A. Pengertian Zhihar
Secara etimologis, kata zhihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah, kata zhihar berarti suatu ungkapan suami terhadap istri “Bagiku kamu seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia mengharamkan isterinya bagi dirinya.[1]
Kata zhihar ini diambil karena zhihar merupakan talak yang berlaku pada masyarakat jahiliyyah dahulu. Yaitu dengan mengatakan “ bagiku kamu seperti punggung ibuku”. Kemudian di dalam syari’at, zhihar itu dipergunakan untuk seluruh anggota badan sebagai qiyas (analogi) dari kata zhihar itu sendiri. Kemudian Allah memberikan keringanan kepada ummat islam dengan menggantikannya dengan adanya kifarat dan meniadakan talak atasnya. [2]
Zhihar berasal dari kata azh-zhahru yang artinya punggung yaitu ucapan seorang suami kepada istrinya “engkau seperti punggung ibuku”. Dalam kitab Fathul Bari dikatakan, “khusus disebut Punggung saja dan bukan anggota badan lainnya karena umumnya punggunglah yang menjadi tempat tunggangan. Karena itu, tempat tunggangan disebut punggung. Perempuan kemudian diserupakan dengan punggung sebab ia menjadi tunggangan laki-laki”.[3]
Ada yang mengatakan bahwa zhihar hanya dengan kata “punggung” dan “ibu”. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa penyamaan dengan selain punggung juga dianggap zhihar. Abu Hanifah berpendapat bahwa zhihar hanya terjadi dengan menyebutkan anggota tubuh yang haram dilihat.
Pengertian lahir zhihar menurut syara’ mengharuskan ucapan pengharaman yang masuk criteria zhihar hanya terdapat pada kata “punggung” dan “ibu”.
Apabia kata penyamaan tersebut tanpa kata punggung dan ibu maka menurut Abu Hanifah dan syafi’I hal itu bergantung pada niatnya karena boleh jadi ungkapan tersebut ditujukan untuk mengagungkan istri dan ketinggian kedudukannya disisinya.
Tetapi Malik berpendapat bahwa hal tersebut adalah zhihar. [4]
B. Asal mula timbulnya zhihar
Ayat 1-4 surat al-mujadilah, menerangkan tentang zhihar dimana konsep zhihar bermula dengan persoalan khaulah binti Tsa’labah yang berkata “Aku dibawah kendali Aus bin Shamit. Perilakunya mekin memburuk seiring dengan menuanya usia. Aku harus melakukan semua hal yang diperintahkannya.[5] Hingga suatu saat dia berkata kepada “Kamu bagiku seperti punggung ibuku”. Hal ini terjadi saat Dengan maksud bahwa dia tidak boleh lagi menggauli istrinya sebagaimna menggauli ibunya. Kemudian khaulah mengadu kepada Rasulullah dan beliau menjawab bahwasannya dia sudah tidak boleh bercampur dengan suaminya. Namun khaulah menolak alasan tersebut dan berkata “Suamiku belum menyebut kata-kata talak”. Kemudian turunlah ayat 1 QS. Al-Mujadilah.
C. Dampak Zhihar
Zhihar tidak sama dengan thalak karena zhihar tidak berakibat adanya perceraian hanya saja mengakibatkan suami haram mencampuri istrinya sebelum dia membayar kifarat kepada istrinya. Sekalipun suami yang menzhihar istrinya hanya bermaksud untuk menalaknya, tetapi secara hukum tetap dianggap zhihar. Jika dengan ucapan talak dengan maksud zhihar, secara hukum tetap talak. Jika suami mengatakan “engkau bagiku seperti punggung ibuku”, sedangkan maksudnya adalah menalak, hukumnya bukan sebagai talak melainkan zhihar. Zhihar tidak menyebabkan tertalak dari istrinya. Hal ini dikarenakan kalimat yang diucapkan bukanlah kalimat talak.
Beberapa fuqaha berpendapat bahwasannya orang yang menzhihar dilarang menggauli istrinya sedangkan imam Malik berepndapat bahwasannya jimak dan semua perbuatan bersenang-senang yang kurang dari itu dilarang. Hal ini hamper sama dengan pendapat Abu Hanifah akan tetapi beliau hanya memakruhkan melihat kelamin permpuan.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa zhihar hanya menyebabkan keharaman penggaulan pada kelamin perempuan saja yang telah disepakati atasnya bukan terhadap anggota tubuh lainnya. Pendapat ini juga diungkapkan oleh Tsauri, Ahmad, dan segolongan fuqaha. [6]
Ibnu Qayyim berkata: “Pada Zaman Jahiliyyah, Zhihar dipandang sebagai talak lalu dibatalkan oleh islam serta tetap dipandang tidak berlaku”.
Diantara kifarat sebagai dampak dari zhihar tersebut adalah:
- Memerdekakan budak
- Berpuasa dua bulan berturut-turut
- Memberi makan 60 orang fakir miskin
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 3-4 yang berbunyi:
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàã `ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrßqãèt $yJÏ9 (#qä9$s% ãÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt 4 ö/ä3Ï9ºs cqÝàtãqè? ¾ÏmÎ/ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÌÈ `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ/$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZÅ3ó¡ÏB 4 y7Ï9ºs (#qãZÏB÷sçGÏ9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur 4 ù=Ï?ur ßrßãn «!$# 3 z`ÌÏÿ»s3ù=Ï9ur ë>#xtã îLìÏ9r& ÇÍÈ
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(3) Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(4)” [al-Mujadilah: 3-4]
Sebagian ulama mengatakan bahwasannya zhihar tersebut hanya yang dinisbatkan kepada ibunya saja akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwasannya zhihar tidak hanya menyerupakan istri dengan ibu saja akan tetapi menyamakan dengan wanita yang haram dinikahi juga termasuk zhihar. Jika seorang suami mengatakan “engkau seperti punggung ibuku/saudara perempuanku” dengan maksud untuk memuji atau mengejeknya, hal ini tidak disebut zhihar.[7]
Sedangkan seorang yang zhiharnya bisa dianggap sah adalah bagi mereka yang baligh, waras akalnya dan muslim, si perempuan telah menjadi istrinya dan akad nikahnya sudah sah berlaku.
Kiffarat zhihar sangat diperberat dikarenakan untuk menjaga ikatan perkawinan dan untuk mencegah timbulnya kedzaliman terhadap diri perempuan, karena bila seorang suami merasakan beratnya denda untuk menebus ucapannya maka ikatan perkawinannya akan terjaga dan istri akan terlindung dari penganiayaan suami.
Dalam permasalahan zhihar ini pada dasarnya seperti mengandaikan istri dengan orang lain sehingga dapat mempengaruhi niat hubungan suami istri yang dilakukan. Hal inilah yang menyebabkan adanya kifarat bagi orang yang menzhihar istrinya bahkan ada juga yang mengharamkan zhihar.
D. Praktek Zhihar
Jika seorang suami menceraikan istri setelah menzhihar kemudian merujuknya kembali, terdapat permasalahan apakah zhihar yang terjadi sebelum perceraian itu berlaku kembali atau tidak. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat.
Imam malik berpendapat bahwasannya apabila suami menceraikan istrinya dengan talak kurang dari tiga kemudian dia merujuknya dalam masa iddah atau sesudahnya maka ia wajib membayar kafarat.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa apabila suami merujuknya pada masa iddah maka ia wajib membayar kafarat. Dan jika dia merujuknya bukan pada masa iddah maka dia tidak wajib membayar kafarat. Dari Imam Syafi;I Juga terdapat pendapat lain yang sama dengan pendapat Imam malik.
Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa suami yang menzhihar istrinya bisa merujuk kembali istrinya baik sesudah talak tiga atau talak satu.
ZHIHAR
A. Pengertian Zhihar
Secara etimologis, kata zhihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah, kata zhihar berarti suatu ungkapan suami terhadap istri “Bagiku kamu seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia mengharamkan isterinya bagi dirinya.[1]
Kata zhihar ini diambil karena zhihar merupakan talak yang berlaku pada masyarakat jahiliyyah dahulu. Yaitu dengan mengatakan “ bagiku kamu seperti punggung ibuku”. Kemudian di dalam syari’at, zhihar itu dipergunakan untuk seluruh anggota badan sebagai qiyas (analogi) dari kata zhihar itu sendiri. Kemudian Allah memberikan keringanan kepada ummat islam dengan menggantikannya dengan adanya kifarat dan meniadakan talak atasnya. [2]
Zhihar berasal dari kata azh-zhahru yang artinya punggung yaitu ucapan seorang suami kepada istrinya “engkau seperti punggung ibuku”. Dalam kitab Fathul Bari dikatakan, “khusus disebut Punggung saja dan bukan anggota badan lainnya karena umumnya punggunglah yang menjadi tempat tunggangan. Karena itu, tempat tunggangan disebut punggung. Perempuan kemudian diserupakan dengan punggung sebab ia menjadi tunggangan laki-laki”.[3]
Ada yang mengatakan bahwa zhihar hanya dengan kata “punggung” dan “ibu”. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa penyamaan dengan selain punggung juga dianggap zhihar. Abu Hanifah berpendapat bahwa zhihar hanya terjadi dengan menyebutkan anggota tubuh yang haram dilihat.
Pengertian lahir zhihar menurut syara’ mengharuskan ucapan pengharaman yang masuk criteria zhihar hanya terdapat pada kata “punggung” dan “ibu”.
Apabia kata penyamaan tersebut tanpa kata punggung dan ibu maka menurut Abu Hanifah dan syafi’I hal itu bergantung pada niatnya karena boleh jadi ungkapan tersebut ditujukan untuk mengagungkan istri dan ketinggian kedudukannya disisinya.
Tetapi Malik berpendapat bahwa hal tersebut adalah zhihar. [4]
B. Asal mula timbulnya zhihar
Ayat 1-4 surat al-mujadilah, menerangkan tentang zhihar dimana konsep zhihar bermula dengan persoalan khaulah binti Tsa’labah yang berkata “Aku dibawah kendali Aus bin Shamit. Perilakunya mekin memburuk seiring dengan menuanya usia. Aku harus melakukan semua hal yang diperintahkannya.[5] Hingga suatu saat dia berkata kepada “Kamu bagiku seperti punggung ibuku”. Hal ini terjadi saat Dengan maksud bahwa dia tidak boleh lagi menggauli istrinya sebagaimna menggauli ibunya. Kemudian khaulah mengadu kepada Rasulullah dan beliau menjawab bahwasannya dia sudah tidak boleh bercampur dengan suaminya. Namun khaulah menolak alasan tersebut dan berkata “Suamiku belum menyebut kata-kata talak”. Kemudian turunlah ayat 1 QS. Al-Mujadilah.
C. Dampak Zhihar
Zhihar tidak sama dengan thalak karena zhihar tidak berakibat adanya perceraian hanya saja mengakibatkan suami haram mencampuri istrinya sebelum dia membayar kifarat kepada istrinya. Sekalipun suami yang menzhihar istrinya hanya bermaksud untuk menalaknya, tetapi secara hukum tetap dianggap zhihar. Jika dengan ucapan talak dengan maksud zhihar, secara hukum tetap talak. Jika suami mengatakan “engkau bagiku seperti punggung ibuku”, sedangkan maksudnya adalah menalak, hukumnya bukan sebagai talak melainkan zhihar. Zhihar tidak menyebabkan tertalak dari istrinya. Hal ini dikarenakan kalimat yang diucapkan bukanlah kalimat talak.
Beberapa fuqaha berpendapat bahwasannya orang yang menzhihar dilarang menggauli istrinya sedangkan imam Malik berepndapat bahwasannya jimak dan semua perbuatan bersenang-senang yang kurang dari itu dilarang. Hal ini hamper sama dengan pendapat Abu Hanifah akan tetapi beliau hanya memakruhkan melihat kelamin permpuan.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa zhihar hanya menyebabkan keharaman penggaulan pada kelamin perempuan saja yang telah disepakati atasnya bukan terhadap anggota tubuh lainnya. Pendapat ini juga diungkapkan oleh Tsauri, Ahmad, dan segolongan fuqaha. [6]
Ibnu Qayyim berkata: “Pada Zaman Jahiliyyah, Zhihar dipandang sebagai talak lalu dibatalkan oleh islam serta tetap dipandang tidak berlaku”.
Diantara kifarat sebagai dampak dari zhihar tersebut adalah:
- Memerdekakan budak
- Berpuasa dua bulan berturut-turut
- Memberi makan 60 orang fakir miskin
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 3-4 yang berbunyi:
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàã `ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrßqãèt $yJÏ9 (#qä9$s% ãÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt 4 ö/ä3Ï9ºs cqÝàtãqè? ¾ÏmÎ/ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÌÈ `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ/$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZÅ3ó¡ÏB 4 y7Ï9ºs (#qãZÏB÷sçGÏ9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur 4 ù=Ï?ur ßrßãn «!$# 3 z`ÌÏÿ»s3ù=Ï9ur ë>#xtã îLìÏ9r& ÇÍÈ
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(3) Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(4)” [al-Mujadilah: 3-4]
Sebagian ulama mengatakan bahwasannya zhihar tersebut hanya yang dinisbatkan kepada ibunya saja akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwasannya zhihar tidak hanya menyerupakan istri dengan ibu saja akan tetapi menyamakan dengan wanita yang haram dinikahi juga termasuk zhihar. Jika seorang suami mengatakan “engkau seperti punggung ibuku/saudara perempuanku” dengan maksud untuk memuji atau mengejeknya, hal ini tidak disebut zhihar.[7]
Sedangkan seorang yang zhiharnya bisa dianggap sah adalah bagi mereka yang baligh, waras akalnya dan muslim, si perempuan telah menjadi istrinya dan akad nikahnya sudah sah berlaku.
Kiffarat zhihar sangat diperberat dikarenakan untuk menjaga ikatan perkawinan dan untuk mencegah timbulnya kedzaliman terhadap diri perempuan, karena bila seorang suami merasakan beratnya denda untuk menebus ucapannya maka ikatan perkawinannya akan terjaga dan istri akan terlindung dari penganiayaan suami.
Dalam permasalahan zhihar ini pada dasarnya seperti mengandaikan istri dengan orang lain sehingga dapat mempengaruhi niat hubungan suami istri yang dilakukan. Hal inilah yang menyebabkan adanya kifarat bagi orang yang menzhihar istrinya bahkan ada juga yang mengharamkan zhihar.
D. Praktek Zhihar
Jika seorang suami menceraikan istri setelah menzhihar kemudian merujuknya kembali, terdapat permasalahan apakah zhihar yang terjadi sebelum perceraian itu berlaku kembali atau tidak. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat.
Imam malik berpendapat bahwasannya apabila suami menceraikan istrinya dengan talak kurang dari tiga kemudian dia merujuknya dalam masa iddah atau sesudahnya maka ia wajib membayar kafarat.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa apabila suami merujuknya pada masa iddah maka ia wajib membayar kafarat. Dan jika dia merujuknya bukan pada masa iddah maka dia tidak wajib membayar kafarat. Dari Imam Syafi;I Juga terdapat pendapat lain yang sama dengan pendapat Imam malik.
Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa suami yang menzhihar istrinya bisa merujuk kembali istrinya baik sesudah talak tiga atau talak satu.
[1] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih keluarga, cetakan kelima, Jakarta timur: Pustaka al-kautsar, 2006, hal. 327
[2] Ibid, hal. 327
[3] Sayyid sabiq, fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, hal. 205
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, hal. 642
[5] Syeikh Ali Ahmad al-Jarjawi, indahnya Syariat islam, Beirut: Darul El-Fikri, 1997, hal. 391
[6] Ibnu Rusyd, Op. cit, hal. 653
[7] Sayyid sabiq , Op. cit, hal. 208
[1] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih keluarga, cetakan kelima, Jakarta timur: Pustaka al-kautsar, 2006, hal. 327
[2] Ibid, hal. 327
[3] Sayyid sabiq, fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, hal. 205
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, hal. 642
[5] Syeikh Ali Ahmad al-Jarjawi, indahnya Syariat islam, Beirut: Darul El-Fikri, 1997, hal. 391
[6] Ibnu Rusyd, Op. cit, hal. 653
[7] Sayyid sabiq , Op. cit, hal. 208
makasih atas penjelasan tentang ziharnya.
BalasHapus