keluarga kedua


Saat itu, usianya masih 21 tahun. Keinginannya belajar masih cukup kuat namun ketakutan ayahnya membuat dirinya harus menikah diusia dini. Ayahnya takut jika menolak lamaran dari seorang pemuda yang menurut beliau cukup memenuhi prasyarat diterimanya seseorang sebagai seorang suami, putrinya akan sulit untuk mendapatkan lelaki yang setara dengan laki-laki pertama itu lagi. Akhirnya dengan berat hati, fadhil tidak mengikuti saran bu nyainya untuk hafalan al-Qur’an. Meski demikian, bu nyai tetap berharap, Fadhil masih tetap mau menghafalkan al-qur’an meskipun tidak lagi hidup di pondok pesantren.
Pernikahan itu semata-mata karena permintaan orang tuanya. Dia memang anak penurut. Setelah menuruti harapan orang tuanya untuk tidak kuliah, dan kini dia harus mengikuti keinginan orang tuanya untuk menikah dalam usianya yang masih belia. Belum terfikirkan olehnya seperti apakah menikah itu, apa kewajiban dia setelah menikah. Apa perubahan yang bakal harus dia lakukan. Untungnya pria yang saat itu menjadi calon pendamping hidupnya, telah mengenyam pahit manisnya dunia. Sehingga seperti kakak yang mengajari adiknya, sejak pertama ketemu, lelaki itu atau yang biasa disapa dengan nama Fauzi, selalu menegur Fadhil akan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan atau yang sebaiknya tidak dilakukan.
Hari itu, saat Fadhil menjahit pakaian di dalam rumahnya, tiba-tiba datang seorang pria. Jangkung, dan menakutkan. Seseorang yang tak mudah memberikan senyumnya kepada sembarang orang.
“Assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam, mari silahkan masuk..”
“terima kasih”
“maaf, mau cari siapa ya???”
“Ehm… Bapaknya ada neng??”
“bapak lagi ke pasar, mungkin nanti siang baru pulang”
Mendengar bahwasannya bapak Fadhil tak ada di rumah, Fauzi bingung harus memulai perkataan dari mana dan akhirnya secepatnya dia mengundurkan diri dan bergegas ke pasar untuk langsung menemui ayah Fadhil. Sesampainya di pasar tepat didepan ayah Fadhil, dia langsung mengutarakan kehendaknya.
“bapak, saya ingin menggantikan bapak untuk bertanggung jawab atas diri putrid bapak, mohon sekiranya bapak berkenan”
Tanpa basa-basi sedikitpun, ayah Fadhil menjawab, “saya cukup mengiyakan selama putri saya mau menerimamu, jadi silahkan kamu bertanya sendiri akan permasalahan ini kepada putriku”.
Mendengar jawaban bapak yang sudah sedikit renta itu, Fauzi sangatlah bahagia dan secepatnya meminta undur diri. Fauzi kembali kerumah Fadhil untuk langsung menanyakan pendapat Fadhil akan keinginannya itu.
“umurku masih seumur jagung, tak ku punya bekal ilmu yang cukup tuk memulai mengarungi samudera. Namun, ku percaya, bersamamu, bekal itu akan bisa terpenuhi bersama-sama, meski mungkin, akan penuh rintangan yang menghadang, dan ku harap, engkau bisa sabar menjadi imam terbaik bagiku dan juga bagi putra-putriku kelak”.
Hari pernikahan ditentukan, dua insan yang belum pernah kenal sebelumnya, harus hidup bersama-sama dalam satu dunia baru dengan ikatan pernikahan.
Banyak rintangan yang mereka rasakan. Dua keluarga, orang tua Fauzi dan juga orang tua Fadhil yang awalnya cukup kekeh dengan perjodohan ini, tak semulus dan berjalan seperti yang dibayangkan. Keingina kedua keluarga yang mengahrapkan putra dan putrinya hidup bersama mereka, menimbulkan kesenjangan antara dua keluarga ini. Permasalahan demi permasalahan muncul karena tiadanya satu kata antara dua keluarga tersebut. Namun, seperti itulah perjuangan. Tak akan selamanya manis. Pasti kan selalu ada badai maupun topan yang menimbulkan ombak yang besar.
Cobaan tidak hanya datang dari kedua keluarga itu saja. Namun, tetangga serta sanak saudara seakan ikut menyulut api perpecahan itu. Omongan demi omongan yang mampu membuat panas telinga selalu terdengar, meski berat Fauzi dan Fadhil masih mampu menjaga kesucian ikatan pernikahan mereka. Meskipun tampak banyak permasalahan, pada hakikatnya keluarga mereka cukuplah bahagia. Hal itu hanya bisa dirasakan oleh orang-orang tertentu saja. Seorang anak wanita lahir dari pernikahan mereka, meski sedikit menyatukan kerenggangan yang ada namun tetap saja belum mampu menyatukan kekeluargaan mereka.
Fauzi dan Fadhil hanya bekerja sebagai wiraswasta namun pernikahan mereka sangatlah membawa berkah. Banyak yang tidak suka dengan bersatunya mereka berdua. Hanya seseorang yang sangat iri dengan kehidupan mereka, Ni’mah yang tidak lain adalah adik Fadhil sendiri. Dia sering menggumam sendiri, “sebenarnya apa yang dilihat oleh orang-orang, sepasang suami istri yang satu sama lain saling menghormati, menghargai, selalu ada musyawarah mufakat, masih saja digunjingkan yang tak sedap”.
Ni’mah juga sering berfikir bahwa orang-orang yang suka menggunjing itu pada dasarnya hanyalah iri dengan keluarga Fauzi dan Fadhil, yang mana mereka tak mampu mengejar kebahagiaan hakiki yang tersimpan dari buah pernikahan dua insane yang tak pernah saling kenal sebelumnya.
Flash back….
Fauzi saat muda terkenal sebagai seorang pemuda yang bertanggung jawab dan tidak gampang lirik sana-sini. Meskipun banyak wanita yang mengejarnya, dia hanya acuh tak tersentuh. Begitu juga dengan Fadhil. Meski banyak pemuda yang menginginkannya, ia tetap kukuh dengan belajarnya saat itu. Hingga akhirnya, meski berada di dua dunia yang berbeda, takdir mempertemukan dua sejoli yang memang cukup serasi saat dipadukan.
Saat-saat awal terdengar berita pernikahan mereka, hampir semua orang terkejut.
“oh, ternyata ini yang membuatmu tak tertarik dengan wanita, mas Fauzi?”
“kalian sangatlah serasi, sudah berapa tahun kalian pacaran mbak? Kok bisa bertahan menjaga hubungan kalian sampai menikah?”
Meskipun mereka tak saling kenal, ternyata dahulu Fadhil sering digojlokin teman-temannya dengan Fauzi. Tak tahunya, ternyata itulah jodoh yang telah disiapkan Allah untuknya. Andai dari awal tahu, mungkin perjalanan hidup mereka tidak akan seindah yang ada.

Komentar

HEAVEN

MANAJEMEN KONTEMPORER

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

GERAK PRESESI DAN GERAK NUTASI SUMBU BUMI