A.
PERMASALAHAN
Permasalahan
penentuan awal bulan kamariah merupakan sebuah wacana yang sudah usang namun
masih selalu up-date seiring berjalannya waktu. Indonesia dengan konsep
wilayatul hukmi yang telah dijunjung, ternyata tidak mampu menyatukan perbedaan
tersebut. Masih saja perbedaan hari raya idul fitri maupun idul adha serta
perbedaan penentuan awal bulan ramadhan ternyata masih saja terjadi. Dan dampak
dari perbedaan ini sangat konkrit terlihat di seluruh penjuru Indonesia. Dua
desa yang sangat berdekatan, harus saling mendahului dalam pelaksanaan hari
raya. Desa yang satu telah terdengar gema suara takbir sedangkan desa yang
lainnya masih khusyu’ dengan shalat tarawihnya. Bahkan fenomena ini tidak hanya
terjadi antar desa melainkan juga terjadi bagi mereka yang hanya berada dalam
satu desa.
Pada
dasarnya permaslahan awal bulan kamariah adalah adanya perbedaan metode.
Terdapat dua pendapat kuat yang salah satunya mengatakan bahwa tingkat
keberhasilan rukyat al-hilal sangat bergantung kepada kondisi langit dan
pemandangan di arah cakrawala[1] bumi. Selain
data hisab yang menunjukkan adanya kemungkinan hilal terlihat, udara kotor,
awan atau kabut dan cahaya yang mengganggu pemandangan ke arah ufuk akan
membuat proses pengamatan sulit untuk dilakukan.[2]
Tidak berlebihan ketika ada orang yang mengatakan bahwa hisab dan rukyat adalah
dua hal yang saling membantu, saling mengisi kekurangan, dan melengkapi satu
sama lain.
Sedangkan
pendapat lainnya mengatakan bahwa dewasa ini, metode hisab telah menggunakan
komputer dengan tingkat presisi yang jauh lebih tinggi dan akurat. Berbagai
perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Bahkan dengan banyaknya
program komputer, siapa pun yang bisa mengoperasikannya dengan mudah dapat
menghitung posisi bulan dan matahari. Masalahnya, tidak semua orang mengerti
arti angka dalam penentuan awal bulan Qamariah, khususnya dalam penentuan awal
Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Sehingga slogan “Andai Hilal Bisa Ngomong” atau “gara-gara hilal, rusak opor
sebelanga” muncul sebagai ungkapan kebingungan masyarakat akan permasalahan
ini. Mereka yang mengerti akan ilmu falak saja merasa bingung dengan
permasalahan ini apalagi bagi mereka yang sama sekali tidak tahu-menahu akan
penyebab perbedaan ini. Mereka hanya mengikuti ketetapan tanpa kepastian dengan
perasaan terombang-ambing antara takbir atau tidak, antara memasak atau tidak
dan sebagainya.
Dalam
kajian awal bulan qamariyah terdapat beberapa pendapat, antara lain yang
berpendapat bahwa pergantian bulan kamariah itu manakala ijtima’ terjadi
sebelum terbenam matahari. Artinya apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari
terbenam maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu bulan
berikutnya, tetapi apabila ijtima’ terjadi sesudah matahari terbenam maka malam
itu dan keesokan harinya merupakan hari ke 30 bulan yang sedang berlangsung.[3]
Pendapat
lain mengatakan bahwa pergantian bulan kamariah itu manakala matahari terbenam
lebih dahulu dari pada terbenamnya bulan. Artinya apabila matahari terbenam
lebih dahulu daripada terbenamnya bulan maka malam itu dan keesokan harinya
merupakan tanggal 1 bulan berikutnya, tetapi apabila matahari terbenam lebih
belakangan daripada terbenamnya bulan maka malam itu dan keesokan harinya
merupakan hari ke 30 bulan yang sedang berlangsung.[4]
Sedangkan
kelompok lain lagi berpendapat bahwasannya pergantian bulan kamariah itu
manakala pada saat matahari terbenam posisi hilal sudah sedemikian rupa yang
menurut pengalaman hilal dapat tampak dilihat (imkanurrukyat) yang menurut
kriteria Departemen Agama RI > 2 derajat dari ufuk mar’i. Artinya apabila
saat terbenam matahari posisi hilal sudah imkanurrukyat maka malam itu dan
keesokan harinya merupakan tanggal 1 bulan berikutnya, tetapi apabila saat
terbenam matahari posisi hilal belum imkanurrukyat maka malam itu dan keesokan
harinya merupakan hari ke 30 bulan yang sedang berlangsung.[5]
Berdasarkan
wacana diatas jelaslah bahwa pada dasarnya perbedaan yang terjadi tidak lain
hanyalah berawal dari perbedaan kriteria yang digunakan oleh ahli hisab dan
rukyah dimana ahli hisab mempercayai keabsahan hasil hisabnya sedangkan ahli
rukyat juga konsisten dengan pendapatnya.
Ketetapan
ketinggian hilal setinggi lebih dari dua derajat berdasarkan astronomi dengan
memperhatikan keadaan tempat pengamat, tidak digunakan oleh ahli hisab yang
berdasar pada perhitungan dengan berpedoman pada wujudul hilal. Konsep wujudul
hilal dengan kriteria hilal sudah diatas ufuk saat terbenamnya matahari setelah
terjadinya ijtima’, tidak memperhatikan ketinggian hilal. Sehingga perbedaan
tersebut selalu muncul. Sebenarnya, hasil antara hisab dan rukyah adalah sama
karena rukyah juga berdasar pada hisab namun ketetapan 2-5 derajat membuat
perbedaan itu muncul saat tinggi hilal kurang dari dua derajat.
Dalam
metode hisab sendiri terdapat berbagai macam metode yang bisa digunakan
diantaranya hisab hakiki taqribi, hisab hakiki tahqiqi serta hisab hakiki
kontemporer. Dari ketiga metode ini secara konseptual telah lama dikenal
masyarakat islam Indonesia. Namun konsep hisab hakiki baru nyata terpublikasikan
saat muncul konsep Muhammad Wardan dengan ijtihadnya yang menawarkan konsep
wujudul hilal.[6]
Konsep ini dibangun dengan tujuan untuk menjadi jalan tengah yaitu dengan
memadukan konsep normatif dan empiris.
konsep
ini menawarkan kriteria penentuan awal bulan dengan tiga cara yaitu bila saat
terbenam matahari (sunset) pada ahir bulan hilal telah tampak, artinya
benar-benar terlihat(rukyat), atau mungkin dapat dilihat meskipun tidak
terlihat, yang disebut imkanur rukyat atau hilal sudah wujud. Jika telah terjadi
demikian, menurut Muhammad Wardan, maka mulai saat itu dianggap sudah masuk
tanggal satu bulan baru.[7]
Pada
dasarnya system hisab juga berdasar pada perjalanan (peredaran) bulan
mengelilingi bumi. Dengan system ini, kita dapat memperkirakan dan menetapkan
awal bulan jauh-jauh sebelumnya, sebab tidak tergantung pada terlihatnya hilal
pada saat matahari terbenam menjelang masuk tanggal 1 bulan qmariyah.[8]
Dasar
hukum yang digunakan para ahli hisab salah satunya adalah al-qur’an surat Yunus
ayat 5:[9]
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
Artinya:
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”(QS.Yunus: 5)
Ayat
ini merangkum sekaligus menghubungkan dua kata penting yang dijadikan dasar
bahwa posisi, kedudukan, dan saat hilal itu boleh dan dapat dihitung karena
memang Allah menganjurkan kita mengetahui waktu dan mendayagunakan kemampuan
intelektual kita sebagai makhluk yang cerdas. Dua kata itu adalah waqaddarahu
yang berarti dan ditetapkannya metode hisab sebagai metode yang sah dan
bukan metode yang memiliki hirarki yang lebih rendah ketimbang melihat secara
visual untuk menentukan awal bulan ramadlan tersebut.[10]
Sementara kata yang kedua adalah hisab yang berarti perhitungan (waktu). Dan
ayat diatas diperjelas dengan kalimat liqaumin ya’lamun yang diartikan bahwa
Allah memberikan tanda-tanda kebesarannya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.
Hal
ini tidak dapat disangkal lagi bahwa ayat diatas menunjukkan betapa Allah
sangat menghargai ummatnya yang berpengetahuan, yang mau berfikir untuk
melakukan perhitungan dan menetapkan waktu dengan pertolongan makhluk-makhluk
Allah lainnya (matahari dan bulan) yang telah diciptakan sebagai tanda
kebesaran-Nya.[11]
Selain
itu juga terdapat hadits lain yang ditafsirkan sebagai penghargaan terhadap
pengetahuan umat islam, yaitu: [12]
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروله
Artinya:
“Apabila kamu melihat hilal, berpuasalah. Dan apabila kamu melihatnya,
beridul fitrilah. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka
estimasikanlah”. (HR.
Bukhori Muslim)
Hadits
ini diartikan sebagai perintah penentuan awal bulan qamariyah baik secara
langsung maupun dengan menggunakan perhitungan yang biasa dikenal dengan hisab.
Penggunaan metode hisab sebagai alternative dalam penentuan awal bulan kamariah
khususnya yang berkaitan dengan waktu pelaksanaan ibadah bila dilihat dari
sejarahnya bukanlah termasuk sesuatu yang baru. Hal ini sebagaimana yang telah
disinyalir oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya bidayatul Mujtahid. Dia menjelaskan
bahwa penggunaan hisab sebagai penentu dalam menetapkan awal bulan sudah
dilakukan oleh sebagian ulama’ salaf, diantaranya dipelopori oleh Matorif bin
al-Syahr.[13]
Namun,
disisi lain terdapat pula golongan yang menafsirkannya dengan kebalikannya.
Yakni menafsirkan ayat diatas sebagai dasar perintah penentuan awal bulan
qamariyah dengan menggunakan rukyat secara langsung. Hal ini mengingat hadits
yang memerintahkan untuk menggenapi 30 hari jika hilal tidak dapat dilihat,
yaitu hadits yang berbunyi:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
Artinya:
“berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridul fitrilah karena melihat
hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu maka genapkanlah bilangan
bulan sya’ban tiga puluh hari. [HR. Bukhori Muslim]
B.
TINJAUAN KAIDAH FIQHIYAH
Pada
dasarnya, permasalahan ini telah dikaji dalam Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia dalam Musyawarah Nasional II Tahun 1980 yang mana dalam fatwa
tersebut mendasarkan penentuan awal
bulan qamariyah berdasarkan mathla’ fi wilayatil hukmi. Sedangkan dalam FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 2 Tahun 2004 mengkajinya dengan kaidah fiqh:
حكم الحاكم إلزام ويرفع الخلاف
Artinya:
“keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang
pendapat”.
Qaidah
ini senada dengan pemberlakuan mathla’ fi wilayatil hukmi dimana
keseragaman dalam pelaksanaan hari raya maupun puasa ramadlan menjadi alasan
utama akan usaha penyatuan awal bulan tersebut. Sehingga diharapkan umat islam
di seluruh penjuru Indonesia bisa melaksanakan hari raya dan puasa pada hari
dan jam yang sama. Dengan demikian, tidak ada lagi shalat tarawih beriring
takbir hari raya.
Kalimat
صوموا لرؤيته jika ditafsirkan secara maknawi, “rukyat”
berarti melihat dengan mata telanjang. Melihat disini bisa diartikan dengan
melihat hilal secara langsung dengan mata maupun dengan alat yang memungkinkan
kita untuk melihat wujud hilal tersebut. Hal ini bisa di tafsirkan juga dengan
melihat hakikat dari hilal tersebut sehingga kalimat صوموا لرؤيته bisa
di tafsirkan dengan qaidah fiqhiyah:
الأصل في الكلام الحقيقة
“hukum asal dalam memahami kalimat adalah hakikat”
Hal
ini terkait dengan kedudukan hilal yang mana saat hilal telah berada diatas
ufuk, pada dasarnya hilal memang sudah ada namun hakikat dari hilal tersebut
tidak dapat dilihat dengan mata manusia, sehingga meskipun hilal tersebut sudah
dianggap ada namun hakikatnya belum ada. Sehingga dengan merujuk kepada dalil فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين dan
dalil-dalil yang semakna dengan dalil ini, maka bulan sebelumnya digenapkan 30
hari.
Meskipun
belum ada kesamaan dalam penentuan awal bulan qamariyah namun pada dasarnya
telah ada kesepakatan bersama akan kriteria penentuan awal bulan qamariyah.
Sehingga jika kemaslahatan umat yang diharapkan, hendaknya kesepakatan yang
telah ada tersebut di patuhi sehingga perbedaan dalam pelaksanaan hari raya
maupun puasa bisa dihindarkan. Hal ini mengingat pula dalil naqli yang
berbunyi:
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4
`yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù (
`tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
Artinya: “(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena
itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.(al-baqarah:
185)
Dalam
ayat diatas disebutkan bahwasannya Allah SWT tidak menghendaki kesulitan
terhadap hamba-Nya. Jika puasa saja bisa digantikan pada hari yang lain apabila
terdapat alasan yang memang bisa di benarkan oleh syara’ maka dengan illat
ukhuwah islamiyah, dan dengan dasar-dasar penentuan awal bulan yang bisa di
benarkan oleh ilmu pengetahuan baik dari para ahli falak dan juga pakar
astronomi, penyatuan awal bulan tersebut bisa juga dikaji dengan qaidah
fiqhiyah:
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
“apabila
ada mafsadah yang bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
madaratnya dengan memilih yang elbih ringan madlaratnya.”
Perbedaan
dalam penentuan awal bulan qamariyah ini tentunya juga akan berpengaruh pada
kesatuan dan persatuan umat islam serta ukhuwah islamiyah sehingga berdasarkan
ayat al-qur’an surat al-a’raf ayat 55 yang berbunyi:
ولا تفسدوا في الأرض
Artinya: “dan
janganlah kamu sekalian membuat kerusakan dimuka bumi ini”. (al-a’raf:55)
Dan
juga QS. Al-Qashash ayat 77:
إن الله لا يحب المفسدين
Artinya:
“sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.
(al-Qashash: 77)
Daftar Pustaka
Radiman,
Iratius, dkk, Ensiklopedi – Singkat Astronomi dan Ilmu yang Bertautan,
Bandung : Penerbit ITB, 1980
Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syari’ah, Pedoman Teknik Rukyat, Jakarta : tp, 2009
Khazin, Muhyiddin,
Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka
Azhari,
Susiknan, Hisab dan rukyat (Wacana untuk membangun Kebersamaan di Tengah
Perbedaan), 2007, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Almanak Hisab
Rukyat Departemen Agama RI, 2007
Saksono, Tono, Mengkompromikan
Rukyat dan Hisab, 2007, Jakarta: Amythas Publicita
Rasyid Ridda, Muhammad,
Hisab Bulan Kamariah (Tinjauan Syar’I tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal
dan Dzulhijjah, 2009, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Maskufa, Ilmu
Falaq, 2009, Jakarta: Gaung Persada, hal. 160
Usman, Muchlis,
Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah (Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum
Islam)
[1] Pertemuan semu
antara langit dan bidang datar tempat peninjau berpijak. Disebut juga kaki
langit atau bidang horizon yang tegak lurus pada garis hubung pengamat dengan
pusat bumi. Lihat Iratius Radiman, dkk, Ensiklopedi – Singkat Astronomi dan
Ilmu yang Bertautan, Bandung : Penerbit ITB, 1980, hlm. 17.
[2]
Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syari’ah, Pedoman Teknik Rukyat, Jakarta : tp, 2009, hlm.26.
[3] Muhyiddin
Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka,
hal. 145
[4] Muhyiddin
Khazin, ibid, hal. 145
[5] Muhyiddin
Khazin, ibid, hal. 146
[6] Dr. Susiknan
Azhari, Hisab dan rukyat (Wacana untuk membangun Kebersamaan di Tengah
Perbedaan), 2007, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 8
[7] Susiknan
Azhari, Ibid, hal.9
[8] Ibid,hal.
215
[9] Almanak Hisab
Rukyat Departemen Agama RI, 2007, hal. 26
[10] Tono Saksono,
Ph, D, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, 2007, Jakarta: Amythas
Publicita, hal.75
[11] Tono Saksono,
Ibid, hal. 122
[12] Syaikh
Muhammad Rsyid Ridda, Hisab Bulan Kamariah (Tinjauan Syar’I tentang
Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah, 2009, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, hal. 2-3
[13] Drs. Maskufa,
MA., Ilmu Falaq, 2009, Jakarta: Gaung Persada, hal. 160
jadi kesimpulannya bagaimana? Tentunya, dari dua pandangan itu ada yang paling hakiki dan kebenarannya lebih dapat dipertanggung jawabkan ( dalil naqlinya lebih kuat ).
BalasHapusmasalah keyakinan, egoisitas dan juga pemahaman serta penafsiran terhadap dalil naqli yang mujmal, juga menjadi faktor yang mendasari perbedaan. mungkin penanya lebih tahu akan jawban dari pertanyaannya...
BalasHapusjika ditanya akan kebenran hakiki, wallahu a'lam, karena saya hanya bisa menyampaikan beberapa pengetahuan yang telah saya dpatkan.
bagus banget tulisannya neng. tapi kayaknya kurang netral githu. kayak mendukung rukyat githu. lebih baik juga cantumkan dalil yang mendukung seperti hadith
BalasHapus« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا » يعني مرة تسعة و عشرين و مرة ثلاثين
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan itu begini, begini, dan begini. Yakni terkadan 29 hari, terkadang 30 hari.
hadith ini katanya untuk konteks masa lamapu, kalau sekarang kan sudah bisa nulis n ngitung.
oh iya. menggunakan kaidah tentang dua mafsadat yang bertentang juga kurang pas, enaknya pake hadith
ما خير رسول الله بين أمرين إلا اختار أيسرهما ما لم يكن إثمًا
(tidaklah Rasulullah disuruh melilih di antara dua hal melainkan belian memilih yang paling mudah di antara keduanya). karena Rukyat dan hisab bukanlah sesuatu mafsadat meskipun terkadang bertentangan. over all. tulisannya bagus banget. maaf kalu ada salah2 kata. salam kenal.
tulisan ini blum final, masih sngat mmbutuhkan koreksi, dan syukron jaziilan atas masukannya....
BalasHapusslm kenal jga....