 ayat 3).
Budaya asing yang banyak masuk ke negara kesatuan Indonesia seakan telah membuat warga Indonesia mengikuti budaya-budaya tersebut meski hal tersebut membawa dampak positif maupun negatif. Kemaslahatan yang terkandung dalam pemikiran para anggota MUI ini tidak menggoyahkan semangat mereka untuk merealisasikan fatwa tersebut. Hingga ahirnya fatwa tentang pornografi dan pornoaksi terwujud, meski terdapat banyak pertentangan. Dalam hal ini kami akan berusaha menganalisis fatwa tersebut dari segi sejarah sosial nya.
PEMBAHASAN
- Pengertian Pornografi dan Pornoaksi
Porno atau ketelanjangan mempunyai 2 pengertian yaitu:
- Ketelanjangan yang disajikan dalam media cetak dan elektronik.
- Ketelanjangan yang disajikan secara langsung dengan berbagai gaya dan ”sajian”.
Kategori pertama dinamakan ”pornografi”, sementara kategori kedua dinamakan ”pornoaksi”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi didefinisikan menjadi penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Pornografi dalam RUU APP (RUU yang pertama) didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika". Sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
RUU yang kedua mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Definisi pornografi diambil dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harfiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".
Pada tahun 2008, RUU APP dirubah menjadi RUU Pornografi. Pada RUU ini, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1 yaitu "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi.
Definisi pornografi telah mengalami perubahan dari waktu-kewaktu namun tidak ada perubahan dalam definisi pornoaksi baik di KBBI maupun dalam RUU pornografi. Hingga kemudian setelah disahkan, definisi Pornografi menjadi, “gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Frase membangkitkan hasrat seksual dihilangkan kerena menimbulkan multitafsir.
- Dalil yang Terkait dengan Pornografi dan Pornoaksi
ô‰s% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$#ur ------ öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman(1)--------Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya(5)”. (al-mukminun: 1 dan 5)
tbös%ur ’Îû £`ä3Ï?qã‹ç/ Ÿwur šÆô_§Žy9s? yl•Žy9s? Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# 4’n<rW{$# ( ----- ÇÌÌÈ
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[2]”.(al-Ahzab: 32)
Rasulullah saw juga telah bersabda yang artinya:
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim).
- Dampak Pornografi dan Pornoaksi
Pornografi dan Pornoaksi akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat pada umumnya sehingga masyarakat perlu diberikan pembelajaran tentang hal-hal yang dapat ditimbulkan akibat adanya pornografi dan pornoaksi tersebut. Hal ini karena semakin maraknya aksi-aksi porno baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam media-media pada umumnya.
Diantara dampak pornografi dan pornoaksi itu adalah:
- Bagi anak kecil yaitu mereka akan sulit berkonsentrasi kembali dalam pelajaran sekolahnya, misal setelah melihat gambar-gambar porno melalui media internet.
- Bagi orang dewasa yaitu dapat melakukan tindakan pemerkosaan untuk memenuhi hawa nafsunya, misal setelah menonton film-film beradegan syur. Hal ini tentulah merugikan orang lain di sekitarnya.
- Bagi generasi muda yaitu baik terhadap perilaku, moral (Akhlak), maupun terhadap sendi-sendi serta tatanan keluarga dan masyarakat beradab, seperti pergaulan bebas, perselingkuhan, kehamilan dan kelahiran anak diluar nikah, aborsi, penyakit kelamin, kekerasan seksual, dan lain sebagainya.
Masalah ini tidak lagi menyangkut sejumlah kecil orang (misal keluarga) tetapi sudah menyangkut lingkungan sekitar dan kehidupan bermasyarakat. Masalah ini tidak lagi merugikan satu kelompok saja (hanya keluarga yang merasa dipermalukan) tetapi juga lingkungan dimana orang tersebut (yang melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi) berasal. Dikarenakan dampaknya yang semakin fatal, status masalah pornografi dan pornoaksi ini tidak diam di tempat sebagai public problem, tetapi sudah beralih lagi menjadi policy problem.
Sedangkan dalam Islam telah ditegaskan bahwa batasan aktivitas yang akan membawa kemanfaatan adalah apabila sesuatu aktivitas tersebut sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam syariat. Dan sebaliknya apabila sesuatu aktivitas tersebut tidak bersumber dan bertentangan dengan syariat dapat dipastikan aktivitas tersebut akan membawa dosa. Dan suatu keyakinan yang telah terhujam di dalam dada dan keimanan seorang muslim adalah segala apa yang mereka lakukan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Demikian juga kebebasan dalam aktivitas di luar ketentuan syariat misalnya pornogafi dan pornoaksi dapat dipastikan telah bermaksiat atau membangkang kepada syariat Allah dan tentu akan mendapat sanksi yang keras di Hari Pembalasan nanti.[3]
- Analisis Sejarah Sosial Peraturan Tentang Pornoaksi dan Pornografi
Keadaan dunia dewasa ini sungguh mengerikan karena hampir sebagian besar manusia di bumi ini tidak menghormati tubuh mereka bahkan menjadikannya obyek bagi orang lain. Untuk itu manusia perlu disadarkan akan adanya realitas ini. Manusia harus peka terhadap gejala zaman yang menghancurkan masa depan kaum muda. Tubuh kita bukan untuk dinodai, tetapi diciptakan untuk dijaga dan dipelihara kesuciannya.
Berawal dari banyaknya budaya luar yang masuk kedalam negara RI dan langsung diterima tanpa adanya penyaringan terlebih dahulu mengakibatkan mudahnya budaya tersebut tersebar bahkan diikuti oleh generasi muda. Pengkopian budaya luar oleh generasi muda ini, dikhawatirkan akan merusak moral serta mental mereka sehingga disusunlah peraturan tentang pornografi dan pornoaksi.
Banyak yang menentang akan direalisasikannya peraturan ini, karena seringkali obyek pornografi dan pornoaksi ini dapat memberikan keuntungan yang lebih bagi subyeknya. Selain itu, pro-kontra seputar pornoaksi dan pornografi ini disebabkan oleh bedanya tolak ukur yang dijadikan dasar pijakan yaitu dalam pandangan islam ataukah dengan pandangan sekular.[4]
Pandangan sekular berpedoman pada teori freudisme, teori ini dikeluarkan oleh Sigmeund Freud yang menyebutkan bahwa seksual atau libido adalah tenaga pendorong kehidupan. Tanpa adanya hal-hal yang berbau seksualitas maka kehidupan tidak akan bergairah. Semangat berusaha dan berkarya menjadi tidak ada. Karenanya dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh teori ini, hal-hal yang berbau seksual (pornografi dan pornoaksi) bukan hanya boleh ada akan tetapi harus ada. Menurutnya larangan terhadap pornoaksi dan pornografi hanya akan membunuh kreativitas generasi muda.
pelaku juga bisa dengan mudah mendapatkan uang dari hasil-hasil yang berbau porno, seperti gambar-gambar ataupun video-video yang tersebar luas dalam dunia nyata maupun maya. Pengambilan manfaat dari hal-hal yang dapat merusak moral bangsa seharusnya memang tidak dilakukan karena hal ini selain akan merendahkan kehormatan subyek pornografi maupun pornoaksi juga akan merusak mental generasi muda.
Sedangkan bagi ummat islam, hal ini tentu sangat dilarang dalam hukum islam karena tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Salah satunya yaitu kewajiban menutup aurat. Berpakaian buka-bukaan, atasan panjang dengan celah dibagian-bagian yang tidak seharusnya dipertontonkan atau bawahan tertutup namun hanya sepanjang diatas lutut ataupun pakaian yang memperlihatkan lekak-lekuk badan.[5] Hal ini hanya akan menimbulkan nafsu birahi sehingga mendatangkan peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan. Selain itu, pornografi dan pornoaksi jelas akan mendekatkan pada perbuatan zina, sebagaimana yang telah dilarang dalam hukum islam.
Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa “Sesungguhnya diantara manusia yang paling buruk kedudukannya disisi Allah pada hari kiamat adalah sepasang suami istri yang melakukan hubungan seksual kemudian menyiarkan rahasia hubungannya pada orang lain”.[6] Berdasarkan hadits tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa, hubungan suami istri yang sudah sah dalam pandangan islam saja dilarang, apalagi hubungan yang dilakukan tanpa adanya ikatan yang sah yang biasanya kita temukan pada generasi muda sekarang ini yang tentunya sedikit banyak adalah diakibatkan oleh pornografi dan pornoaksi yang mereka lihat dalam media-media maupun dalam realita sehari-hari.
Mungkin dalam realita, pelaku atau subyek kasus ini adalah wanita yang mana memang diciptakan dengan bentuk yang lebih unik dari pada lelaki. Sehingga kebanyakan kelompok yang menentang dirumuskannya peraturan tentang hal ini adalah dari kalangan wanita. Diantaranya yaitu golongan aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Namun tidak sedikit pula para lelaki juga menjadi subyek dalam hal ini, misalnya menjadi penyebar video-video syur atau gambar-gambar lain yang bisa meningkatkan nafsu birahi.
Adanya peraturan yang melarang pornoaksi dan pornografi ini, pasti akan mengurangi penghasilan mereka yang menggunakan jasa ini dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga mereka menolak karena dianggap tidak menghargai Hak Asasi Manusia (HAM), tidak mengerti unsur seni dan tidak demokratis.[7]
Menurut Jane Brown, ilmuwan dari Universitas North Carolina, ”semakin banyak remaja disuguhi eksploitasi seks di media, mereka akan semakin berani mencoba seks diusia muda”.[8] Pembelajaran seks diusia dini ini memang dianggap penting pada era globalisasi ini namun pertontonan seks dalam pornoaksi maupun pornografi yang berlebihan dan tanpa arahan, tentunya justru hanya akan memberikan dampak negatif.
Mary Anne Layden, direktur Program Psikologi dan Trauma Seksual, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, menyatakan gambar porno adalah masalah utama pada kesehatan mental masyarakat dunia saat ini.”Ia tak cuma memicu ketagihan yang serius, tapi juga pergeseran pada emosi dan perilaku sosial”. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa ”pengaruh kokain dalam tubuh bisa dilenyapkan. Ini berbeda dengan pornografi. Sekali terekam dalam otak, image porno itu akan mendekam dalam otak selamanya”(Koran Republika, sabtu 11 februari 2006). Berdasarkan ungkapan ini, tentunya telah jelas mengapa sering terjadi pemerkosaan maupun tindakan asusila yang lain di Indonesia ahir-ahir ini. Semakin maraknya seks bebas dikalangan pelajar, hamil diluar nikah, serta dampak-dampak yang lain akibat pornografi maupun pornoaksi.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius dimana sistem nilai sangat dijunjung tinggi bagi masyarakatnya. Perbuatan, ucapan serta hal-hal lain yang bertentangan dengan nilai-nilai religi yang ada seharusnya memang diberantas meskipun hal ini tidak mudah untuk direalisasikan namun pasti akan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan negara Indonesia pada umumnya dan bagi para generasi muda khususnya.
PENUTUP
Demikian analisis ini kami buat untuk memenuhi tugas ahir semester IV mata kuliah Tarikh Tasyri’, semoga bermanfaat dan apabila ada kesalahan maupun kekurangan, kritik dan sarannya selalu kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
http://langitan.net/?p=9
http://grelovejogja.wordpress.com/2007/05/16/pornografi-dan-pornoaksi-dalam-pandangan-etika/
http://ruuappri.blogsome.com/2006/05/05/islam-menyikapi-pornoaksi-dan-pornografi/
Shihab, M. Quraish, 1001 soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, ce ket-3, 2008, Tangerang: Lentera Hati.
Ya’qub, Ali Mustafa, Fatwa Imam BesarMasjid Istiqlal, cet ke-5, 2008, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus
[1] isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah Ini juga meliputi segenap mukminat
[2] yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[5] M. Quraish Shihab, 1001 soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, ce ket-3, 2008, Tangerang: Lentera Hati, hal. 432
[6] Ali Mustafa Ya’qub, Fatwa Imam BesarMasjid Istiqlal, cet ke-5, 2008, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, hal. 411
Komentar
Posting Komentar