REVIEW BUKU MENUJU MASYARAKAAT KOMUNIKATIF; ILMU MASYARAKAT, POLITIK, DAN POSTMODERNISME MENUJU JÜRGEN HARBERMAS, KARYA F. BUDI HARDIMAN

PENDAHULUAN
Dalam bukunya The Philosophical Discourse of Modernity, Jǖrgen Habermas (kelahiran Jerman, 18 Juni 1929) menyatakan “paradigma kesadaran filsafat” atau yang biasa disebut ‘rasio yang berpusat pada subjek’ merupakan segala pemikiran yang menempatkan masyarakat dan alam sebagai objek. Hal tersebut disebut menyembunyikan kekuasaan. Paradigma ini menganggap bahwa berpikir adalah segala kecenderungan objektivisme dan positivisme yang diterapkan bukan hanya dalam filsasat modern, melainkan juga dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan yang diturunkannya. Pernyataan ini dikemukakan oleh Habermas dalam hubungannya dengan para pemikir postmodern. Pernyataan tersebut merupakan salah satu pendirian Habermas yang paling tegas dan jelas.
Rasio kritis ada sejak zaman Yunani kuno merupakan proyek menyingkirkan mitos-mitos dalam terang logos (Pencerahan). Mitos mereka sebutkan sebagai isapan jempol yang tidak hanya tak masuk akal, tapi juga dalam sejarah menindas masyarakat tradisional. Manakala bertindak dalam teror tabu dan acaman takhyul, masyarakat tradisional itu ditindas oleh mitos. Dengan kritik total atas pencerahan tersebut, Mazhab Frankfurt mengalami kemacetan program. Dan Jǖrgen  Habermas kemudian tampil sebagai pembaharu teori Kritis dan menyuburkan kembali sebuah paradigma baru.
Habermas dan Pergeseran ke Paradigma Komunikasi
Habermas memusatkan diri pada pengembangan teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam Teori Kritis. Teori Kritisnya yang disebut “Teori Tindakan Komunikatif” didialogkan dengan tradisi-tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern. Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas dalam mengatasi kemacetan Teori Kritis sebelumnya.
Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikasi atau tindakan komunikatif. Sehingga bisa dikatakan Habermas mengubah ‘paradigma kerja’ dalam Teori Kritis ke ‘paradigma komunikasi’. Pada tahun 60-an Habermas menyendirikan kritik sebagai kepentingan emansipatoris, tetapi ia tetap mengisyaratkan bahwa kritik dan ilmu-ilmu kritis termasuk praksis komunikasi.
Teori kritis dengan Paradigma Komunikasi
Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham kebebasan-nilai ilmu-ilmu sosial itu keliru dan berbahaya, tapi juga memperlihatkan bahwa tujuan ilmu-ilmu kritis dengan tujuan emansipatorisnya membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan. Ia juga menunjukkan bahwa otonomi kolektif ini berhubungan dengan konsensus bebas dominasi. Dan hingga tahun 1980-an, Habermas mengandaikan konsesnsus semacam itu dapat dicapai dalam sebuah masyarakat yang reflektif (cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi dengan mencapai ‘klaim-klaim kesahihan’ (validity claims).
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan lewat kekerasan, melainkan lewat ‘argumentasi’. Habermas membedakan argumentasi menjadi diskursus / perbincangan (discourse) dan kritik. Diskursuf untuk mencapai konsensus atas kliam kebenran disebut; diskursus teoritis”; untuk mencapai konsensus atas kalim ketepatan disebut “diskursus praktis”; dirkursus untuk mencapai konsensus tentang klaim komprehensibilitas disebut “dirkusuf praktis”. Meskipun dimaksudkan untuk konsensus, komunikasi juga bisa terganggu, sehingga kita tak perlu mengandaikan konsensus.
Teori Perkembangan Masyarakat dengan Paradigma Komunikasi
Habermas sejal awalnya menyatakan bahwa proyek modernitas menyingkirkan dan menindas unsur-unsur komunikatif masyarakat yang disebut sebagai “kerangka kerja institusional” dan “rasionalitas etis-praktis”. Habermas tidak meninggalkan modernitas tetapi ia memperlihatkan bahwa modernitas kapitalis adalah bentuk modernitas yang terdistorsi sebab mereduksi komunikasi pada kerja sosial. Dampak dari reduksi tersebut adalah patologi modernitas antara lain dalam bentuk erosi makna. Habermas menawarkan “model non-selektif” yang memperlihatkan bagaimana sektor-sektor lain harus “dicerahi” untuk menuju masyarakat yang komunikatif.
Habermas mengembangkan teorinya sendiri mengenai perkembangan masyarakat setelah mengkritik materialisme Marx. Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif dan yang menetukan perubahan sosial bukan semata-mata perkembangan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis-etis. Teknologi dan faktor objektif lainnya hanya bisa mempengaruhi masyarakat apabila mereka mengintegrasikannya dalam tindakan komunikatif yang memiliki logikanya sendiri. Habermas lalu memusatkan diri pada prinsip-prinsip organisasi sosial yang memperlihatkan adanya tahap-tahap perkembangan dalam praksis komunikasi.
Masyarakat yang komunikatif mengatur konflik dengan memisahkan moralitas (pandangan tentang kebaikan manusia sebagai manusia) dan legalitas (pandangan tentang kebaikan manusia menurut pelaksanaan hokum), menganut prinsip moralitas yang universal, rasional, pribadi dan formal, serta mengandaikan keyakinan akan konsensus atas klaim kesahihan universal.
Kritik Hibermas atas Mastarakat Dewasa Ini
Habermas beranggapan bahwa kekuasaan tidak semestinya dilegitimasikan, tetapi dirasionalisasikan. Rasionalisasi pada hal ini tidak dalam paradigma kerja, tetapi dalam peradigma komunikatif. Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politis, termasuk mengarahkan perkembangan kemajuan masyarakat.
Habermas memadukan dua paradigma ilmu sosial, yakni “paradigma kehidupan” dan “paradigma sistem”. Pendiriannya adalah, masyarakat jangan hanya dilihat sebagai sistem administrasi dan ekonomi, melainkan juga solidaritas budaya atau komunitas. Dia menyatakan “utopia kerja sosial” telah kehabisan tenaga dan dia berharap dengan hal tersebut masyarakat dapat berubah ke arah komunikatif.
BAB 1
KRITIK ATAS KEBEBASAN-NILAI ILMU-ILMU
Kritik Ilmu Pengetahuan Barat Sebagai Titik Tolak
Habermas bertolak dari pandangan Edmund Husserl, bahwa ilmu pengetahuan mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan terpisah dari praktik hidup sehari-hari. Husserl melontarkan kritik terhadap ilmu pengetahuan modern dalam tiga langkah. Pertama, bahwa ilmu pengetahuan jatuh pada objektivisme, yaitu cara pandang yang melihat dunia sebagai susunan fakta objektif dengan kaitan niscaya seperti hukum yang dapat dideskripsikan secara objektif. Melawan objektivisme itu, Husserl mengatakan bahwa pengetahuan objektif tentang dunia itu berasal dari pengetahuan pra-ilmiah sehari-hari. Atau apa yang dissebutnya Labenswelt.
 Kedua, kesadaran manusia atau subjek ditelan oleh tafsiran objektivistis itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan dunia-kehidupan sehari-hari. Dan ketiga, Husserl menegaskan bahwa teori yang dihasilkan berdasarkan usaha pembersihan pengetahuan dari kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami dalam tradisi pemikiran barat.
Konsep Teori dalam Ontologi dan Emansipasi melalui Teori
Menurut Habermas dasar ontologi ialah melalui kontemplasi ,filsuf memisahkan unsur yang tetap dari unsur yang berubah-ubah. Usaha untuk menemukan tatanan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi. Yang ingin dicapai ontologi adalah sebuah penjelasan objektif tentang seluruh realitas atau dengan kata lain, teori murni. Dalam filsafat, teori murni tentang kosmos atau ontologi mengatikan fungsi khatarsis (pemurnian jiwa) dalam agama misteri. Dalam masyarakat Yunani, teori lalu bersifat emansipatoris.
Menurut pandangan Habermas, yang ingin dicapai ilu pengetahuan adalah sebuah penjelasan ilmiah yang bersih dari kepentingan subjektif penelitinya. Dengan kata lain, yang dicari adalah teori murni. Jadi meskipun meninggalkan ontologi, dalam dirinya ilmu pengetahuan tetap membawa konsep teori murni dari ontologi. Konsep itu, menurut Habermas adalah sebuah ilusi yang berbahaya. Mengapa? Sebab dengan menyembunyikan kaitan pengetahuan dan kepentingan dan mengklaim dirinya objektif, ilmu pengetahuan justru melaksanakan kepentingannya. Kepentingan ini luput dari kesadaran para ilmuwan itu sendiri, dan tugas dari teori kritis.
Tiga Kepentingan Kognitif
Habermas membedakan ilmu pengetahuan ke dalam tiga cakupan.  Pertama ilmu-ilmu empiris-analitis (ilmu-ilmu alam), sebelum seorang peneliti dalam ilmu-ilmu ini mendekati objek penelitinya, dia sudah mengambil suatu sistem acuan lebih dahulu untuk menetapkan aturan guna menyusun maupun menguji teori-teorinya. Pengandaiannya adalah bahwa teori yang sahib adalah yang terdiri dari pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi hipotetiko-deduktif. Misal, “ Bila X berlaku makan I terjadi”. Oleh karena itu dalam menjalankan penelitian dan merumuskan teori , ilmuwan sudah diarahkan oleh kepentingan teknis untuk menguasai proses yang dianngap objektif.
Kedua adalah ilmu-ilmu historis-hermeneutis (ilmu-imu sosial kemanusiaan). Pemikiran ini menacu pada pemikiran Dilthey dengan meodr hermeneutisnya. Ilmu-ilmu ini berusaha memahami makanqa(Sinnverstehen) dan bukan menjelaskan (Erklaren) fakta yang diobservasi. Teori dalam ilmu ini tidak disusun secara deduktif berdasarkan sukses kontrol teknis, melainkan berdasarkan tafsiran , dengan cara yang sama dalam menafsirkan teks.Penelitian hermeneutis diarahkan oleh kepentingan yang praktis untuk mencapai saling pengertian atau konsensus.
Ketiga, ilmu-ilmu kritis. Dasarnya adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mazhab Frankfurt. Ilmu ini mejelaskan gejala sosial sebagai sebuah keniscayaan seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu kritis berusaha menjelaskan yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis , yang pada dasarnya dapat diubah.Habermas menyebut refleksi diri sebagai contoh metode ilmu ini, dan menunjuk kritik-ideologi. Marxist dan psikoanalisis Freud sebagai pelaksanaan metode tersebut.Refleksi-diri merupakan kritik yang dapat membebaskan orang yang melakukan refleksi dari hubungan ketergantungan.
Konsep Habermas tentang Pengetahuan
Jika Husserl ingin mengembalikan ilmu-ilmu pengetahuan pada pemahaman tradisional tentang teori, Habermas justru menunjukan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan pada pemahaman tradisional tentang teori, Habermas justru menunjukan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan jatuh pada saintisme karena ia secara implisit menganut paham teori murni yang dikembangkan oleh ontologi itu. Karena teori murni adalah semu, maka ilmu pengetahuan menyembunyikan kaitan pengetahuan dan kepentingan lewat kesemuan itu. Habermas lalu menunjukan paham teori murni itu sebagai bentuk kesadaran palsu dalam pengertian Marxist.
BAB 2
RASIO DAN DIGMATISME DALAM KEBUDAYAAN ILMIAH
Jǖrgen  Habermas menjelaskan bahwa apa yang disebut ”Kebudayaan Ilmiah” itu meliputi konstelasi tertentu dari apa yang disebut “dogmatism”, “rasio”, dan “keputusan”.Konstelasi itu dihasilkan lewat sejarah kebudayaan Barat itu sendiri yang memuncak dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta diterapkan dalam berbagai sector kemasyarakatan
1)      Masalahnya: Kesulitan Memebedakan antara yang “Teknis” dan yang “Praktis”
Pergeseran apakah yang terjadi lewat kemajuan ilmu dan teknologi? Habermas menjawab bahwa rasio tidak lagi sebagai kemampuan kognitif manusia untuk membebaskan diri dari dogmatism, melainkan sebagai kemampuan kognitif untuk memanipulasi alam secara teknis. Bersamaan dengan itu terjadi juga pada pengertian “keputusan”. Pada mulanya, keputusan adalah perwujudan kepentingan emansipatoris rasioke dalam praksis: keputusan didasari oleh rasio yang memeberi pengarahan moral menuju kedewasaan, tetapi dalam teknologi, keputusan mengalami otomatisasi (mesin berlaku sebagai otomatisasi keputusan) dan dipisahkan dari pertimbangan etis. Keputusan dipisahkan dari manusia dan diserahkan kepada mesin dan system yang bergerak sendiri.
2)      Rasio dan Kepentingan Pencerahan
Pokok persoalan di atas, yaitu pemutlakan hal-hal teknis pada kehidupan sosial yang bersifat praktis, pengibirian kepentingan emansipatoris rasio, dogmatism ilmiah dan rutinisasi keputusan dalam teknologi adalah persoalan yang dicakup dalam kesadaran positivistic kebudayaan ilmiah. Soal positivism ini, menurut Habermas positivism harus direfleksikan dengan menelusuri kembali asal usul sejarahnya. Itulah yang menjadi minat umum Mazhab Frankfurt, yakni pendekatan historis-epistemologis terhadap masalah ini.
Sepaham dengan Adorno dan Horkheimer dalam Dialektik der Aufklarung, dia bahwa melihat ide “pencerahan” adalah akar-akar pengembangan rasio ini. Habermas menyelidiki refleksi tiga filsuf yang sangat tajam membahas soal ‘dogmatisme”, “rasio” dan “keputusan” pada zaman Pencerahan itu.Konstelasi ketiga istilah itu dalam zaman Pencerahan dapat disebut “rasio yang terlibat”. Ketiganya adalah Paul thiry d’Holbach, Fichte dan Marx.
3)      Pemisahan “Rasio” dan “Keputusan” dalam Kebudayaan Ilmiah
Positivisme dalam kebudayaan ilmiah menurut Habermas beranggapan bahwa soal praktek tidak bisa didiskuikan, oleh karena itu harus diputuskan begitu saja. Soal praktis diaggap berada di luar kebenaran yang dicari rasio, maka dalam positivism, “keputusan” disingkirkan dari cakupan rasio, yakni rasio dalam arti “ penguasaan teknis” itu. Bersamaan dengan itu, “nilai”, sesuatu yang yang mendasari pengambilan keputusan dianggap irasional. Akibatnya, menurt Habermas, sangat menggelisahkan: kemajuan control teknis melalui ilmu-ilmu empirisdalam kebudayaan ilmiah ditimpali dengan pertumbuhan irasionalitas dalam bidang praksis. Dalam praksis, decision (keputusan) menjadi decisionism: pandangan bahwa segala sesuatu yang menyangkut praktis harus diputuskan begitu saja tanpa banyak mempersoalkan nilai dan tujuan yang lebih tinggi daripada sekedar kegunaan teknisnya.
4)      Tugas Rasio kritis dalam kebudayaan Ilmiah
Habermas mengatakan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan dewasa ini sanggup melakukan control, tetapi tidak sanggup mengontrol ketidakdewasaan dan oleh karena itu ketidakwarasan tetap tidak terkendali dan tidak teratasi. Habermas tidak menyangsikan prestasi ilmu-ilmu pengetahuan, sebab ilmu-ilmu memang telah berhasil mengontrol proses alamiah atau proses objektif yang semula “irrasional”. Menurut Habermas, hingga taraf tertentu , kritik-ideologi ala positivisme memang telah membantu umat manusia untuk mencapai kedewasaannya. Akan tetapi, bila prestasi itu menjadi positivisme yang mau mendominasi segenap kehidupan di bawah rasionalitas teknologis yang tidak mengakui keterkaitan teori dan praksis, maka prestasi itu justru membahayakan hidup manusia itu sendiri. Masyarakat dan kebudayaan terancam perpecahan ke dalam dua kelas : kaum rekayasawan sosial dan para penghuni institusi-institusi yang menindas. Menelanjangi ketikwarasan ini adalah tugas rasio kritis dalam kebudayaan ilmiah.
5)      Refleksi
Yang terjadi dalam positivism adalah penolakan atas refleksi mengenai peranan ilmu dalam kehidupan sosial dengan slogan kebebasan nilai dan oleh karena itu, Habermas merumuskan metode Teori Kritisnya sebagai “refleksi-diri” untuk memperlihatkan bahwa positivism juga sebuah dogmatism dalam bentuk baru.
BAB 3
PSIKOANALISIS SEBAGAI KRITIK
Pandanagan Habermas psikoanalisis Freud ini menampilkan banyak segi dari konsepnya tentang Teori Kritis sekitar tahun 1960-an. Dalam seluruh rangkaian karangan yang terdapat dalam Knowledge and HumanInterest, berusaha menunjukan bahwa pengetahuan kritis dalam metode psikoanalisis itu bukanlah pengetahuan yang netral atau kontemplatif, melainkan pengetahuan yang didorong oleh kepentinagan rasio itu sendiri, yaitu kepentingan emansipatoris.
Refleksi diri metodis gaya psikoanalisis itu sendiri menjadi metode Habermas dalam buku Knowledge and Human Interest untuk mengangkat taraf kesadaran reflektif cara berfikir positivistic berbagai metode ilmiah yang diandaikan begitu saja, dengan tujuan memperlihatkan kaitannya dengan konteks kehidupan manusia. Beberapa ciri refleksi-diri yang sudah disebutkan diatas yaitu keterkaitannya dengan kepentingan emansipatori, keterlibatan teoritikus dalam kenyataan yang direfleksikannya, dan kompetisi teoritikus berkaitan dengan beberapa ciri Teori Kritis yang sudah dirumuskan sejak Horkheimer, yakni bersifat memihak, historis, dan terkait dengan praksis.
Analisis Habermas atas teori Marxis dan beberapa gejala masyarakat kapitalis dewasa ini menggunakan beberapa pengandaian dasar dari refleksi-diri, yaitu penelitian genetis, upaya untuk memperlihatkan ciri-ciri patologis dan pemberian pemahaman baru yang lebih mendalam dan seimbang.
BAB 4
MARXISME SEBAGAI KRITIK
Sebuah teori yang kritis harus bersifat historis, terlibat engan dengan krisis yang terjadi pada zamannya. Itu terlihat usaha Marx sendiri dalam era penghancuran metafisika, lalu juga dalam usaha Marx Horkheimer dalam era saintisme dan positivisme. Teori kritis memilikistatus metodologis yang berdiri dalam keteganagan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Seperti filsafat, teori kritis mendorong refleksi-diri dan memeberikan aspek normative pada realitas sosial , tetapi di dalam pihak, seperti ilmu pengetahuan, ia juga memiliki rigorisitas metodis untuk mengetahui aspek empiris realitas sosial.
Akhirnya, pengetahuan yang berdiri di antara filsafat dan ilmu pengetahuan ini memihak pada usaha emansipatoris, baik dalam bentuk sruktur pengetahuan, maupun struktur sosial dan oleh karena itu, ia tidak pernah kontemplatif murni atau netral, melainkan terkait dengan praksis.
BAB 5
TEORI RASIONALISASI MASYARAKAT
Kritik Awal Habermas Atas Teori Rasionalisasi
Konsep “rasionalitas” dipakai oleh Weber untuk berbagai konteks, seperti : segi-segi tindakan tertentu, keputusan, dan pandangan-dunia sitematis. Rasionalitas memberi ciri khusus pada konteks-konteks itu. Rasionalitas disebut Weber Zweckrationalitat “rasionalitas-tujuan”. Cirinya formal, sebab orang yang bekerja dengan rasionalitas itu hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan, dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai isi kesadaran. Kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis dan religius itu oleh Weber disebut Wertrationalitat “rasionalitas-nilai”. Cirinya substantif, sebab orang yang bertindak dengan rasionalitas ini mementingkan komitmen rasionalnya terhadap  nilai yang dihayatinya secara pribadi.
Konsep rasionaliotas Weber tidak khas dimiliki oleh manusia Barat, melainkan ciri yang melekat pada masyarakat modernitas. Artinya dalam masyarakat tradisional, konsep itu belum berkembang, maka juga tidak tidak meresapi tingkah laku sosial. Apa yang disebut Weber sebagai “rasionalisasi” itu adalah proses perubahan yang dihasilkan oleh meluasnya rasionalitas  tersebut. pengertian umum “rasionalisasi adalah kegiatan sosial ekonomi masyarakat modern, lewat proses ini, dilakukan lewat keputusan dan tindakan rasional sebagaimana tampak dalam birokrasi dan administrasi.
Habermas memusatkan diri pada  “tindakan sosial”, suatu objek yang memilik ciri-ciri mendasar sekaligus dapat di observasi secara empiris. Dia bertolak dari distingsi yang ditemukannya dalam “praksis”.
Praksis adalah tindakan dasar manusia  dalam dunia luar dirinya, dalam alam atau mesyarakat. Habermas membedakan dua dimensi dalam praksis hidup manusia. Kedua dimensi itu adalah “kerja” dan “interaksi” atau”komunikasi”. Selanjutnya Habermas memebedakan dua macam tindakan, yaitu: “tindakan rasional-bertuan” (tercakup dalam dimensi kerja) dan “tindakan rasional-bertujuan” (terakup dalam dimensi komunikasi)
Habernas mengkritik teori rasionalisasi Weber dan kemudian konstruksinya dalam Teori Kritis Marcuse dan kawan-kawan bahwa mereka memahami “rasionalitas” secara sempit, sebagai rasionalitas-tujuan. Model ini menurut Habermas hanya berlaku terhadap alam atau proses-proses objektif, dan tidak untuk kenyataaan sosial yang bersifat intersubjektif. Rasionalisasi dalam dimensi komunikasi macam ini mengandaikan model rasionalitas lain yang terwujud dalam tindakan kamunikatif.
Penilitian Kembali Teori Rasionalisasi Weber: Menemukan Konteks Tradisi Konsep “Rasionalitas” Menurut Weber.
Habermas mengatakan bahwa Weber, Maarx, Horkheimer dan Adorno menyamakan rasionalisasi kemasyarakatan dengan perluasan rasionalitas instrumental dan strategis. Menurut Habermas, rasionalisasi orientasi-orientasi tindakan dan struktur-struktur dunia-kehidupan sosial-budaya tidak sama dengan perluasan rasionalitas-tujuan.
Pandangan tentang kemajuan teoritis ilmiah di abad ke-19, diubah menjadi pandangan tentang evolusi alamiah spesies. Menurut Habermas, dalam evolusionisme, tema rasionalisasi diubah menjadi evolusi sosial. Evolusionisme mengulangi lagi kekeliruan filsafat sejarah. Yaitu menarik kesimpulan normatif-moral dan kemajuan-kemajuan evolusioner (naturalistic fallacy). Habermas berpendapat bahwa Weber adalah seorang pemikir klasik yang berhasil melepaskan diri dari cacat-cacat asumsi filsafat sejarah dan evolusionisme ini.
Kritik pertama ditujuakan pada determinisme evolusioner yang beranggapan bahwa  masyarakat mengandung hukum-hukum perkembangan evolusioner. Weber dipengaruhi tradisi yang kemudian membedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan, tetapi ironisnya Weber menganut asumsi yang non-historis untuk konsep rasionalisasinya. Kritik kedua ditujukan pada naturalisme etis yang berpandangan bahwa kemajuan alamiah adalah juga kemajuan moral. Kritik ketiga ditujukan pada universalisme yang menganggap perkembangan sosial itu unuversal. Kritik keempat adalah terhadap rasionalisme dalam filsafat sejarah yang menganggap ilmu dan teknologi mengahsilkan rasionalisasi.
Munculnya Struktur-Struktur Kesadaran Modern: Rasionalisasi Kebudayaan
Dengan meminjam pembedaan analitis dari teori sistem Parsons, Habermas berpendapat bahwa rasionalisme Barat menyebar dan merasuki tiga segi kehidupan sosial, yaitu : masyarakat, kebudayaan dan kepribadian.
Weber, lalu membedakan rasionalitas dalam dua segi: efektifnya suatu sarana dan tepatnya suatu tujuan, Habermas menyebut masing-masing rasionalitas instrumental yang bersifat formal dan rasionalitas pilihanyang bersifat substantif dan strategis. Weber masih memberikan segi rasionalitas yang ketiga yang berorientasi pada nilai, yaitu: rasionalitas nilai yang bersifat normatif. Ketiga rasionalitas ini, menurut Habermas bersifat praktis, berkaitan dengan tindakan.
Dalam studi perbandingannya atas agama-agama dunia, Weber meniliti tiga agama esar dalam kaitannya dengan rasionalisasi kebudayaaan, yaitu: Konfusianisme/Taoisme, Hindhuisme/Buddhisme dan Yudaisme/Kristen. Weber berpendapat semua agama bertitik tolak pada masalah dasar yang sama yaitu ingin mewujudkan kepentingan rasional akan keseteraan material dan ideal.
Rasionalisasi yang muncul dari tradisi Yahudi/kristen (dan filsafat Yunani) di Barat berciri universal dalam arti melekat pada pemahaman modern tentang dunia yang akan dibawa serta dalam proses modernisasi.
Modernisasi sebagai Rasionalisasi Kemasyarakatan
Menurut Weber struktur-struktur kesadaran modern paling jelas terwujud secara kemasyarakatan dalam ekonomi kapitalis dan negara modern. Proses institusionalisasi itu memerlukan: pengintregasian tindakan rasional bertujuan ke dalam proses produksi, lingkungan ekonomis yang dapat dikalkulasi untuk bisnis kapitalis, sistem hukum dan administrasi negara yang menjamin lingkungan ekonomis itu, dan aparat-aparat negara yang memberi sanksi-sanksi hukum. Habermas menegaskan bahwa institusionalisasi ini tak lain dari penetapan subsistem-subsistem tindakan-rasional bertujuan dalam bentuk perusahaan kapitalis dan lembaga pemerintah modern.
Weber lalu menunjukkan bahwa rasionalisai “dari atas” berkaitan dengan etika Protestan tentang panggilan hidup. Menurut etika itu, sukses seseorang dalam hidupnya bukanlah sarana untuk mencapai keselamatan. Melainkan tanda lahir untuk memastikan adanya rahmat Allah yang menyelamatkan. Menurut Habermas, etika Protestan menjadi kondisi niscaya tumbuhnya basis motivasional untuk tindakan rasional-bertujuan dalam medan kerja sosial.
Hilangnya Makna dan Kebebasan
Menurut Weber, etika Protestan hanya menyiapkan kondisi –kondisi awal untuk mayarakat kapitalis, namun etika ini tidak bisa menjaga stabilitasnya sendiri. Etika itu kemudian terkikis dan diganti dengan utilitarianisme yang menurut Habermas, tak lain dari ajaran moral semu mengenai rasionalitas-tujuan.
Rasionalisasi kebudayaan telah menyebabkan struktur-struktur kesadaran terdiferensiasi ke dalam bidang-bidang nilai kultural yang otonom: kognitif, etis-normatif dan ekspresi. Weber berpendapat bahwa bidang-bidang kesadaran ini terwujud dalam aturan-aturan hidup yang antagonistis. Tingkah laku birokratis menyingkirkan makna-makna justru melalui asketisme rasional; dan menurut Weber sendiri, asketisme rasional macam itu dalam masyarakat kapitalis berhubungan dengan konsumerisme.
Habermas berpendapat bahwa model rasionalisasi Weber harus di rekontruksi agar bisa dilihat dan dinilai realisasi rasionalisasi dalam masyarakat kapitalis modern yang menghasilkan ciri-ciri patologis.
Teori Rasionalisasi Habermas
Weber mengembangkan sebuah model selektif rasionalisasi kapitalistis yang mengandaikan rasionalitas sebagai rasionalitas tujuan. Model ini berlaku dalam modernisasi, proses rasionalisasi kemasyarakatan. Sebagai sosiolog, Weber memang berusaha memaparkan realitas sosial apa adanya, tetapi bagi Habermas pemaparan macam itu justru menunjukkan kesempitan pendekatan. Pertama, Weber menyamakan masyarakat rasional dengan kapitalisme. Kedua, Weber tak berhasil melepaskan diri dari pengaruh filsafat kesadaran yang mempertentangkan subjek dan objek, dan dengan cara demikian menyamakan rasionalitas tujuan dengan rasionalitas sebagai keseluruhan.
Habermas lalu mengusulkan sebuah model nonselektif untuk rasionalisasi masyarakat. Model ini dikatakan bersifat “nonselektif” karena mau melukiskan seluruh perkembangan yang mungkin untuk realisasi struktur kesadaran modern. Habermas mulai dengan menjelaskan “hubungan-hubungan pragmatis-formal” manusia, yaitu dengan kenyataan objektif (misalnya alam), dengan kenyataan sosial dan dengan kenyataan subjektif (dirinya sendiri).
Bagaimanakah sebuah modernisasi yang utuh? Habermas mengajukan tesis tentang pola rasionalisasi yang utuh yang disebut pola “nonselektif”. Keseimbangan akan dicapai bila bidang-bidang nilai kultura; itu diinstitusionalisasikan secara seimbang sehingga mencegah dominasi salah satu bidang.
Refleksi dan Relevansi
Salah satu maksud praktis dari Teori Kritis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Teori rasionalisasi Weber mendapat kedudukan yang penting dalam proyek Teori Kritis untuk menyusun sebuah teori perkembangan masyarakat.
Habermas telah membuka dimensi yang lebih luas untuk proyek rasionalisasi masyarakat. Modernisasi kapitalis berjalan timpang karena mengutamakan rasionalisasi dalam bidang subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan dan mengesampingkan rasionalisasi di bidang kerangka-kerja institusional atau komunikasi.
Ilmu dan teknologi yang dicurigai sebagai bentuk-bentuk penindasan oleh para pendahulunya justru dilihat sebagai faktor –faktor penting yang mengemansipasi masyarakat dari kendala-kendala alamiah dan proses-proses objektif. Hanya Habermas memberi peringatan bahwa semua ini harus dilancarkan secara seimbang dan utuh dengan pengembangan di bidang hukum, moralitas, erotisme dan seni.
Skema rasionalisasi masyarakat yang disarankan Habermas kiranya merupakan sebuah konstruksi normatif-paradigmatis yang bisa dimanfaatkan untuk menyusun sebuah strategi kebudayaan. Rasionalisasi sebagai “proyek Pencerahan” belum selesai di dunia Barat, lebih lagi di negara-negara yang baru mulai dengan modernisasi. 
BAB 6
TEORI EVOLUSI SOSIAL
Kritik Atas Pengandaian-Pengandaian Materealisme Sejarah
“Kerja Sosial”: Sebuah Konsep yang Tidak Memadai 
Dua konsep kunci untuk memahami materialisme sejarah menurut Habermas adalah kerja sosial dan sejarah spesies. Sudah sejak awal kritik-kritiknya terhadap Marxisme ortodoks, tetapi juga terhadap Mazhab Frankfurt sendiri, Habermas membuat distingsi yang radikal mengenai praksis. Praksis adalah tindakan dasar manusia sebagai spesies. Ada dua macam praksis: kerja dan komunikasi.
Menurut Marx, apa yang membedakan manusia dari hewan lain adalah kerja yang diorganisasikan secara sosial. Habermas berpendapat bahwa jika dalam proses produksi tindakan strategis menjadi penting, dalam distribusi hasil-hasilnya yang terpenting adalah tindakan komunikatif untuk mencapai pemahaman timbal-balik melalui bahasa  dalam bentuk norma-norma yang diterima bersama. Sistem yang mengatur proses kerja sosial dan distribusi hasil-hasilnya dikenal dengan “ekonomi”.
Habermas menemukan ciri komunikatif pada peran sosial. Dalam peran sosial diandaikan tiga hal: pertama, para partisipan interaksi dapat mengandaikan perspektif para partisipan lainnya, tapi juga dapat menukar kedudukannya menjadi pengamat; kedua, para partisipan interaksi memiliki cakrawala waktu yang melampaui konskuensi tindakan langsung; ketiga, motif-motif tindakan partisipan dikendalikan lewat mekanisme sanksi-sanksi. Konsep-konsep antropologis dasar dari materialisme sejarah harus dilengkapi dengan konsep komunikasi sosial. Kategori produksi tidak memadai tanpa kategori sosialisasi.
Konsep Sejarah Spesies
Habermas berpendapat bahwa Marx mengandaikan bahwa melalui kerja sosial, pada saat yang bersamaan manusia menghasilkan hubungan-hubungan hidup atau masyarakat dan sejarah. Kerja sosial itu dihubungkan oleh Marx dengan sejarah manusia sebagai spesies.
Habermas melihat ada sesuatu yang bisa diterima dalam pandangan Marx mengenai kriteria perkembangan masyarakat. Marx mengaitkan “pembagian kerja sosial” dengan proses diferensiasi sistem dan integrasi subsistem-subsistem tertentu secara fungsional pada taraf yang lebih tinggi. Menurut Habermas, Marx tidak mengukur perkembangan masyarakat menurut kompleksitasnya. Dia mengukur dengan tahap perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dan kematangan bentuk hubungan sosial.
Dalil Superstruktur dan Dialektika Materialistis
Habermas berusaha memeperlihatkan bahwa konsep kerja sosial dan sejarah spesies belum memadai untuk melihat perkembangan masyarakat. Menurut habermas, ciri deterministis materialisme sejarah paling jelas dalam pengandaian dasar Marx sendiri yang disebut “dalil superstruktur” dan “dialektika kekuatan-kekuatan dan hubungan-hubungan produksi”.
Marx memandang ada dua segi dalam masyarakat yang bisa dibedakan secara analitis, yaitu: struktur ekonomi masyarakat yang merupakan totalitas hugungan-hubungan produksi dan struktur-struktur hukum, politis, kesadaran sosial, intelektual.
Perkembangan teknis tidak selalu menghasilkan tantangan evolusioner. Habermas membedakan potensi pengetahuan yang ada  dan penerapan pengetahuan ini. Habermas berpendapat bahwa lewat kerangka-kerja institusional sebagai pemecah masalah. Maslah disini adalah bagaimana kerangka-kerja institusional baru itu bisa muncul. Jwaban materialisme sejarah adalah: lewat konflik sosial, perjuangan kelas, gerakan-gerakan sosial, dan  konfrontasi-konfrontasi politik. Habermas mengusulkan jawaban lain: manusia sebagai spesies belajar tidak hanya dalam dimensi pengetahuan teknis yang menentukan perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, melainkan juga dlam dimensi kesadaran praktis-moral yang menentukan struktur-struktut interaksi.
Rekonstruksi Habermas tentanag Evolusi Sosial
Konsep materialisme sejarah  tentang rentetan perkembangan cara-cara produksi sebetulnya mempermudah menjelaskan evolusi sosial. Akan tetapi Habermas menilai konsep ini tidak memadai karena tidak dapat mencakup segi-segi komunikatif. Habermas mengartikannya sebagai inovasi-inovasi yang menjadi mungkin melalui tahap-tahap proses belajar yang dapat disusun menurut logika perkembangan dan mengintitusionalisasikan tahap-tahap baru dari proses belajar masyarakat.
Habermas berpendapat bahwa prinsip-prinsip organisasi itu dapat dilihat pada inti institusional (misalnya: kekerabatan, negara, ekonomi) yang menentukan bentuk integrasi sosial yang dominan.
Jika konflik tidak ditangani dengan paksaan atau dengan cara strategis, konflik diatasi dengan konsesus dan dalam keadaaan moral pelaku dan sistem hukum serta moral masyarakat tampil.
Habermas menerima asumsi Marx bahwa sejarah berjalan menurut logika perkembangan tertentu, hanya dia tidak setuju bahwa teknologi dan ekonomi menjadi motor perkembangan sejarah. Kapitalisme hanyalah sebuah kasus dalam evolusi sosial; dan dalam kasu itu, prinsip organisasi kapitalis memungkinkan ekonomi dan teknologi mengatur interaksi sosial. Habermas mengutamakan peranan struktur-struktur komunikasi sosial dalam proses perubahan masyarakat.
Refleksi
Tidak perlu diulang di sni bahwa Habermas tidak menyutujui anggapan bahwa ekonomi dan teknologi merupakan ‘faktor penentu’ perubahan sosial. Bahwa dalam masyarakat kapitalis, ekonomi, dan teknologi menentukan cara produksi sosial sehingga juga mempengaruhi interaksi sosial tidak berarti bahwa keduanya menjadi penentu perubahan sosial.
Habermas berpendapat bahwa “basis” masyarakat itu berubah-ubah, dan tifak selalu ekonomi seperti dikira Marx. Secara lebih fundamental lalu kiranya juga bisa dikatakan bahwa sesuatu yang seperti “basis” dalam pandangan Habermas adalah komunikasi sosial itu sendiri yang berakar pada dunia-kehidupan sosial yang berkembang dan berubah dalam sejarah.
 mata kuliah SosHuk, oleh: Ahmad Marzuki, Syafiul Anam

Komentar

HEAVEN

MANAJEMEN KONTEMPORER

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

GERAK PRESESI DAN GERAK NUTASI SUMBU BUMI