PENDAHULUAN
Keadilan bukan suatu hal yang asing lagi bagi kita. Adil merupakan suatu kata yang menjadi salah satu karakter kaum muslimin. Orang yang mengaku beriman sudah seharusnya memiliki sifat adil. Adil dalam perkataan, perbuatan serta tindakan, baik adil terhadap dirinya, keluarganya maupun orang lain yang hidup disekitarnya, yang dikenal maupunyang tidak ia kenal.
Setelah panjang lebar penafsiran terhadap kitab suci al-qur’an di lakukan sebelumnya. Kali ini tiba saatnya kita membahas masalah keadilan. Dalam kesempatan ini, kami tidak akan membahas tentang adil secara keseluruhan namun kami hanya akan membahas tentang adil dari segi penafsirannya dalam al-qur’an.
PEMBAHASAN
A. AYAT-AYAT TENTANG ADIL
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtBÌôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9ω÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Maidah: 8)
* $pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#y‰pkà ¬! öqs9ur #’n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& Èûøïy‰Ï9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3tƒ $†‹ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ)sù ª!$$sù 4’n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿxsù (#qãèÎ7Fs? #“uqolù;$# br& (#qä9ω÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊÌ÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊÌÎÈ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(an_Nisaa’: 135)
Selain kedua ayat diatas juga masih banyak ayat yang lain yang membahas masalah keadilan. namun pada intinya eksistensi dari surat-surat tersebut adalah sama. Diantaranya:
1. Al-baqarah: 283
2. (Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu) ) (QS. al An'am: 152)
3. (Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. ) (QS. ath Thalaq: 2)
4. (Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. ) (QS. al Maidah: 8)
5. (Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. ) (QS. an Nisaa': 58)
B. TAFSIR AYAT
Qur’an Surat An-Nisa’: 135
Dalam surat an-Nisa’ ini dimulai dengan menyeru kaum mukminin untuk bangkit memainkan peranannya dalam hal keadilan.
Kalimat t (#qãYtB#uäûïÏ%©!$#$pkš‰r'¯»tƒ merupakan seruan yang menyebutkan cirri-ciri umat islam yang memiliki nilai dan makna tersendiri. Disebutkannya sifat ini bagi mereka karena tugas mengemban amanat yang sangat besar. Juga karena mereka disiapkan untuk mengemban amanat yang agung.
Ini adalah salah satu sentuhan manhaj tarbawi yang bijaksana, yang mendahului penugasan yang sukar dan berat.
“Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya”.
Ini merupakan amanat untuk menegakkan keadilan secara mutlak, dalam semua keadaan dan lapangan. Keadilan yang mencegah kesewenang-wenangan dan kezaliman, dan keadilan yang menjamin kesamaan diantara manusia dan memberikan hak kepada masing-masing yang punya hak, baik muslim maupun non muslim. Karena dalam hal ini, samalah disisi Allah antara orang-orang mukmin dan orang-orang yang tidak beriman, antara kerabat dan juga orang jauh (bukan kerabat), antara kawan dan lawan, serta antara orang kaya dan orang miskin.
Kuunu qawwaamiina maksudnyan adalah perintah untuk adil. Yaitu adil dalam kesaksianmu terhadap dirimu, dan kesaksian seseorang terhadap dirinya merupakan ketetapannya akan hak-hak nya. Kemudian kewajiban berbuat baik terhadap kedua orang tuanya, mengagungkan tetangga baik saat senang maupun susah(kesulitan), maka sesungguhnya tetangga untuk adil dan juga saat menjadi saksi baginya. Dan juga hak seseorang untuk menjaga hartanya.[1]
“Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan menjadi saksi karena Allah….!”.
Melakukan perhitungan karena Allah, bergaul langsung dengan-Nya bukan karena memperhitungkan seseorang dari yang diberikan kesaksian untuknya (yang menang) atau atasnya (yang salah) dan bukan pula karena kepentingan pribadi, kelompok atau ummat. Juga tidak terpengaruh oleh kondisi yang meliputi unsure-unsur peradilan. Akan tetapi mereka memberikan kesaksian karena Allah dan bermuamalah dengan Allah, lepas dari segala kecenderungan dari semua keinginan, kepentingan, dan anggapan.
“Biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…..!”.
Dalam ayat ini, manhaj Tarbawi berusaha mengerahkan jiwa untuk dua hal, yaitu:
1. Menghadapi dirinya dan perasaannya sendiri.
2. Menghadapi orang tua dan kerabatnya.
Ini merupakan tindakan yang sangat berat, jauh lebih berat daripada sekedar bicara dengan lisan dan memikirkan makna serta materi petunjuknya dengan akal pikiran. Sesungguhnya mengaplikasikannya dalam praktik itu berbeda dengan sekedar memikirkannya. Tidak akan mengerti akan kaidah ini kecuali orang yang mengalaminya dalam kenyataan. Akan tetapi, manhaj ini mengerahkan jiwa yang beriman untuk menghadapi pengalaman yang sulit, karena hal yang seperti itu pasti akan dijumpai. Dimuka bumi ini pasti akan ditemui kaidah ini dan harus ada orang yang menegakkannya.
Selanjutnya manhaj ini mengerahkan jiwa untuk menghadapi perasaan fitriah dan kemasyarakatannya. Sehingga jika dia menjadi saksi bagi si-miskin, maka timbullah kasih sayangnya jika kesaksiannya benar. Dan jika dia menjadi saksi bagi si-miskin maka timbullah keinginan untuk memberikan kesaksian yang menguntungkannya, karena kasihan padanya. Atau ada kalanya kemiskinan orang tersebut mendorongnya untuk memberikan kesaksian yang memberatkannya, karena pengaruh system masyarakat jahiliah. Ketika orang yang dia menjadi saksi atasnya atau untuknya itu kaya, yang system socialnya menghendakinya supaya berbaik-baikandengannya, maka diapun meringankannya. Atau adakalanya kekayaan dan kesombongan mendorong jiwanya untuk melakukan kesaksian yang sebaliknya.
Ini adalah perasaan-perasaan instingtif atau tuntutan social yang merupakan beban berat ketika dihadapi manusia dalam kenyataan.
Manhaj Ilahi ini mengerahkan jiwa untuk menghadapinya, sebagaimana ia mengerahkannya untuk menghadapi kecintaannya terhadap dirinya sendiri dan kecintannya terhadap keluarga dan kerabat.
Pada dasarnya kesaksian seorang anak terhadap orang tuanya dianggap sah namun ada juga yang menganggap tidak sah. Hal ini tidak menghalangi bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Sebagaiman yang disebutkan dalam firman Allah qur’an surat at-Tahrim ayat 6 yaitu[2]:
( ö #Y‘$tR ö/ä3‹Î=÷dr&ur/ä3|¡àÿRr&#þqè%
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata bahwasannya ulama’ salaf memperbolehkan kesaksian anak dan saudara. Sebagaimana dalam firman Allah:
( ! uä!#y‰pkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/šúüÏBº§qs% ¬#qçRqä.
Namun ahirnya terjadi asimilasi kepentingan antara anak dan saudara sehingga muncullah larangan bagi anak, suami, istri, saudara dan orang tua dalam hal kesaksian. Hal ini menurut pendapat Hasan, Nakha’i, Sya’bi, syuraih, Malik, Tsauri, Imam Syafi’i dan Ibnu Hanbal. Sedangkan Ats-tsaury, Muzniy, malik, Umar bin Abdul Aziz dan juga Umar bin Khottob serta Ishaq memperbolehkan kesaksian tersebut jika anak maupun saudara itu mempunyai sifat adil. Menurut Imam Malik diperbolehkan saksi dari saudara asalkan adil dan juga bukan saudara senasab. Ibnu Wahab dalam pendapatnya tidak memperbolehkan menjadi saksi bagi saudaranya jika sama-sama menjadi pewaris. Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwasannya tidak diterima kesaksian seorang suami bagi istrinya. Karena keduanya memiliki satu kepentingan (apa yang dimiliki suami bisa jadi juga milik sang istri). Imam Syafi’i berpendapat bahwasannya seorang suami diperbolehkan menjadi saksi bagi istrinya dan sebaliknya karena keduanya merupakan orang asing meskipun terdapat ikatan perkawinan antara keduanya.
Pada dasarnya diterimanya suatu kesaksian berdasarkan hukum awal kedudukan dua orang tersebut. Namun hal ini merupakan hadits dho’if.
Abu Daud meriwayatkan dari Sulaiman bin Musa sesungguhnya rasulullah saw menolak kesaksian orang yang telah berhianat. Khotoby pernah berkata bahwasannya antara dua saudara yang mana diantara keduanya terdapat penghianatan dan juga perseteruan maka tidak diperbolehkan kesaksian antara keduanya.
Jadilah saksi yang adil, jujur atas kesaksiannya meskipun kesaksianmu itu justru akan menghancurkanmu. Meskipun kesaksian tersebut mengecewakan maupun merendahkan kerabat dekatmu maupun sahabatmu. Jangan pilih kasih antara yang kaya dan yang miskin. “maka janganlah kamu ikuti hawa nafsu untuk menyimpang”, maksudnya janganlah kepentingan pribadi, fanatisme dan kebencian itu mendorongmu untuk meninggalkan keadilan dalam berbagai persoalanmu, namun tegakkanlah keadilan[3].
Jika kamu mengubah kesaksian dengan nyata dan berdusta dengan sengaja maka dikatakan dalam firman Allah “dan sesungguhnya ada segolongan orang diantara mereka yang memutarbalikkan kata-katanya terhadap al-Kitab”. Al-I’radh artinya menyembunyikan dan meninggalkan kesaksian, maka hatinya berdosa.
Sabda Rasul saw: “sebaik-baik saksi adalah orang yang memberikan kesaksian sebelum diminta untuk memberikannya”.
“Jika ia kaya atau miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya….”.
Ini merupakan usaha dan perjuangan yang berat. Ketika islam mendorong jiwa-jiwa orang-orang yang beriman untuk naik kepuncak ini, yang disaksikan oleh pengalam riil dalam sejarah, maka ia menciptakan sesuatu yang luar biasa dalam dunia manusia. Suatu keluarbiasaan yang tidak dap[at terjadi kecuali dibawah naungan manhaj Illahi yang agung dan lurus ini.
“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran…”.
Hawa nafsu itu beraneka ragam jenisnya, antara lain bisa berupa cinta kepada diri sendiri; cinta keluarga dan kerabat; kasihan kepada orang miskin ketika menjadi saksi dan ketika memutuskan perkara; mempermudah dan mempersulit orang kaya; fanatic kepada keluarga, kabilah, umat, Negara, dan bangsa; dan membenci musuh meskipun musuh agama. Semua jenis dan warna hawa nafsu itu dilarang oleh Allah, agar orang-orang yang beriman tidak terpengaruh olehnya hingga berpaling dari kebenaran dan kejujuran.
Akhirnya datanglah ancaman yang keras agar jangan memutar balikkan kesaksian atau berpaling dari pengarahan ini.
“Jika kamu menutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (an-Nisa’: 135).
Cukuplah bagi orang mukmin untuk mengingat bahwa Allah maha mengetahui apa yang ia kerjakan, untuk merasakan apa yang ada dibalik ancaman yang keras, menakutkan dan menggetarkan jiwanya ini.
Allah berfirman dengan al-qur’an ini kepada orang-orang yang beriman!
Diceritakan bahwa Abdullah bin Rawahah r.a.[4] ketika diutus Rasulullah saw. untuk menakar hasil buah-buahan dan tanaman penduduk Khaibar untuk berbagi hasil sesuai dengan perjanjian Rasulullah saw. setelah pembebasan tanah Khaibar, orang-orang Yahudi mencoba menyuap Abdullah bin Rawahah supaya mengasihi mereka. Maka berkatalah Abdullah kepada mereka, “Demi Allah, aku datang kepadamu dari sisi makhluk yang paling aku cintai. Sesungguhnya kamu, demi Allah adalah orang yang lebih aku benci daripada kera dan babi. Tidaklah kecintaanku kepada beliau dan dan kebencianku kepadamu dapat menjadikan aku berlaku tidak adil diantara kamu”. Maka mereka berkata, “Dengan begini, niscaya akan tegaklah langit dan bumi”.
Quran Surat Al-Maidah: 8
Pada dasarnya, kandungan surat ini tidak jauh beda dengan kandungan surat an-nisa’. Sebagaimana dalam surat an-nisa’, surat ini juga memerintahkan kita untuk berlaku adil kepada siapapun dan kapanpun kita berada[5].
Sebelumnya Allah menegaskan kepada kaum mukminin akan larangan untuk membenci secara berlebihan kepada orang-orang yang menghalangi mereka masuk masjidil haram. Sehingga dalam surat ini Allah mewanti-wanti kaum muslimin untuk tidak berpaling dari keadilan. Ini merupakn puncak yang sangat tinggi dan sangat sulit bagi jiwa. Dan juga merupakan tahapan dibalik pengendalian diri untuk tidak melakukan pelanggaran dan supaya tabah mengekangnya. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan menegakkan keadilan meskipun didalam hati terdapat perasaan benci dan tidak suka kepada yang bersangkutan.
Perintah yang pertama lebih mudah karena berupa sikap pasif sedangkan perintah yang kedua lebih sulit karena berupa tindakan aktif yang membawa jiwa untuk bertindak langsung dengan adil terhadap orang-orang yang dibenci dan dimurkainya.
Al-Biqa’i mengemukakan bahwasannya pada awal dan pertengahan surat ini, telah dikemukakan tentang kewajiban adil terhadap para istri dan juga tentang perizinan mengawini istri-istri non-muslim maka seyogyanya surat ini diakhiri dengan perintah untuk bertaqwa.[6]
Qawwamin dalam surat ini maksudnya adalah orang-orang yang selalu dan bersugguh-sungguh menjadi pelaksana yang sempurna terhadap tugas-tugasnya. Terhadap wanita dan lain-lain dengan menegakkan kebenaran demi karena Allah, serta menjadi saksi dengan adil baik terhadap istri yang ahlul kitab maupun yang bukan. Ayat ini merupakan perintah adil kepada siapapun karena adil merupakan hal yang dekat dengan taqwa.
Jiwa manusia tidak akan dapat mencapai tingkatan kebajikan kecuali jika dia menegakkan kebenaran karena Allah, lepas dari segala sesuatu selain Dia. Dan juga ketika ia merasakan ketakwaan kepada-Nya dan menyadari bahwa pandangan-Nya mengawasi segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati.
Tidak ada kaidah maupun peraturan yang menjamin keadilan muthlak terhadap musuh yang sangat dibenci sekalipun sebagaimana jaminan yang diberikan oleh agama islam.
C. KESIMPULAN DARI PENAFSIRAN AYAT TENTANG ADIL
Surah an-nisa’ 135 sejalan dengan ayat ini bedanya hanya pada redaksinya. Perbedaan redaksi tersebut bisa jadi karena ayat surah an-nisa’ dikemukakan dalam konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaraan tentang kasus seorang muslim yang menuduh seorang Yahudi secara tidak sah, selanjutnya dikemukakan uraian tentang hubungan pria dan wanita. Sehingga yang ingin digaris bawahi oleh ayat ini adalah pentingnya keadilan. Kemudian disusul dengan kesaksian. Sehingga redaksinya mendahulukan al-qisth (adil) baru kemudian syuhada (saksi-saksi). Sedangakan dalam ayat al-maidah mengemukakn perjanjian-perjanjian dengan Allah serta Rasul sehingga yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya melaksnakan secara sempurna seluruh perjanjian itu. Dan itulah yang dikandung oleh kata qawwamin lillah.
Ada juga yang berpendapat bahwa ayat surat an-nisa’ dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri, kedua orang tua dan kerabat, sehingga wajar jika kata al-qisth / keadilan yang didahulukan sedangkan ayat al-maidah dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian sehingga yang perlu lebih dahulu di ingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan permusuhan dan kebencian.
Menurut al-Misbah ini, mengemukakn ketidak setujuannya atas teori bahwa kasih-lah tingkatan tertinggi dalam suatu agama karena kasih dalam kehidupan pribadi bahkan masyarakat dapat berdampak buruk. Islam lebih mengutamakan keadilan yang mana adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika seseorang memerlukan kasih, maka dengan berlaku adil kasih dapat tercurahkan padanya. Jika seseorang melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi yang berat, maka saat itu kasih tidak boleh berperan karena ia dapat menghambat jatuhnya ketetapan hukum terhadapnya. Ketika itu, yang dituntut adalah adil yakni menjatuhkan hukuman setimpal atasnya. Sehingga dalam ayat ini disebutkan bahwa adil-lah yang lebih dekat dengan taqwa.
Penghalang persaksian ada delapan, dia adalah:
1. Kerabat dari keturunan: mereka adalah ayah dan seterusnya keatas, anak dan kebawahnya, persaksian sebagian mereka terhadap sebagian lainnya tidak diterima; dengan tuduhan akan kuatnya kekeluargaan, akan tetapi akan diterima jika bersaksi terhadap mereka, sedangkan kerabat lainnya, seperti saudara, paman dan semisalnya, maka mereka akan diterima persaksian untuk dan terhadap mereka.
2. Suami isteri: tidak diterima persaksian suami untuk isterinya dan tidak pula isteri untuk suaminya, dan akan diterima jika bersaksi atas mereka.
3. Dia yang mendatangkan manfaat untuk dirinya, seperti persaksian seseorang untuk sekutu ataupun budaknya.
4. Dia yang membela dirinya dari malapetaka dengan persaksian tersebut.
5. Permusuhan duniawi, barang siapa yang menyenangi kejelekan pada seseorang, atau membenci kesenangannya, maka dia adalah musuhnya.
6. Dia yang bersaksi dihadapan hakim kemudian ditolak persaksiannya karena hianat ataupun lainnya.
7. Ashobiyah, tidak diterima persaksian seorang yang dikenal akan ashobiyahnya.
8. Apabila orang yang dipersaksikan adalah milik orang yang bersaksi atau sebagai pembantu padanya.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami sampaikan. Laksana baja suatu saat dia juga berkarat, begitu juga dengan kami yang tak akan pernah luput dari segala salah dan kekurangan. Kritik dan saran yang mendukung dari pembaca sekalian merupakan harapan terbesar dari kami. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Bin Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi, Abu ‘Abdillah, Al-Jami’ Ahkam Al-Qur’an, Jilid 3 (5-6), Beirut-Lubnan: Darul Kutub Ulumiyah
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil Qur’an jilid 3, 1992, Jakarta: Gema Insani Press
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil Qur’an jilid 5, 1992, Jakarta: Gema Insani Press
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an), 2006, Tangerang: Penerbit Lentera Hati
TAFSIR IBNU KATSIR
[1] Abu ‘Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi, Al-Jami’ Ahkam Al-Qur’an, jilid 3 (5-6), Beirut-Lubnan: Darul Kutub Ulumiyah
[3] Tafsir Ibnu Katsir
[4] Murid Rasulullah saw.
[6] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an), 2006, Tangerang: Lentera Hati, hal. 41
Komentar
Posting Komentar