Abstrak
Para sarjana hukum Islam (ulama) memposisikan hukum dalam Islam bukan hanya sebagai social engineering dan social control an sich (profan), lebih dari itu, hukum dalam Islam merupakan hasil dari proses emanasi manusia terhadap kehendak Tuhan (sakral). Dengan itu, hukum dalam Islam berhubungan erat dengan ranah teologis disamping wujud pengejawantahan seorang hamba menjalankan keberagamaannya secara utuh dan absolut (kaffah). Tak hanya itu saja, hukum juga erat kaitannya dengan dinamika sejarah dimana hukum Islam itu berada.
Secara teoritis, umat Islam meyakini bahwasannya hukum Islam merupakan sebuah takdir (destiny) dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia karena Tuhan telah menunjukkan jalan yang lurus untuk dijadikan pedoman oleh manusia. Demikian juga dengan penduduk kepulauan Indonesia, mereka mempercayai akan kesakralan hukum Islam itu sendiri.
Yang menarik, ditinjau dari sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam sebelum kemerdekaan, berbagai cara telah dilakukan oleh setiap pemikir Muslim Indonesia untuk memadukan antara budaya dan hukum Islam itu sendiri. Islam kala memasuki Indonesia, mengalami pelbagai dinamika baik politik, sosial, budaya dan ekonomi. Hukum Islam tidak dengan cera merta “ada” dan di “adakan”.
Dinamika hukum Islam di Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah oleh “Manusia Jawa” pada masa sekitar 500.000 tahun yang lalu. Hukum Islam dalam sejarah Indonesia melewati beberapa era, era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; era kemerdekaan, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta era reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
Kiranya, abstraksi diatas yang akan menjadi topik utama pembahasan dalam makalah ini. Menampilkan perkembangan-perkembangan hukum Islam, baik rintangan dan tantangannya dikala masuk di Indonesia. Maka pokok masalahnya tertumpu pada potret perjalanan hukum Islam di Indonesia. Juga sedikit menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan unifikasi hukum Islam, pengaruh serta pengejewantahannya dalam realitas kehidupan. Pokok masalah tersebut kami rinci dalam beberapa sub masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dinamika hukum Islam di Indonesia pra kemerdekaan?
2. Bagaimana dinamika hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan?
3. Bagaimana dinamika hukum Islam di Indonesia pasca kemerdekaan? Apa saja yang menjadi hambatan proses ekspansi Islam pada masa penjajahan?
4. Kemudian, bagaimana perkembangan unifikasi hukum Islam di Indonesia yang dibungkus dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia?
A. Dinamika Hukum Islam di Indonesia pra Kemerdekaan
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7.
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapan masehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya tahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama seabad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama Islam ke Indonesia.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
B. Dinamika Hukum Islam di Indonesia pada masa Penjajahan
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan[1].
a. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
b. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
c. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer[3] (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu.
Upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
— Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar[4]; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
— Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda[5].
— Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
Pada tahun 1925[6], dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
- Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia.[7] Diantaranya adalah:
a. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
c. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU
d. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
e. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
f. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
D. Dinamika Hukum Islam di Indonesia pasca Kemerdekaan
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan.
Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam[8].
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”[9]. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[10]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.
Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
- Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988.
Sebenarnya jejak peradilan agama ini sudah ada namun masih dengan sebutan tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang islam yang dilakukan oleh para ahli agama khususnya dalam hal perkawinan dan kewarisan. Perbedaan suasana perkembangan dan pertumbuhannya peradilan agama ini mengakibatkan nama dan kekuasaannya berbeda-beda pula hingga akhirnya berdasarkan UU No. 14 tahun 1970 dinamakan dengan Pengadilan Agama ini.[11] Namun masih banyak kekurangan-kekurangan dalam UU ini yang menjadi penghambat gerak langkah pradilan agama sebagaimana yang dikehendaki dalam pasal 12 UU ini. Sehingga untuk melaksanakan UU No. 14 Tahun 1970 tersebut dan untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam Negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 desember 1988 presiden RI menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk di setujui sebagai pengganti UU Peradilan Agama yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan UU tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.[12] Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
- Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[13]
G. Dinamika Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap terbaik. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengatur berbagai persoalan yang juga diatur oleh berbagai peraturan hukum yang bersifat umum. Kompilasi Hukum Islam Indonesia adalah juga Hukum Islam selain sebagai Hukum Islam. Oleh karena itu, masih menuntut pemahaman yang sejalan dengan konsep-konsep hukum Islam yang universal.
Sejumlah kajian dan penelitian menjelaskan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengandung dalam dirinya berbagai potensi kritik. Kritik umumnya diarahkan selain pada eksistensi KHI juga pada substansi hukumnya yang dipandang tidak lagi memadai dalam menyelesaikan pelbagai problem keumatan yang cukup kompleks. Ini karena konstruksi KHI sejak awal kelahirannya telah membawa pelbagai kelemahan.
Hasil-hasil penelitian baik berupa tesis maupun disertasi menyatakan bahwa KHI memiliki kelemahan pokok justru pada rumusan visi dan misinya. Terang benderang, beberapa pasal di dalam KHI secara prinsipil berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang universal, seperti prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ`), dan keadilan (al-`adl), serta gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat madani, seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi, dan egalitarianisme.
Di samping itu juga disinyalir oleh para pakar hukum, di dalam KHI terdapat sejumlah ketentuan yang tidak lagi sesuai dengan hukum-hukum nasional dan konvensi internasional yang telah disepakati bersama. Belum lagi kalau ditelaah dari sudut metodologi, corak hukum KHI masih mengesankan replika hukum dari produk fikih jerih payah ulama zaman lampau di seberang sana. Konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan sepenuhnya dalam sudut pandang masyarakat Islam Indonesia, melainkan lebih mencerminkan penyesuaian-penyesuaian dari fikih Timur Tengah dan dunia Arab lainnya.
KHI yang diharapkan adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan ketentuan-ketentuan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik Islam, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain.
Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia[14]. Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi – substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apa pun
T.M. Hasbi Ash-Shidieqy mengutip pendapat Syeikh Mahmud Syaltut, bahwa syari’at atau hukum islam adalah hukum-hukum dan tata aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan manusia sesamanya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Rasul-Nya, Ijma’ sahabat dan Ijtihad dengan perantara qias, qarienah, tanda-tanda dan dalil-dalil.
Penetapan hukum Islam mempunyai herarki, yaitu yang paling utama merujuk Al-Qur’an, kemudian Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam konteks hukum modern pun herarki yang paling puncak adalah berdasarkan ketuhanan. Hal ini diungkapkan oleh Thomas Aquinas, Thomas Aquinas menentukan posisi hukum kodrat dalam struktur hirarki hukum. Pertama, Puncak dari herarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta. Kedua, di bawah hukum abadi adalah hukum kodrat, tidak lain adalah partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi. Ketiga, di bawah kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.
Pengembangan hukum Islam, disamping dilandasi oleh epistemologisnya yang kokoh juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu, bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam.
Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi. Kajian utama dalam teori maqasid al-syari’ah adalah mengenai tujuan hukum islam yang diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat[15]. Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan perundang-undangan, tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan hukum kontemporer yang menyangkut bidang mu’amalah.
Penerapan hukum Islam di Indonesia, dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah. Selain itu, dari aspek kemajemukan masyarakat bangsa, hukum yang berlaku juga sebaiknya menganut sistem hukum nasional yang bersifat majemuk (pluralistic). Secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali kekuasaan negara. Indonesia bukannya sebuah negara Islam tetapi sebuah negara nasional yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam, tetapi juga pada umat-umat agama yang lain.
Hukum Islam menempati posisi sangat strategis bukan saja bagi umat islam indonesia tetapi bagi dunai Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia, untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem hukum nasional diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para aparat penegak hukum ataupun oleh masyarakat. Untuk itu munculah gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam (bingkai sistem hukum nasional) untuk menjembatani penerapan hukum Islam di Indonesia.
Penerapan hukum Islam di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde baru, polemik seputar posisi syari’alt Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua pendekatan ekstrem. Di satu sisi, mereka yang menghendaki penerapan total syari’at lewat jalur negara.
Untuk mendeskripsikan polemik tentang penerapan hukum Islam di indonesia dalam bingkai hukum negara modern bisa digambarkan dengan Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan. Penerapan hukum islam (kompilasi Hukum Islam) dalam perspektif etika politik dan pemerintahan dilihat dari tiga aspek : Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi), dan Aspek Penegakan hukum (Law Enforcement).
1. Dinamika Regulasi Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Penetapan kebijakan hukum di Indonesia, pemerintahan telah menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Tetapi persoalan kemudian muncul, yaitu bagaimana kita memahami serta melaksanakan hukum Islam dalam konteks hukum nasional atau memasukkan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Permasalahan ini menyebabkan polarisasi tentang proses legislasi hukum Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa antara agama dan negara perlu ada pemishan secara tegas. Pendapat kedua, bahwa hukum Islam menjadi bagian dari hukum nasional baik simbol maupun substansi[16]. Akhir-akhir ini yang kemudian berhasil memunculkan UU tentang Perbankan Syari’ah.
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.
2. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam.
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman[17].
3. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf[18].
4. Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.[19]
5. Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of social enginering. Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Instutusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
6. Penegakan Hukum Islam dalam bingkai Keindonesiaan
Satu segi dari proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakan hukum yang biasa juga diidtilahkan dengan Law Enforcement. Sebaik-baik materi peraturan, hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penegakan hukum yang benar.
Kompilasi Hukum Islam sebagi bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan peradilan agama dan ruejukan hukum mesti mereka pedoman sama di seluruh Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.
Penegakan Hukum Islam dideskripsikan dengan realisasi Kompilasi Hukum Islam. Pembentukan Kompilasi hukum Islam merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya, tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran penguasa dan instansi kekuasaan negara yang ikut campur mengawasi pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut ketertiban umum.
Dengan demikian, kelahiran KHI sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private affairs disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang mengangkat derajat penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan bersifat publik yang dapat dipaksakan penerapannya oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama.
Penutup
Demukian pembahasan makalah ini yang bisa kami jelaskan. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pertimbangan untuk kita semua dalam mengarungi kahidupan kita. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu kami meminta maaf yang sebesar-besarnya. Saran dan kritik yang membangun juga kami tunggu.
Daftar Pustaka
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Akademika Pressindo,1992,
Ali Daud, Muhammad, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1990, Cet . ke-1.
Ali, Zainuddin, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Amrullah, Ahmad,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 .
Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990
Hasan, Muhammad Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural , Jakarta: Lantabora Press, 2004.
Hutabarat, Ramly, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005
Syaukani, Imam, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
[1] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005,hlm 63-64.
[2]Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm 73.
[7]Amrullah, Ahmad,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm 142.
[11] Prof. H. Muhammad Ali Daud, S.H., Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1990, hal. 280
[13] http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/13
[14]Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm 71.
[15]Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural , Jakarta: Lantabora Press, 2004, hlm 120.
Komentar
Posting Komentar