A. Pengertian Li’an
Li’an berasal dari kata la’ana yang artinya mengutuk, karena orang yang meli’an pada sumpahnya yang kelima bersedia menerima kutukan Allah jika sumpahnya dusta. Seperti ucapan “Sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Allah jika ia tergolong orang yang berbuat dosa”.[1]
Dalam kamus ilmiah popular, Li’an diartikan dengan “Tuduhan si suami yang menyatakan bahwa si istri tidak setia dan melakukan serong zina/dengan laki-laki lain.[2]
Sedangkan menurut Syara’, li’an berarti sumpah seorang suami dimuka hakim bahwa ia berkata benartentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi suami menuduh istrinya zina dengan tidak mengungkapkan saksi, kemudian keduany abersumpah ats tuduhan tersebut.[3] Sumpah itu diucapkan empat kali oleh suami dan sumpah yang kelima merupakan permintaan untuk menerima kutukan jika tuduhannya salah. Sumpah ini diikuti juga oleh istri dengan empat kali dan diiringi sumpah yang kelima.
B. Praktik Li’an
Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi, haruslah ia bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa ia benar. Pada ucapan yang kelima dia mengatakan bahwa dia akan dilaknat Allah jika tuduhannya salah. Dan kemudian disusul juga istrinya untuk menyanggah sumpah li’an suami dengan cara yang sama dengan yang dilakukan sang suami.
Li’an mulai berlaku sejak tahun 9 hijriyah namun ada juga yang mengatakan bahwasannya li’an mulai berlaku sejak tahun wafatnya nabi Muhammad saw. Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa dimasa Rasulullah terdapat seorang laki-laki yang bernama Hilal bin Umayyah (orang pertama yang melakukan li’an) menuduh istrinya berzina dengan syuraik bin Sahma’. Rasulullah saw berkata kepada Hilal: “Engkau harus mengemukakan bukti atau punggungmu didera”. Kemudian Hilal menjawab: “Apakah kalau kami melihat istri kami berzina harus mengemukakan saksi?”. Rasulullah tetap mengatakan: “Bukti atau punggungmu didera”. Hilal berkata: “Demi dzat yang mengutus tuan, sungguh benar dan Allah pasti akan menurunkan ayat yang akan menghindarkan punggungku dari hukuman. Kemudian turunlah firman Allah yang berbunyi:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3t öNçl°; âä!#ypkà HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/ ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 úüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ èp|¡ÏJ»sø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmøn=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÐÈ
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.(6) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[7].” (an-Nur: 6-7)
Setelah Rasulullah saw menerima ayat tentang li’an kemudian beliau menemui istri Hilal. Hilal datang dan bersumpah. Rasul bersabda: Allah tahu bahwa salah seorang diantara kalian ada yang berdusta. Apakah diantara kalian ada yang mau bertaubat? Kemudian istri Hilal pun bersumpah. Setelah sampai pada sumpah yang kelima, kemudian mereka menghentikannya. Orang-orang mengira kalau ia akan menerima hukuman. Ibnu Abbas berkata: “Perempuan itu berbicara perlahan-lahan, dan menunda-nunda ucapannya, sehingga kami mengira bahwa ia mencabut sumpahnya”. Perempuan itu kemudian berkata: “Saya tidak akan mencemarkan nama keluargaku selamanya”. Kemudian ia melanjutkan. Rasulullah saw bersabda: “Perhatikanlah dia, jika dia melahirkan anak yang matanya seperti bercelak, gemuk tubuhnya, perutnya seperti habis minum maka anak itu berasal dari Syuraik bin Sahma’. Kemudian ternyata demikian. Rasul bersabda : “Seandainya tidak ada kitab Allah, pasti aku dan dia akan terkena sesuatu”. Maksudnya jika tidak turun ayat yang menjelaskan bahwa li’an dapat menghapuskan hukum had bagi perempuan pastilah Rasulullah saw. Akan menjatuhkan hukum had atas perempuan tersebut.
Ayat ini menyatakan bahwasannya orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah an-Nu’man dan daud bin Ali al-ashfihani berkata: “Suami istri tidak perlu meli’an karena li’an adalah ganti kesaksian”. Hal ini berdasarkan firman Allah QS. An-Nur ayat 6:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3t öNçl°; âä!#ypkà HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/ ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 úüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar”. [an-nur: 6]
Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’I dan jumhur ulama’ berpendapat bahwa li’an itu adalah sumpah. Meskipun dinamakan kesaksian (syahadah), karena seseorang tidak boleh menjadi saksi untuk dirinya sendiri. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw yang artinya “Jika tidak Karena sumpah pasti ada sesuatu yang akan menimpaku dan dia”.
Sedangkan Abu Hurairah dan Sahabat-sahabatnya berpendapat bahwa li’an adalah kesaksian. Mereka berpendapat pada QS. An-Nur ayat 6 yang berbunyi:
äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/ ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 úüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ
Artinya: “Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar”.[an-nur:6]
Dan juga disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas yang artinya: “kemudian Hilal dengan memberikan kesaksian, kemudian istrinya berdiri memberikan kesaksian”.
Li’an bisa terjadi karena dua hal yaitu[4]:
a. Suami menuduh istrinya berbuat zina tetapi ia tidak dapat mengemukakan empat orang saksi yang menguatkan tuduhannya.
b. Suami menolak isi kandungan istrinya. Misalnya suami mengaku belum pernah melakukan hubungan suami istri dengan istrinya sejak akad nikah atau istri sudah melahirkan sebelum lewat 6 bulan dari bercampurnya istri dengan suaminya.
Dalam hal li’an, ada yang mengatakan bahwasannya li’an adalah sumpah namun ada juga yang mengatakan bahwa li’an adalah kesaksian. Sehingga menimbulkan permasalahan bahwa jika li’an itu sumpah maka li’an dianggap sah jika dilakukan oleh suami istri yang merdeka, atau sama-sama budak, atau slaah seorang diantaranya adalah budak. Dengan syarat bahwa keduanya adil, atau salah satu diantara keduanya.
Sedangkan bagi yang mengatakan bahwa li’an adalah saksi maka li’an itu tidak sah apabila suami istri tersebut berhak menjadi saksi, suami istri harus benar-benar merdeka (bukan budak), sama-sama muslim. Budak atau orang yang sedang dituduh melakukan qadzaf (menuduh zina) tidak dibenarkan melakukan li’an. Begitu juga jika salah seorang dari suami atau istri itu dapat menjadi saksi sedang yang lainnya tidak berhak menjadi saksi, maka li’annya tidak sah.
Jika li’an benar-benar terjadi maka hal tersebut mengakibatkan perceraian sehingga suami istri dilarang melakukan persetubuhan. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan: “ seorang suami istri yang saling meli’an tidak boleh kumpul lagi selama-lamanya”.
Namun Abu Hanifah berpendapat bahwasannya dikarenakan perceraian tersebut terjadi akibat li’an, maka jika li’an sudah dibatalkan dengan bantahan suami atas kebenaran dirinya maka hukum itu hilang dan perceraiannya batal.
Syarat-syarat Li’an diantaranya:
a. Dilakukan didepan pengadilan (hakim);
b. Berakal sehat dan dewasa.
Pada dasarnya li’an hanya boleh dilakukan untuk seorang suami yang tidak mempunyai saksi akan tuduhan suami terhadap zinanya seorang istri. Sehingga terdapat pendapat yang mengatakan bahwasannya Li’an itu dilarang bagi mereka yang telah mempunyai saksi. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’I, mereka memperbolehkan li’an sebab dengan saksi-saksi saja belum kuat untuk menyangkal atas kehamilan istrinya sebagai bukan hasil benihnya.
C. Cara Penetapan Li’an
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan bahwa secara maknawi keturubnan itu dihubungkan dengan orang yang setempat tidur (suami), maka pentinglah bagi suami untuk mengetahui cara yang benar kalau ia tidak mau mengakui anak yang lahir dari istrinya sebagai keturunannya, karena ternyata adanya hal-hal yang merusaknya. Cara yang dimaksud itu adalah li’an. Jadi li’an merupkana ketentuan yang sah dalam al-qur’an, hadits, qias, dan ijma’. Oleh karena itu tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama’.
Tentang masa berlangsungnya hukum li’an, jumhur fuqaha berpendapat bahwa li’an berlangsung hingga berahirnya masa mengandung terpanjang, sesuai dengan silang pendapat mereka tentang maslah ini.
Fuqaha zahiri berpendapat bats terpendek masa mengandung yang mewajibkan hukum li’an seperti umumnya masa mengandung, yaitu 9 bulan dan masa yang mendekatinya.
Dikalangan fuqaha juga tidak diperselisihkan bahwa hukum li’an itu wajib dalam masa ishmah.[5] Selebihnya dalah menurut masa mengandung terpendek atau selama enam bulan yakni masa pada saat anak itu lahir dalam masa enam bulan sejak waktu dukhul, atau mulai dari waktu suami menyetubuhi bukan waktu akad nikah.
Imam Abu Hanifah berbeda sendiri pendapatnya. Beliau mengatakan bahwa enam bulan itu dihitung sejak waktu akad, sekalipun diketahui tidak dimungkinkan terjadinya persetubuhan. Lebih dari itu beliau berpendapat bahwa seandainya ada seorang laki-laki ynag tinggal di barat jauh menikah dengan seorang wanita yang tinggal ditimur jauh, kemudian wanita itu melhairkan anak setelah masuk enam bulan dari waktu akad, maka anak tersebut dipertalikan nsabnya dengan laki-laki itu kecuali laki-laki itu mengingkari anak tersebut melalui sumpah li’an.
Sedangkan permasalahan istri yang hamil seudah terjadinya li’an, maka terdapat pendapat imam Syafi’I, imam maliki, al-auza’I dan segolongan fuqaha mengatakan bahwa diantara keduanya boleh terjadi li’an. Imam abu hanifahberpendapat bahwa keduanya tidak terjadi li’an, kecuali jika suami mengingkari anak yang dikandung istrinya dan tidak pula hukuman had. Sedngakn Makhul, al-hakam, dan Qatadah berpemndapat bahwa ia terjena had dan tidak ada li’an.[6]
Jika suami mengingkari kandungan istrinya, maka dalam hal ini terdapat dua persoalan yaitu,[7] suami mengaku telah mengistibra’kan istrinya dan tidak menggauli istrinya setelah adanya istibra’ tersebut.
Dalam hal ini, fuqaha tidak ada perselisihan. Hanya saja Imam Malik berbeda pendapat dalam hal istibra’. Kadang-kadang ia mengatakan bahwa masa istibra’ adalah tiga kali haid dan kadang-kadang mengatakan bahwa dalam masalah ini tidak diwajibkan li’an. Jika suami mengingkari kandungan istrinya secara mutlak maka menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik bahwa suami tidak diwajibkan li’an.
Pendapat ni ditentang oleh Imam Syafi’I, Ahmad dan Daud mereka mengatakan bahwa pendapat tersebut tidak bermakna karena terkadang wanita itu mengalami kehamilan dalam keadaan masih mengeluarkan darah haid. Abdul Wahbah mengatakan pendapat dari para pengikut Syafi’I bahwasannnya tidak boleh mengingkari kandungan secara muthlak tanpa tuduhan berzina.
Kemudian masalah waktu untuk mengingkari kandungan jumhur ulama’ berpendapat bahwa suami boleh mengingkarinya ketika istri hamil. Imam Malik meensyaratkan bahwa apabila suami tidak mengingkari kandungan pada masa kehamilan maka dia juga tidak boleh mengingkarinya sesudah kelahiran dengan li’an.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa apabila suami tidak mengetahui kehamilan istrinya kemudian hakim member kesempatan kepadanya untuk berli’an tetapi tidak mau berli’an maka tidaka ada hak baginya untuk mengingkari kandungan sesudah kelahiran. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa suami tidak boleh mengingkari anak sehingga istrinya melahirkan.
Imam Malik dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya beralasan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir dari hadits Ibnu Abbas r.a., yang artinya:
“sesungguhnya nabi saw. Ketika memutuskan perkara li’an diantara dua orang yang saling berli’an, beliau bersabda, “Jika istri melahirkan kandungan dengan ciri-ciri demikian, maka aku berpendapat bahwa tuduhan suami adalah benar”.
Alasan Abu Hanifah adalah bahwa kandungan itu kadang mengalami keguguran maka tidak ada alasan untuk berli’an kevuali dengan keyakinan.
Jumhur fuqaha mengemukakan alasan bahwa syara’ telah menggantungkan berbagai macam hukum terhadap timbulnya kandungan dan Abu Hanifah berpendapat bahwa suami boleh berli’an sekalipun ia tidak mengingkari kandungan kecuali pada waktu melahirkan dan pada saat menjelang melahirkan.
D. Hikmah Li’an
Li’an yang merupakan sumpah untuk meyakinkan tuduhan zina dengan tidak adanya 4 saksi. Jika keduanya baik suami maupun istri bersikukuh tidak mau mebersaksi atas tuduhannya maka ia harus ditahan hingga ia mau melakukannya atau dianggap sebagai pembohong hingga dengannya ia wajib mendapatkan hukumnannya. Disaat keduanya telah mengucapkan kesaksiannya maka secara hukum keduanya wajib dipisahkan pada saat itu juga.
Hikmah penetapan hukum ini adalah:[8]
1. Ketaatan seorang istri kepada suami tidak akan bertahan kecuali dengan adanya keselarasan dan kasih saying diantara keduanya.
2. Penetapannya merupakan suatu bentuk pelajaran bagi keduanya. Juga suatu kewaspadaan dan peringatan bahwa apa yang telah dilakukan telah menodai kehormatan rumah tangga.
3. Sebagai satu usaha untuk menjaga kehormatan yang tidak akan kembali atas tuduhan tersebut walau dengan berlalunya hari.
E. Akibat Li’an
Akibat li’an suami, timbul beberapa hukum yakni[9] dia tidak disiksa (didera), Si istri wajib disiksa (didera) dengan siksaan zina, suami istri bercerai selamanya, dan kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui oleh suaminya
Mengenai kapan terjadinya perceraian itu diwajibkan, Imam Malik, al-Lais, dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa perpisahan itu terjadi apabila keduanya telah slesai mengadukan li’an. Imam Syafi’I berpendapat bahwasannya jika suami telah menyelesaikan li’annya maka perpisahanpun telah terjadi. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perpisahan tidak terjadi kecuali berdasarkan keputusan dari hakim. Pendapat ini juga dikemukakan oleh as-Sauri dan Ahmad.[10]
Sebagian ulama juga berpendapat bahwasannya hal tersebut tidak mengakibatkan perpisahan karena perpisahan terjadi hanya dengan adanya talak. Sedangkan bagiu mereka yang mengatkan bahwa li’an mengakibatkan perpisahan juga terjadi perbedaan pendapat antara alasan terjadinya li’an tersebut apakah karena fasakh atau talak. Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa perpisahan tersebut merupakan fasakh sedangkan Abu Hanifah mengatakan perpisahan tersebut merupakan talak bain. [11]
[1] Sayyid sabiq, Op. cit, hal. 213
[2] Hendro Darmawsan, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2010, Hal. 374
[3] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2 (untuk fakultas Syaria’ah komponen MKDK), Bandung: pustaka Setia,hal. 97
[4] Ibid, hal. 103
[5] Ikatan perkawinan
[6] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op. cit, hal. 107
[7] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op. cit, hal. 108
[8] Indahnya Syari’at islam, hal. 395
[9] H. sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, cet.47, bandung: Sinar Baru, hal. 412
[10] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op. cit, hal. 114
[11] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.cit. hal. 116
sip gan, makalahnya... izin kutip za, salam kenal...
BalasHapus