INTERELASI BUDAYA JAWA DENGAN ISLAM KEPERCAYAAN DAN RITUAL
PENDAHULUAN
Dalam kaitannya dengan kepercayaan dan ritual masyarakat jawa, tentunya takkan pernah terpisah dari pembicaraan siapa yang dinamakan masyarakat jawa. Masyarakat jawa dalam antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-temurun. Masyarakat jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah jawa tengah dan jawa timur serta semua yang berasal dari kedua daerah tersebut.
Secara geografis,suku bangsa jawa mendiami tanah jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta,madiun, Malang dan Kediri sedangkan selain daerah tersebut disebut dengan pesisir dan ujung timur.
Dalam perkembangannya, masyarakat jawa banyak mengalami evolusi dimana hal ini dipengaruhi oleh budaya-budaya yang masuk ke tanah jawa itu sendiri. Baik dibawa oleh ahli agama-agama ataupun budaya barat yang dibawa oleh para penjajah. Meski demikian, pada dasarnya masyarakat jawa sendiri pada awalnya juga telah kaya dengan berbagai macam budaya yang bahkan sudah mengental di masyarakatnya. Sehingga saat budaya baru muncul dan ingin memporak-porandakan budaya yang telah ada, akan sangat sulit jika dilakukan secara radikal tanpa memperhatikan masyarakat jawa tersebut.
Banyak budaya yang masuk namun pada hakikatnya budaya-budaya jawa itu masih tetap bertahan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya praktek-praktek upacara baik yang telah dikompare dengan budaya-budaya baru maupun yang masih murni. Seperti budaya yang ada di keratin (midodareni), budaya larung yang masih ditemukan di sebagian besar pantai selatan dan sebagainya.
PEMBAHASAN
A. AGAMA
Agama dalam arti Ad-dien, sumbernya adalah wahyu dari tuhan.sedangkan kebudayaan sumbernya dari manusia. Jadi agama tidak dapat dimasukkan ke dalam lingkungan kebudayaan selama manusia berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dimasukkan ke dalam hasil cipta manusia.
Sedangkan menurut golongan ateis, agama dipandang sebagai cabang kebudayaan. Menurut mereka, agama merupakan cara berpikir dan merasa dalam kehidupan: suatu kesatuan social mengenai hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agama ini dapat diistilahkan dengan : “agama budaya”, seperti misalnya: animism, dinamisme, naturalism (serba alam), spiritualisme (serba arwah), agama Kong Hucu, agama Sinto, bahkan agama Hindu dan Budha termasuk juga dalam kategori ini.
Selain itu bagi seorang yang ber-Tuhan, agama dapat mempengaruhi terciptanya kebudayaan sedangkan kebudayaan tidak dapat mencipta agama. Sebagaimana halnya Tuhan dapat mempengaruhi manusia sedangkan manusia tidak dapat mempengaruhi Tuhan.
Agama bukanlah suatu produk manusia, tidak berasal dari manusia, tetapi dari Tuhan. Agama jenis ini disebut dengan “ad-dinus samawy” yaitu agama yang turun dari langit, dari atas, dari Tuhan. Contoh: agama Yahudi, Nasrani dan Islam.
Sehingga agama bukanlah bagian dari kebudayaan, tetapi berasal dari Tuhan. Sedangkan kebudayaan menurut islam yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam nyata. Sedangkan agama selain mengatur hubungan dengan manusia dan alam nyata juga mengatur hubungan dengan alam Ghoib terutama dengan Yang Maha Esa.
Agama Islam sebagai Sumber Kebudayaan
Islam bukan hanya sebagai peribadatan saja melainkan suatu kebudayaan dan peradaban yang lengkap. Hal ini sebagaimana ungkapan Prof. H. A.Gibb dalam bukunya “Wither Islam”.
Islam tidak hanya memperhatikan tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan ahirat melainkan juga memperhatikan tentang keduniawian. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam hal yang terkandung dalam al-qur’an seperti:
1. Dasar-dasar kepercayaan dan ideology
2. Hikmah dan filsafat
3. Budi pekerti, kesenian dan kesusasteraan
4. Sejarah umat dan biografi nabi-nabi
5. Undang-undang masyarakat
6. Kenegaraan dan pemerintahan
7. Kemiliteran dan Undang-undang perang
8. Hukum Perdata (mu’amalat)
9. Hukum pidana (Jinayat)
10. Undang-undang alam dan tabiat
Pengaruh Agama Terhadap Kebudayaan
Pada dasarnya, kebudayaan Indonesia tetap kuat eksistensinya meskipun banyak akulturasi budaya di dalamnya. Akulturasi dalam hal ini disebut dengan “Syncrotisme” (perpaduan antara dua kepercayaan).
Misalnya pengaruh kebudayaan Hindu terhadap kebudayaan Indonesia. Menurut Prof. Koesoemadi, SH, pengaruhnya bersifat “Penetration pasifique ef suggestive”, yang artinya damai dan mendorong. Dimana meskipun kebudayaan Hindu bersifat menggiatkan dan meninggikan namun kebudayaan Indonesia tetap kaya dan tetap tinggal dalam kepribadiannya saat kebudayaan hindu telah tiada.
Sedangkan menurut Yosselin de Yong, pengaruh islam bersifat “penetration pasifique dan tolerante et constructive (damai dan membangun). Prinsip membangun ini, dapat dibuktikan dengan melihat pengaruh islam yang tidak hanya pada kepercayaan dan adat-istiadat sehari-hari. Pengaruh islam sudahg meluas sampai pada bidang hokum dan upacara-upacara. Misalnya hari besar islam, upacara kematian, selamatan-selamatan, mengubur mayat, do’a, wakaf, warisan, letak masjid dan sebagainya.
B. KEPERCAYAAN DAN RITUS JAWA
Di jawa, masih banyak ditemukan ritual-ritual dan juga budaya kuno. Berbagai macam ritual sudah menjadi suatu kewajiban untuk dilaksanakan. Namun, ritual-ritual ini justru tidak lagi menjadi sebuah ritual yang sacral akan tetapi lebih kepada suatu tontonan yang sangat unik dan menarik.
Dalam masyarakat jawa banyak diadakannya ritual-ritual yang mengikut sertakan arwah nenek moyang. Sebagai kelengkapan upacara-upacara tersebut mereka menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya uang digemari oleh nenek moyang. Mereka menyempurnakan upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian agar arwah nenek moyang yang dipanggil menjadi gembira dan berkenan memberikan berkah kepada keluarganya.
Upacara kematian (geblak) yaitu diadakan pada saat meninggalnya seseorang, slametan nelung dino, slametan mitung dina, slametan matang puluh dina, slametan nyatus, slametan mendak sepisan utawa mendak pindho, slametan nyewu atau ke seribu harinya, slametan nguwis-uwisi atau selametan untuk terakhir kalinya.
Upacara selamatan dan pertunjukan tari-tarian tradisional serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa tindakan keagamaan orang Jawa peninggalan zaman animisme yang terus dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat ini.
Selain itu, juga ada sesaji yang ditujukan untuk danyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang atau belik, tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal dimasa lampau atau tempat-tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan ghaib atau angker dan wingit atau berbahaya. Sesaji berupa makanan kecil dan bunga mereka berikan agar roh-roh tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu juga untuk memohon berkah dan perlindungan dari yang mbahurekso agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarganya.
Di daerah Ponorogo misalnya, setiap awal bulan Muharam selalu diadakan perayaan upacara perawatan dan penjamasan pusaka yang dikenal dengan Kirab Bupati. Dinamakan demikian karena, pada hari itu, bupati beserta para punggawanya berkeliling alun-alun kota Ponorogo dengan mengiringi benda-benda pusaka yang habis dimandikan untuk di bawa ke tempat peletakannya yaitu di makam Bupati pertama, orang yang babat kota Ponorgo.
Selain itu, larung sesaji di Telaga Ngebel juga masih aktif diselenggarakan. Untuk alasan pasti diadakannya larung tersebut belum diketahui oleh penulis namun inti dari upacara ini adalah mengharapkan keselamatan.
C. INTERELASI ANTARA ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM HAL KEPERCAYAAN DAN RITUAL
Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Terdapat dua pendekatan dalam proses akulturasi budaya jawa dan islam. Yaitu:
1. Islamisasi Kultur jawa
Melalui pendekatan ini budaya jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam baik secara formal maupun substansial. Hal ini diupayakan dengan cara penggunaan istilah-istilah islam, nama-nama islam, dsb.
2. Jawanisasi Islam
Upaya ini dilakukan dengan penginternalisasian nilai-nilai islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya jawa.
Hubungan Antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya pasti memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sacral, yang suci, atau yang gaib. Dalam agama islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim.
Sementara itu, dalam budaya jawa pra islam yang bersumberkan dari ajaran Hindu terdapat ajaran adanya ajaran para dewata seperti dewa Brahma, dewa Wisnu, dan dewa Siwa serta dewa-dewa yang lainnya.
Dalam perkembangannya, banyak kepercayaan-kepercayaan animisme dan dinamisme dalam masyarakat jawa berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan islam. Pada aspek islam dalam ajaran tauhid islam telah berkolaborasi dengan berbagai unsure Hindu Budha maupun kepercayaan primitive. Hal ini sebagaimana sebutan Allah bagi masyarakat jawa yang sering juga dikenal dengan Gusti Allah, Gusti kang Murbeng Dumadi (al-khaliq), Gusti Ingkang moho Kuwaos (al-qadir) dsb. Nama-nama ini merupakan campuran dengan nama dari agama lain. Missal kata Hyang yang berarti dewa. Dalam hal ini, Allah terhayati sebagai pribadi yang menjadikan, memelihara, memberikan petunjuk, dan member rizki kepada semua makhluk ciptaan-Nya.
Namun, penghayatan tentang prinsip tauhid itu akan berbeda tatkala pemahaman tentang ketuhanan itu masuk dalam dimensi mistik bercorak pantheistic . Sehingga dalam islam terdapat al-Hayyu sedangkan dalam istilah Jawa sebagai Dzat Yang Maha Hidup. Esensi dari segala yang ada adalah hidup itu sendiri. Penghayatan mistik itu tidak hanya terdapat dalam ajaran agama Hindu tetapi juga ada dalam tasawuf yang bercorak heterodoks sehingga dalam mistik jawa, keduanya bertemu.
Berkaitan dengan kepercayaan animism dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena bercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat , baik benda mati maupun benda hidup. Misalnya kepercayaan terhadap benda-benda magis, benda-benda pusaka, kuburan-kuburan, petilasan dan sebagainya. Barang-barang, benda-benda atau orang-orang yang dianggap keramat tersebut dipandang sebagai penghubung (wasilah) dengan Allah. Oleh karena itu, bacaan doa-doa tertentu berubah menjadi mantra, ayat-ayat suci Al-qur’an atau huruf-huruf arab menjadi rajahan yang diyakini memiliki nilai yang sangat berarti, bukan dari makna yang terkandung didalam ayat-ayat itu melainkan dari daya gaibnya. Demikian juga al-qur’an tidak dipahami, dibaca, dihayati arti dan maknanya sebagai petunjuk hidup yang diberikan Allah kepada manusia, tetapi dipandang sebagai azimat. Kepercayaan seperti itu terutama diperlakukan terhadap al-qur’an cetakan kecil yang dikenal dengan sebutan al-qur’an stambul (istambul).
Sesuai dengan madzhab ijbary, yang berprinsip dengan kepasrahan, narimo ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah, sepertinya budaya jawa sudah terpengaruh dengan prinsip tersebut. Meski demikian, manusia masih mempunyai kesempatan untuk ikhtiyar namun seringkali ikhtiyar disini sudah diwarnai dengan kepercayaan-kepercayaan primitive maupun yang bersumber dari agama Hindu. Dalam budaya jawa juga terdapat hari-hari baik dan juga hari-hari buruk yang biasa disebut hari na’as. Pada hari na’as ini sebaiknya orang tidak melakukan perayaan-perayaan seperti pesta perkawinan, melakukan perjalanan jauh, transaksi dagang dan lain-lain. Sehingga hari na’as harus dihindari kecuali jika hari na’as itu sudah tidak dapat dihindari maka harus diadakan upacara-upacara tertentu untuk menetralisir akibat negative yang ditimbulkan dari hari na’as tersebut. Sehingga upacara tersebut disebut upacara penangkal. Upacara-upacara dalam agama Hindu tampak seperti itu yang diwujudkan dalam bentuk sesaji. Sesaji merupakan warisan budaya hindu sedangkan doa merupakan inti ibadah dalam agama islam. Keduanya menjadi tradisi dikebanyakan umat islam di jawa.
Dalam ajaran islam maupun hindu juga terdapat makhluk jahat yang disebut syetan (dalam islam) dan Wrta, raksa, Picasa (dalam Hindu) dll. Kepercayaan jawa terhadap makhluk jahat yang berasal dari agama islam maupun agama Hindu nampaknya telah saling mengisi. Nama setan, jin, dan raksa telah dimasukkan sebagai jenis makhluk halus atau roh jahat yang sering mengganggu manusia dan dapat menjelma dalam bayangan seperti manusia maupun hewan.
Menurut keyakinan islam, orang yang meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai alam sebelum memasuki alam akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua ataupun anak-anak. Kepercayaan tersebut telah mewarnai orang jawa. Hanya saja menurut orang jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya atau sebagai arwah leluhur menetap dimakam (pasareyan). Mereka masih mempunyai kontak hubungan dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu nyambangi datang kekediaman anak keturunan.
Roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang atau kerabat disebut dhanyang, bahureksa, atau sing ngemong. Danyang dianggap sebagai penjaga desa sehingga muncul upacara bersih desa. Termasuk membersihkan makam disertai kenduren maupun sesaji dengan maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan.
Disisi lain, atas dasar kepercayaan islam, bahwa orang yang meninggal dunia perlu dikirimi doa, maka muncul tradisi kirim do’a, tahlilan tujuh hari, tahlilan 40 hari, seratus hari, satu tahun, dan seribu hari setelah seseorang meninggal dunia. Doa kepada orang yang meninggal dunia merupakan anjuran bagi orang islam, sedangkan penentuan hari-hari sebagai saat pelaksanaan upacara kirim doa lebih diwarnai oleh warisan budaya jawea pra islam.
Selain itu, interelasi budaya islam dan jawa juga terjadi pada nama-nama nabi yang dianggap tinggi. Diantaranya menisbahkan nenek moyang mereka sebagai keturunan dari nabi Adam, menggunakan nama-nama mereka sebagai nama doa-doa untuk mendapatkan kewaskitan, dan juga dikaitkan dengan hari-hari na’as dimana hari-hari yang dianggap sebagai hari na’asnya para nabi dilarang digunakan untuk pelaksanaan acara-acara tertentu, misal mantu.
Para wali yang dianggap sebagai pewaris para nabi juga dipandang memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa, tidak saja ketika mereka masih hidup tetapi juga ketika mereka sudah meninggal dunia. Sehingga muncul upacara atau prosesi ngalap berkah dikalangan orang jawa ketika mereka berziarah kemakam para walisongo yang memang dalam kenyataan sejarah para wali ini merupakan tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan islam dijawa. Keyakinan tentang wasilah untuk menghubungkan doa permohonan kepada tuhan, tidak saja dikaitkan dengan para nabi khususnya nabi Muhammad melainkan juga para wali.
Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Dalam islam terdapat ritual-ritual sehari-hari dimana ritual tersebut biasa disebut dengan ibadah. Shalat berarti doa dan puasa yang berarti suatu bentuk penyucian rohani merupakan dua aspek yang mempunyai pengaruh yang sangat luas mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang jawa.
Bagi orang jawa, pelaksanaan upacara-upacara sudah bukan merupakan sesuatu yang asing lagi karena hamper setiap kegiatan yang dilakukannya selalu diawali dengan adanya upacara. Saat anak masih dalam perut, lahir hingga meninggalnya, serta upacara yang dilakukan berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, missal bagi petani, nelayan maupun para pedagang. Awalnya upacara-upacara tersebut dilakukan untuk penangkal agar mendapatkan keselamatan.
Secara luwes, islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau slametan. Inti dari upacara ini adalah doa. Selain itu juga disajikan berbagai hidangan serta makanan yang dibawa pulang mereka yang hadir dalam slametan tersebut atau biasa disebut dengan berkat. Makanan ini disediakan oleh penyelenggara (shahibul hajat) berupa tumpeng, ingkung serta beberapa ubarampe yang lain. Dengan demikian, islam telah memasuki upacara orang jawa.
Upacara yang ada di jawa diantaranya:
1. Upacara tingkeban atau mitoni. Upacara ini dilaksanakan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu.
2. Upacara kelahiran. Upacara ini dilaksanakan pada saat anak diberi nama dan pemotongan rambut (bercukur), pada waktu bayi berumur tujuh hari atau sepasaran.
3. Upacara sunatan. Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan.
4. Upacara perkawinan. Yang ditandai dengan adanya akad nikah.
5. Upacara kematian. Dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati dan pada akhirnya menguburkan.
D. REAKSI TERHADAP USAHA SINKRETISASI
Dalam usaha sinkretisasi ajaran-ajaran islam dengan budaya jawa, terdapat tiga kelompok dimana pada dasarnya ketiga kelompok tersebut berdasar pada al-qur’an dan hadits. Diantara ketiga kelompok tersebut yaitu:
1. Kelompok pertama yaitu mereka yang berusaha mengamalakan ajaran-ajaran islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya local terutama yang dianggap berbau tahayul, khurafat dan syirik.
2. Kelompok moderat dimana anggota kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah seorang da’I atau mubaligh harus menggunakan al-hikmah. Sehingga untuk menghadapi orang jawa dengan tradisi yang sudah sangat kental bagi mereka tidak boleh menggunakan cara yang radikal yang justru akan menjauhkan da’I dari obyek dakwah.
3. Kelompok ketiga justru menerima sinkretisme secara keseluruhan. Yang berpedoman seperti ini diantaranya:
• Pengikut Empu Tantular (mereka setuju bahwa orang islam melakukan ritual agama lain. Hal ini didasarkan pada kayakinan bahwa esensi setiap agama adalah sama);
• Golongan yang kurang mendalam pengetahuannya tentang islam sehingga tidak bisa membedakan antara tradisi local dengan ajaran islam. Sehingga muncul anggapan bahwa tradisi adalah bagian yang tak terpisahkan dari agama.
Komentar
Posting Komentar