Zubair Umar Al-Jailani adalah salah
seorang ulama’ yang terkenal sebagai pakar ilmu falak. Beliau lahir di Padangan
kecamatan Padangan kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Indonesia pada tanggal 16
September 1908 M.[1]
Dalam mengarungi kehidupan, beliau tidak menetap di Bojonegoro melainkan
tinggal di kota Salatiga, Jawa Tengah sampai wafat disana pada tanggal 10
desember 1990 M.[2]
Sejak kecil, beliau telah mendapatkan
pendidikan yang layak. Setelah lulus dari Madrasah Ulum (1916-1921), beliau
melanjutkan pendidikannya di Pondok pesantren Termas Pacitan (1921-1925).[3] Kemudian beliau
melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Simbang Kulon Pekalongan
(1925-1926). Disini beliau belajar dengan Kyai Amir.[4] Setelah belajar di pondok
pesantren Simbang Kulon Pekalongan, kemudian beliau melanjutkan studinya di Pondok
Pesantren Tebu Ireng Jombang (1926-1929). Beliau terkenal sebagai santri yang
cerdas. Pada saat itu, pondok pesantren Tebu Ireng Jombang masih diasuh oleh KH.
Hasyim Asy’ari ayah dari KH. Abdur Rahman Wahid, beliau juga merupakan mertua dari KH. Ma’shum
bin Ali.[6]
Suatu ketika, Kyai Abdul Fattah,
seorang kepala desa Reksosari, Suruh, Salatiga yang terkenal kaya raya meminta salah
seorang murid KH. Hasyim Asy‘ari untuk dibawa ke Reksosari. Kemudian KH. Hasyim
Asy’ari berkenan memberikan salah seorang muridnya kepada kyai Abdul Fattah
dengan syarat untuk mendidik terlebih dahulu murid tersebut sebelum diterjunkan
di masyarakat. Hingga ahirnya, dengan persetujuan diantara mereka, KH. Zubair
Umar al-Jailani di serahkan kepada Kyai Abdul Fattah dan menikahkannya dengan
putri beliau. Setelah berlangsungnya pernikahan tersebut, baru kemudian kyai
Abdul Fattah mengirim KH. Zubair Umar al-Jailani ke Makkah dengan tujuan haji
dan melanjutkan pendidikan di Makkah (1930-1935).[7]
Pada awalnya, KH. Zubair Umar
al-Jailani di minta oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk mendalami Ilmu Hadits,
setibanya di Makkah nanti. Akan tetapi, KH. Zubair Umar al-Jailani lebih
memilih menekuni Ilmu Falak yang telah menjadi hobi beliau sejak belia. Namun,
keinginannya untuk mendapatkan guru Ilmu Falak di Makkah al-Mukarramah kandas. Karena
saat test berlangsung, di ketahui bahwa Ilmu beliau dalam hal falak telah jauh
diatas guru yang ada di Makkah sehingga guru tersebut justru yang belajar
kepada KH. Zubair Umar al-Jailani.
Kemudian beliau meninggalkan Makkah
dan menuju ke Madinah untuk menemui ahli falak disana. Namun saat di Madinah,
beliau juga tidak mendapatkan guru yang diharapkan. Kemudian beliau di sarankan
untuk pergi ke Syiria (Damaskus). Sesampainya di Syiria, hasilnya tetap sama.
Hingga ahirnya beliau melanjutkan perjalanan ke Palestina. Dan harapan beliau untuk
bertemu ahli falak disana juga masih belum terpenuhi. Baru kemudian beliau
disarankan untuk menemui seorang guru di Jami’ al-Azhar. Disinilah
beliau bertemu dengan Syeikh Umar Hamdan
dengan kitab kajian al-Matla’
al-Sa’id karya Husain Zaid
al-Misra dan al-Manahij al-Hamidiyah karya
Abdul Hamid Mursy.[8]
Data astronomis yang digunakan kitab al-Khulasah al-Wafiyah sama dengan
data yang ada pada kitab al-Matla’
al-Sa’id, tetapi menggunakan epoch (mabda’) Mekkah (39º50'),
karena kitab tersebut dikonsep ketika KH. Zubair bermukim di Makkah.[9]
Di Jami’ al-Azhar, beliau diangkat
menjadi dosen Falak.[10] Dalam mengajar, beliau
tidak menggunakan buku rujukan. Namun para mahasiswa beliau tekun dan rajin
sehingga banyak catatan-catatan yang dibuat oleh mereka. Setelah mengetahui
bahwa mahasiswa KH. Zubair Umar al-Jailani banyak yang mencatat materi mata
kuliah beliau, ahirnya catatan-catatan tersebut beliau kumpulkan dan beliau
bawa ke Indonesia yang ahirnya di bukukan menjadi kitab Al-Khulasah al-Wafiyah.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa penulisan kitab ini bukan merupakan suatu
kesengajaan.[11]
Diantara
kedudukan yang pernah beliau jabat antara lain:
a.
Guru
madrasah salafiyyah Tebu Ireng Jombang
b.
Ketua
Mahkamah Islam Tinggi Jawa Madura.
c.
Ketua
Umum PBNU
d.
Rektor
IAIN Walisongo (1971)
e.
Pimpinan
Pondok Pesantren Al-Ma’had Al-Diniy, Reksosari Suruh Salatiga (1935-1945),
Selain itu, beliau juga mendirikan
pesantren luhur yang kemudian menjadi IKIP NU dan dalam perkembangannya berubah
menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan berangsur-angsur berubah menjadi
STAIN Salatiga.
Setelah pensiun, beliau kembali ke pondok
pesantren Tingkir Salatiga. Beliau wafat disana dan di makamkan di belakang
masjid Raya Baitul ‘Atiq. Delapan tahun setelah beliau wafat, area pemakaman
tersebut terkena aliran air yang sangat deras, yang menimbulkan kerusakan pada
makam. Kemudian dilakukan pembenahan makam. Saat membongkar makam KH. Zubair
Umar al-Jailany, jenazah beliau ditemukan masih utuh seperti sedia kala dengan
posisi yang sama. Padahal papan yang terdapat di dalam makam beliau sudah
hancur. Namun, setelah diatur ulang, jenazah tersebut langsung dimasukkan
kembali tanpa dimandikan ulang dan papan yang sudah rusak diganti dengan semen
cor.[12]
[1] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak
Praktis (Metode Hisab-Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang:
Pustaka Rizki Putra, hlm. 182
[2] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu
Falak,cet. 1, 2005, Jogjakarta: Buana Pustaka, hlm. 118
[3] Ahmad Izzuddin op.cit,
hlm. 183
[4] Habib Thoha merupakan lurah PP.
Kauman dan juga salah satu santri kepercayaan KH. Zubeir Umar al-Jailany.
Wawancara ini dilaksanakan pada hari Rabu, 3 januari 2013 di kediaman beliau,
Tugu Semarang.
[6] Pendiri PP. Seblak, pengarang
kitab ad-Durusul Falakiyah. Dalam penelitian Maryani, S. Hi tentang awal waktu
salat dalam kitab Ad-Durusul Falakiyah disebutkan bahwasannya KH. Zubeir Umar
al-Jailany belajar Ilmu Falak kepada KH. Ma’shum bin Ali, yaitu saat KH.
Ma’shum bin Ali masih ikut mengabdi di PP. Tebu Ireng Jombang tepatnya setelah
dilaksanakan pernikahan beliau dengan putri KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1911
M.
[7] Hasil wawancara dengan Habib
Thoha. Rabu, 3 januari 2013 di kediaman beliau, Tugu Semarang (09.00-10.30 WIB)
[8] Zubeir Umar Al-Jailani, Al-Khulasoh
al-Wafiyah, Surakarta : Melati, t.t. hlm. 2.
[9] Muhyiddin
Khazin, Ilmu Falak dalam Teori
dan Praktek, Yogyakarta:
Buana Pustaka, t.th, hlm. 32.
[10] Keberadaan KH. Zubeir Umar
al-Jailany di al-Azhar mulai tahun 1931-1935 sebagai dosen Ilmu Falak. Pada
saat itu, Rektor Universitas Al-Azhar adalah Prof. Musthofa Al-Maroghi yaitu
Penulis Tafsir al-Maroghi. Hal ini karena ditemukan muqoddimah rektor yang
ditulis oleh beliau pada Buku Hayatu Muhammad karangan Sayyid Ali Oudah yang
terbit pada tahun 1933.
[11] Wawancara dengan Habib Thoha
yang merupakan lurah PP. Kauman dan juga salah satu santri kepercayaan KH.
Zubeir Umar al-Jailany. Pada hari Rabu, 3 januari 2013 di kediaman beliau, Tugu
Semarang.
[12] Wawancara dengan Habib Thoha
yang merupakan lurah PP. Kauman dan juga salah satu santri kepercayaan KH.
Zubeir Umar al-Jailany. Pada hari Rabu, 3 januari 2013 di kediaman beliau, Tugu
Semarang
Komentar
Posting Komentar