INTERELASI BUDAYA JAWA DENGAN ISLAM KEPERCAYAAN DAN RITUAL
PENDAHULUAN
Dalam kaitannya dengan kepercayaan dan ritual masyarakat jawa,
tentunya takkan pernah terpisah dari pembicaraan siapa yang dinamakan
masyarakat jawa. Masyarakat jawa dalam antropologi budaya adalah orang-orang
yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam
dialeknya secara turun-temurun. Masyarakat jawa adalah mereka yang bertempat
tinggal di daerah jawa tengah dan jawa timur serta semua yang berasal dari
kedua daerah tersebut.
Secara geografis,suku bangsa jawa mendiami tanah jawa yang meliputi
wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta,madiun, Malang dan Kediri
sedangkan selain daerah tersebut disebut dengan pesisir dan ujung timur.
Dalam perkembangannya, masyarakat jawa banyak mengalami evolusi
dimana hal ini dipengaruhi oleh budaya-budaya yang masuk ke tanah jawa itu
sendiri. Baik dibawa oleh ahli agama-agama ataupun budaya barat yang dibawa
oleh para penjajah. Meski demikian, pada dasarnya masyarakat jawa sendiri pada
awalnya juga telah kaya dengan berbagai macam budaya yang bahkan sudah
mengental di masyarakatnya. Sehingga saat budaya baru muncul dan ingin
memporak-porandakan budaya yang telah ada, akan sangat sulit jika dilakukan
secara radikal tanpa memperhatikan masyarakat jawa tersebut.
Banyak budaya yang masuk namun pada hakikatnya budaya-budaya jawa
itu masih tetap bertahan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya
praktek-praktek upacara baik yang telah dikompare dengan budaya-budaya baru
maupun yang masih murni. Seperti budaya yang ada di keratin (midodareni), budaya
larung yang masih ditemukan di sebagian besar pantai selatan dan
sebagainya.
PEMBAHASAN
A.
AGAMA
DAN BUDAYA
Agama dalam arti Ad-dien, sumbernya adalah wahyu dari tuhan. Sedangkan
kebudayaan sumbernya dari manusia. Jadi agama tidak dapat dimasukkan ke dalam
lingkungan kebudayaan selama manusia berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat
dimasukkan ke dalam hasil cipta manusia.
Sedangkan menurut golongan atheis, agama dipandang sebagai cabang
kebudayaan. Menurut mereka, agama merupakan cara berpikir dan merasa dalam
kehidupan: suatu kesatuan social mengenai hubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Agama ini dapat diistilahkan dengan : “agama budaya”, seperti misalnya:
animism, dinamisme, naturalism (serba alam), spiritualisme (serba arwah), agama
Kong Hucu, agama Sinto, bahkan agama Hindu dan Budha termasuk juga dalam
kategori ini.
Selain itu bagi seorang yang
ber-Tuhan, agama dapat mempengaruhi terciptanya kebudayaan sedangkan kebudayaan
tidak dapat mencipta agama. Sebagaimana halnya Tuhan dapat mempengaruhi manusia
sedangkan manusia tidak dapat mempengaruhi Tuhan.
Sedangkan kebudayaan merupakan konsep, nilai, keyakinan, dan norma
yang dianut oleh masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya
menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.[1]
Agama bukanlah suatu produk manusia, tidak berasal dari manusia,
tetapi dari Tuhan. Agama jenis ini disebut dengan “ad-dinus samawy” yaitu agama
yang turun dari langit, dari atas, dari Tuhan. Contoh: agama Yahudi, Nasrani
dan Islam.
Sehingga agama bukanlah bagian dari kebudayaan, tetapi berasal dari
Tuhan. Sedangkan kebudayaan menurut islam yaitu mengatur hubungan manusia
dengan manusia dan alam nyata. Sedangkan agama selain mengatur hubungan dengan
manusia dan alam nyata juga mengatur hubungan dengan alam Ghoib terutama dengan
Yang Maha Esa.
Agama Islam sebagai Sumber Kebudayaan
Islam bukan hanya sebagai peribadatan saja melainkan suatu
kebudayaan dan peradaban yang lengkap. Hal ini sebagaimana ungkapan Prof. H.
A.Gibb dalam bukunya “Wither Islam”.
Islam tidak hanya memperhatikan tentang hal-hal yang berhubungan
langsung dengan ahirat melainkan juga memperhatikan tentang keduniawian. Hal
ini terbukti dengan adanya berbagai macam hal yang terkandung dalam al-qur’an
seperti:
1.
Dasar-dasar
kepercayaan dan ideology
2.
Hikmah
dan filsafat
3.
Budi
pekerti, kesenian dan kesusasteraan
4.
Sejarah
umat dan biografi nabi-nabi
5.
Undang-undang
masyarakat
6.
Kenegaraan
dan pemerintahan
7.
Kemiliteran
dan Undang-undang perang
8.
Hukum
Perdata (mu’amalat)
9.
Hukum
pidana (Jinayat)
10.
Undang-undang
alam dan tabiat
Pengaruh Agama Terhadap Kebudayaan
Pada dasarnya, kebudayaan Indonesia tetap kuat eksistensinya
meskipun banyak akulturasi budaya di dalamnya. Akulturasi dalam hal ini disebut
dengan “Syncrotisme” (perpaduan antara dua kepercayaan).
Misalnya pengaruh kebudayaan Hindu terhadap kebudayaan Indonesia.
Menurut Prof. Koesoemadi, SH, pengaruhnya bersifat “Penetration
pasifique ef suggestive”, (damai dan mendorong). Dimana meskipun
kebudayaan Hindu bersifat menggiatkan dan meninggikan namun kebudayaan
Indonesia tetap kaya dan tetap tinggal dalam kepribadiannya saat kebudayaan
hindu telah tiada.
Sedangkan menurut Yosselin de Yong, pengaruh islam
bersifat “penetration pasifique dan tolerante et constructive (damai dan
membangun). Prinsip membangun ini, dapat dibuktikan dengan melihat
pengaruh islam yang tidak hanya pada kepercayaan dan adat-istiadat sehari-hari.
Pengaruh islam sudah meluas sampai pada bidang hokum dan upacara-upacara.
Misalnya hari besar islam, upacara kematian, selamatan-selamatan, mengubur
mayat, do’a, wakaf, warisan, letak masjid dan sebagainya.
B.
KEPERCAYAAN
DAN RITUS JAWA
Aliran kepercayaan yaitu suatu faham Dogmatis terjalin dari adat
istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa
yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek
moyangnya di sepanjang masa.[2]
Di jawa, masih banyak ditemukan ritual-ritual dan juga budaya kuno.
Berbagai macam ritual sudah menjadi suatu kewajiban untuk dilaksanakan. Namun,
ritual-ritual ini justru tidak lagi menjadi sebuah ritual yang sakral akan
tetapi lebih kepada suatu tontonan yang sangat unik dan menarik.
Dalam masyarakat jawa banyak diadakannya ritual-ritual yang
mengikut sertakan arwah nenek moyang. Sebagai kelengkapan upacara-upacara
tersebut mereka menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya
uang digemari oleh nenek moyang. Mereka menyempurnakan upacara tersebut dengan
bunyi-bunyian dan tari-tarian agar arwah nenek moyang yang dipanggil menjadi
gembira dan berkenan memberikan berkah kepada keluarganya.
Upacara kematian (geblak) yaitu diadakan pada saat meninggalnya
seseorang, slametan nelung dino, slametan mitung dina, slametan matang puluh
dina, slametan nyatus, slametan mendak sepisan utawa mendak pindho, slametan
nyewu atau ke seribu harinya, slametan nguwis-uwisi atau selametan untuk
terakhir kalinya.
Upacara selamatan dan pertunjukan tari-tarian tradisional serta
pertunjukan wayang adalah sisa-sisa tindakan keagamaan orang Jawa peninggalan
zaman animisme yang terus dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat
ini.
Selain itu, juga ada sesaji yang ditujukan untuk danyang yang
berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang
atau belik, tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal
dimasa lampau atau tempat-tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung
kekuatan ghaib atau angker dan wingit atau berbahaya. Sesaji berupa makanan
kecil dan bunga mereka berikan agar roh-roh tidak mengganggu keselamatan,
ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu juga untuk
memohon berkah dan perlindungan dari yang mbahurekso agar terhindar dan
terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk
mengganggu keluarganya.
Di daerah Ponorogo misalnya, setiap awal bulan Muharam selalu
diadakan perayaan upacara perawatan dan penjamasan pusaka yang dikenal dengan
Kirab Bupati. Dinamakan demikian karena, pada hari itu, bupati beserta para
punggawanya berkeliling alun-alun kota Ponorogo dengan mengiringi benda-benda
pusaka yang habis dimandikan untuk di bawa ke tempat peletakannya yaitu di
makam Bupati pertama, orang yang babat kota Ponorgo.
Selain itu, larung sesaji di Telaga Ngebel Ponorogo juga masih
aktif diselenggarakan. Untuk alasan pasti diadakannya larung tersebut belum
diketahui oleh penulis namun inti dari upacara ini adalah mengharapkan
keselamatan.
C.
INTERELASI
ANTARA ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM HAL KEPERCAYAAN DAN RITUAL
Proses
Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Terdapat dua pendekatan dalam proses akulturasi budaya jawa dan
islam. Yaitu:
1.
Islamisasi
Kultur jawa
Melalui pendekatan ini budaya jawa diupayakan agar tampak bercorak
Islam baik secara formal maupun substansial. Hal ini diupayakan dengan cara
penggunaan istilah-istilah islam, nama-nama islam, dsb.
2.
Jawanisasi
Islam
Upaya ini dilakukan dengan penginternalisasian nilai-nilai islam
melalui cara penyusupan ke dalam budaya jawa.
Hubungan Antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya pasti memiliki aspek
fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan
terhadap sesuatu yang sacral, yang suci, atau yang gaib. Dalam agama islam
aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga
terdapatlah rukun iman yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai
atau diimani oleh muslim.
Sementara itu, dalam budaya jawa pra islam yang bersumberkan dari
ajaran Hindu terdapat ajaran adanya ajaran para dewata seperti dewa Brahma, dewa Wisnu, dan dewa
Siwa serta dewa-dewa yang lainnya.
Dalam perkembangannya, banyak kepercayaan-kepercayaan animisme dan
dinamisme dalam masyarakat jawa berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan
islam. Pada aspek islam dalam ajaran tauhid islam telah berkolaborasi dengan
berbagai unsure Hindu Budha maupun kepercayaan primitive. Hal ini sebagaimana
sebutan Allah bagi masyarakat jawa yang sering juga dikenal dengan Gusti Allah,
Gusti kang Murbeng Dumadi (al-khaliq), Gusti Ingkang moho Kuwaos (al-qadir)
dsb. Nama-nama ini merupakan campuran dengan nama dari agama lain. Missal kata
Hyang yang berarti dewa. Dalam hal ini, Allah terhayati sebagai pribadi yang
menjadikan, memelihara, memberikan petunjuk, dan member rizki kepada semua
makhluk ciptaan-Nya.
Namun, penghayatan tentang prinsip tauhid itu akan berbeda tatkala
pemahaman tentang ketuhanan itu masuk dalam dimensi mistik bercorak pantheistic[3].
Sehingga dalam islam terdapat al-Hayyu sedangkan dalam istilah Jawa sebagai
Dzat Yang Maha Hidup. Esensi dari segala yang ada adalah hidup itu sendiri.
Penghayatan mistik itu tidak hanya terdapat dalam ajaran agama Hindu tetapi
juga ada dalam tasawuf yang bercorak heterodoks[4]
sehingga dalam mistik jawa, keduanya bertemu.
Berkaitan dengan kepercayaan animism dan dinamisme, kepercayaan
mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena bercampur dengan
penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat[5],
baik benda mati maupun benda hidup. Misalnya kepercayaan terhadap benda-benda
magis, benda-benda pusaka, kuburan-kuburan, petilasan dan sebagainya. Barang-barang,
benda-benda atau orang-orang yang dianggap keramat tersebut dipandang sebagai
penghubung (wasilah) dengan Allah. Oleh karena itu, bacaan doa-doa tertentu
berubah menjadi mantra, ayat-ayat suci Al-qur’an atau huruf-huruf arab menjadi
rajahan yang diyakini memiliki nilai yang sangat berarti, bukan dari makna yang
terkandung didalam ayat-ayat itu melainkan dari daya gaibnya. Demikian juga
al-qur’an tidak dipahami, dibaca, dihayati arti dan maknanya sebagai petunjuk
hidup yang diberikan Allah kepada manusia, tetapi dipandang sebagai azimat.
Kepercayaan seperti itu terutama diperlakukan terhadap al-qur’an cetakan kecil
yang dikenal dengan sebutan al-qur’an stambul (istambul).
Sesuai dengan madzhab ijbary, yang berprinsip dengan kepasrahan,
narimo ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah,
sepertinya budaya jawa sudah terpengaruh dengan prinsip tersebut. Meski
demikian, manusia masih mempunyai kesempatan untuk ikhtiyar namun seringkali
ikhtiyar disini sudah diwarnai dengan kepercayaan-kepercayaan primitive maupun yang
bersumber dari agama Hindu. Dalam budaya jawa juga terdapat hari-hari baik dan
juga hari-hari buruk yang biasa disebut hari na’as. Pada hari na’as ini
sebaiknya orang tidak melakukan perayaan-perayaan seperti pesta perkawinan,
melakukan perjalanan jauh, transaksi dagang dan lain-lain. Sehingga hari na’as
harus dihindari kecuali jika hari na’as itu
sudah tidak dapat dihindari maka harus diadakan upacara-upacara tertentu
untuk menetralisir akibat negative yang ditimbulkan dari hari na’as tersebut. Sehingga
upacara tersebut disebut upacara penangkal. Upacara-upacara dalam agama Hindu
tampak seperti itu yang diwujudkan dalam bentuk sesaji. Sesaji merupakan
warisan budaya hindu sedangkan doa merupakan inti ibadah dalam agama islam.
Keduanya menjadi tradisi dikebanyakan umat islam di jawa.
Dalam ajaran islam maupun hindu juga terdapat makhluk jahat yang
disebut syetan (dalam islam) dan Warta, raksa, Picasa (dalam Hindu) dll.
Kepercayaan jawa terhadap makhluk jahat yang berasal dari agama islam maupun
agama Hindu nampaknya telah saling mengisi. Nama setan, jin, dan raksa telah
dimasukkan sebagai jenis makhluk halus atau roh jahat yang sering mengganggu
manusia dan dapat menjelma dalam bayangan seperti manusia maupun hewan.
Menurut keyakinan islam, orang yang meninggal dunia ruhnya tetap
hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai alam
sebelum memasuki alam akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua ataupun
anak-anak. Kepercayaan tersebut telah mewarnai orang jawa. Hanya saja menurut
orang jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal
dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya atau sebagai arwah leluhur
menetap dimakam (pasareyan). Mereka masih mempunyai kontak hubungan dengan
keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu nyambangi datang
kekediaman anak keturunan.
Roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang atau kerabat disebut
dhanyang, bahureksa, atau sing ngemong. Danyang dianggap sebagai penjaga desa
sehingga muncul upacara bersih desa. Termasuk membersihkan makam disertai
kenduren maupun sesaji dengan maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan
perlindungan.
Disisi lain, atas dasar kepercayaan islam, bahwa orang yang
meninggal dunia perlu dikirimi doa, maka muncul tradisi kirim do’a, tahlilan
tujuh hari, tahlilan 40 hari, seratus hari, satu tahun, dan seribu hari setelah
seseorang meninggal dunia. Doa kepada orang yang meninggal dunia merupakan
anjuran bagi orang islam, sedangkan penentuan hari-hari sebagai saat
pelaksanaan upacara kirim doa lebih diwarnai oleh warisan budaya jawa pra
islam.
Selain itu, interelasi budaya islam dan jawa juga terjadi pada
nama-nama nabi yang dianggap tinggi. Diantaranya menisbahkan nenek moyang
mereka sebagai keturunan dari nabi Adam, menggunakan nama-nama mereka sebagai
nama doa-doa untuk mendapatkan kewaskitan, dan juga dikaitkan dengan hari-hari
na’as dimana hari-hari yang dianggap sebagai hari na’asnya para nabi dilarang
digunakan untuk pelaksanaan acara-acara tertentu, misal mantu.
Para wali yang dianggap sebagai pewaris para nabi juga dipandang
memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa, tidak saja ketika mereka masih hidup
tetapi juga ketika mereka sudah meninggal dunia. Sehingga muncul upacara atau
prosesi ngalap berkah dikalangan orang jawa ketika mereka berziarah kemakam
para walisongo yang memang dalam kenyataan sejarah para wali ini merupakan
tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan islam dijawa. Keyakinan
tentang wasilah untuk menghubungkan doa permohonan kepada tuhan, tidak saja
dikaitkan dengan para nabi khususnya nabi Muhammad melainkan juga para wali.
Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Dalam islam terdapat ritual-ritual sehari-hari dimana ritual
tersebut biasa disebut dengan ibadah. Shalat berarti doa dan puasa yang berarti
suatu bentuk penyucian rohani merupakan dua aspek yang mempunyai pengaruh yang
sangat luas mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang jawa.
Bagi orang jawa, pelaksanaan upacara-upacara sudah bukan merupakan
sesuatu yang asing lagi karena hamper setiap kegiatan yang dilakukannya selalu
diawali dengan adanya upacara. Saat anak masih dalam perut, lahir hingga
meninggalnya, serta upacara yang dilakukan berkaitan dengan aktivitasnya
sehari-hari, missal bagi petani, nelayan maupun para pedagang. Awalnya
upacara-upacara tersebut dilakukan untuk penangkal agar mendapatkan
keselamatan.
Secara luwes, islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu
dengan sebutan kenduren atau slametan. Inti dari upacara ini adalah doa. Selain
itu juga disajikan berbagai hidangan serta makanan yang dibawa pulang mereka
yang hadir dalam slametan tersebut atau biasa disebut dengan berkat.
Makanan ini disediakan oleh penyelenggara (shahibul hajat) berupa tumpeng,
ingkung serta beberapa ubarampe yang lain. Dengan demikian, islam telah
memasuki upacara orang jawa.
Upacara yang ada di jawa diantaranya:
1.
Upacara
tingkeban atau mitoni. Upacara ini dilaksanakan pada saat janin berusia tujuh
bulan dalam perut ibu.
2.
Upacara
kelahiran. Upacara ini dilaksanakan pada saat anak diberi nama dan pemotongan
rambut (bercukur), pada waktu bayi berumur tujuh hari atau sepasaran.
3.
Upacara
sunatan. Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan.
4.
Upacara
perkawinan. Yang ditandai dengan adanya akad nikah.
5.
Upacara
kematian. Dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai
dengan memandikan, mengkafani, menshalati dan pada akhirnya menguburkan.
D.
REAKSI
TERHADAP USAHA SINKRETISASI
Dalam usaha sinkretisasi ajaran-ajaran islam dengan budaya jawa,
terdapat tiga kelompok dimana pada dasarnya ketiga kelompok tersebut berdasar
pada al-qur’an dan hadits. Diantara ketiga kelompok tersebut yaitu:
1.
Kelompok
pertama yaitu mereka yang berusaha mengamalkan ajaran-ajaran islam dengan baik
dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya local terutama yang
dianggap berbau tahayul, khurafat dan syirik.
2.
Kelompok
moderat dimana anggota kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah seorang
da’I atau mubaligh harus menggunakan al-hikmah. Sehingga untuk menghadapi orang
jawa dengan tradisi yang sudah sangat kental bagi mereka tidak boleh
menggunakan cara yang radikal yang justru akan menjauhkan da’I dari obyek
dakwah.
3.
Kelompok
ketiga justru menerima sinkretisme
secara keseluruhan. Yang berpedoman seperti ini diantaranya:
·
Pengikut
Empu Tantular (mereka setuju bahwa orang islam melakukan ritual agama lain. Hal
ini didasarkan pada kayakinan bahwa esensi setiap agama adalah sama);
·
Golongan
yang kurang mendalam pengetahuannya tentang islam sehingga tidak bisa membedakan antara tradisi local dengan ajaran
islam. Sehingga muncul anggapan bahwa tradisi adalah bagian yang tak
terpisahkan dari agama.
KESIMPULAN
Dalam pembahasan tentang interelasi antara budaya jawa dengan islam
selalu saja menjadi perdebatan yang hangat. Hal ini karena adanya pendapat
bahwa ajaran islam dan budaya jawa itu tidak bisa di satukan karena ajaran
islam itu bersifat qath’I dan tidak bisa di rubah lagi. Selain itu juga ada
yang berpendapat bahwa ajaran islam itu masih bisa di interelasi dengan budaya
jawa selama tidak merusak kandungan atau inti dari ajaran islam itu sendiri.
Hal ini bisa di maklumi karena setiap orang itu pasti mempunyai
pendapat yang berbeda dan setiap pendapat itu pasti mempunyai dasar tersendiri.
Tetap perpegang pada ajaran islam yang murni namun tidak menafikan
mengambil manfaat dari sesuatu yang baru. Sebagaimana kaidah ushul yang
berbunyi “Al-muhafadzotu ‘alal qadiimis sholih wal ahdzu bil jadidil ashlah”.
Demikian makalah tentang Interelasi Budaya jawa dan Islam dalam
aspek kepercayaan dan ritual ini kami buat, apabila ada kesalahan kritik dari
pembaca sangat kami harapkan.
Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Prasetyo, Joko tri, Ilmu Budaya Dasar, 1991, Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Tumanggor,
Rusmin, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, 2010, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
El-Hafidy,
As’ad, Aliran-aliran kepercayaan dan kebatinan di Indonesia, 1982, Jakarta:
Ghalia Indonesia
Jamil,
Abdul, dkk, Islam dan Budaya Jawa, 2000, Yogyakarta: gama Media
[1]
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M. A, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,
2010, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 123
[2]
H.M As’ad el-Hafidy, aliran-aliran kepercayaan dan kebatinan di Indonesia,
1982, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 89
[3]
Pantheisme: menganggap bahwa Tuhan dan alam semesta adalah sama
[4]
Dalam KBBI: menyimpang dari kepercayaan resmi, Kamus Global: Bid’ah, Murtad
[5]
Keramat bukan hanya sekedar berarti mulia, terhormat tetapi juga memiliki daya
magis, sebagai sesuatu yang skral bersifat ilahiyah. Missal: cincin, batu akik,
ikat kepala, keris dsb.
Komentar
Posting Komentar