KOREKSI AWAL WAKTU SUBUH
LATAR BELAKANG MASALAH
Atmosfer yang menyelimuti bumi kita ini, membantu mata kita untuk bisa melihat indahnya sinar matahari saat fajar dan senja hari. Seandainya tidak ada atmosfer yang menyelimuti bumi, maka sinar matahari yang akan terbit tidak akan sampai kepada kita. Dengan adanya atmosfer, sinar matahari yang masih tertutup di bawah ufuk dapat kita ni’mati keindahannya. Hal ini karena hasil refraksi sinar matahari yang dipantulkan oleh atmosfer bumi.
Semburat cahaya yang dipantulkan oleh atmosfer bumi tersebut sangat penting bagi kita umat islam sebagai tanda masuknya awal waktu subuh. Sebagaimana yang diibaratkan dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 178, yaitu:
4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝø‹sƒø:$# âÙu‹ö/F{$# z`ÏB ÅÝø‹sƒø:$# ÏŠuqó™F{$# z`ÏB Ì.....ôfxÿø9$# ÇÊÑÐÈ
Artinya : “hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar”.
Beberapa saat ini banyak masyarakat yang mengatakan bahwa waktu subuh itu lebih cepat dari biasanya. Hal ini diperkirakan karena dahulu waktu subuh yang berpatokan dengan tinggi matahari yang dihitung 20° dibawah ufuk, sekarang banyak yang menggunakan 18° dibawah ufuk. Sehingga perbedaan 2° ini mengakibatkan waktu shalat subuh berubah menjadi lebih cepat sebelumnya.
Selain itu, bagi masyarakat yang menggunakan pedoman fajar sebagai penentu waktu subuh tidak bisa membedakan antara fajar yang mengharamkan makan dan menjadi dasar masuknya waktu subuh. Seringkali mereka menganggap fajar yang tidak berpengaruh terhadap waktu subuh itu sebagai fajar shidiq sehingga mereka melaksanakan shalat subuh sebelum masuk waktunya. Selain itu banyak juga masyarakat yang terkecoh dengan cahaya yang bentuknya memanjang di atas langit yang sering kali dianggap sebagai fajar shodiq padahal cahaya tersebut adalah fajar kadzib yang hanya muncul sepintas saja kemudian hilang.
Dengan pemaparan diatas, kiranya penulis tertarik untuk mengadakan koreksi terhadap kriteria-kriteria yang digunakan umat islam dalam penentuan awal waktu subuh selama ini.
PERMASALAHAN
1) Hakikat fajar sebagai penentu awal waktu shalat subuh dari segi syara’
2) Analisis waktu shalat subuh dari segi astronomi (waktu munculnya fajar shidiq saat matahari berada pada 20° atau 18° dibawah ufuk).
PEMBAHASAN
A. FAJAR SEBAGAI PERTANDA MASUKNYA WAKTU SUBUH
Shalat subuh yaitu shalat yang dilaksanakan mulai dari terbit fajar shodiq sampai terbit[1]nya matahari[2]. Menurut para ahli falak, waktu terbit fajar adalah saat matahari berada pada setengah diameter matahari dibawah ufuk yaitu sekitar 18-20 derajat dibawah ufuk.
÷ŽÉ9ô¹$$sù 4†n?tã $tB tbqä9qà)tƒ ôxÎm7y™ur ωôJpt¿2 y7În/u‘ Ÿ@ö6s% Æíqè=èÛ Ä§ôJ¤±9$# Ÿ@ö6s%ur $pkÍ5rãäî (
Artinya : “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya” (Thoha:130)
Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga, yaitu:[3]
a) Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18° di bawah ufuk (jarak zenith matahari 108°).
b) Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12° di bawah ufuk.
c) Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6° .
اﻠﻓﺠﺭﻓﺠﺭاﻥﻓﺎاﻠﺫﻱﻜﺄﻨﻪﺫﻨﺏاﻠﺴﺭﺤﺎﻥﻻﻴﺤﺭﻡﺸﻴﺌﺎﻭﺇﻨﻤﺎاﻠﻤﺴﺘﻁﻴﺭاﻠﺫﻱﻴﺄﺨﺫاﻷﻓﻕ
ﻓﺈﻨﻪﻴﺤﻝاﻠﺼﻼﺓﻭﻴﺤﺭﻡاﻠﻁﻌﺎﻡ
Artinya : ”fajar itu ada dua, yang seperti ekor serigala yang tidak mengharamkan apapun. Sesungguhnya yang menyebar dan mengambil tempat di ufuk. Itulah yang menghalalkan shalat dan mengharamkan makan”.
Al mustathir adalah yang sinarnya menyebar dan membentang di ufuk berbeda dengan al-mustathil. Dalam Fath al-Bari (4/635) disebutkan bahwa fajar yang mustathir inilah yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat.[4] Dalam hadits Tholiq ibn Ali r.a dikatakan bahwa fajar itu bukanlah cahaya yang meninggi di bawah ufuk, akan tetapi yang membentang berwarna merah ( fajar putih kemerah-merahan). [5]
z`ÏBur È@ø‹©9$# çmósÎm7|¡sù t»t/÷ŠÎ)ur ÏQqàf‘Z9$# ÇÍÒÈ
Artinya : ”Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)”.
fajar kadzib | fajar shodiq |
Berdasarkan ayat diatas, secara astronomi fajar shidiq difahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), mulai munculnya cahaya di ufuk timur menjelang terbit matahari. Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama RI. Mengatakan bahwa Fajar shidiq itu disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Ini berbeda dengan apa yang disebut fajar kidzib (semu) dalam istilah astronomi disebut cahaya zodiak yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antar planet[6]
Sedangkan al-Hafidz Abu Muhammad Ibn Hazm al-Andalusi mengatakan bahwa fajar adalah cahaya putih disisi langit di ufuk timur di tempat terbitnya matahari di setiap zaman. Ia berpindah sesuai dengan perpindahannya. Ia adalah awal cahaya matahari, bertambah terang, terkadang bercampur dengan warna merah yang indah[7]. Adapun masuknya waktu shalat dengan tabayyun fajar maka tidak ada khilaf di dalamnya dari seorangpun dari umat ini. [8]
Fajar shadiq mempunyai warna yang bermacam-macam diantaranya warna putih (kekuningan), warna kuning, warna merah, dan warna biru yang semuanya membentang dari utara ke selatan. Perbedaan warna ini karena adanya perbedaan musim, cuaca dan kelembaban udara.
Tiga perbedaan antara fajar kadzib dan fajar shidiq[9]:
1. Fajar kadzib mumtad (memanjang) tidak mu'taridh (menghadang); Mumtad maksudnya memanjang dari timur ke barat (ke atas). Sedangkan fajar shadiq melebar dari utara ke selatan.
2. Fajar kadzib masih gelap. Munculnya sinar putih yang memanjang kearah atas langit, kemudian setelah itu hari menjadi gelap kembali.[10] Sedangkan fajar shadiq tidak dalam keadaan gelap, bahkan semakin lama semakin terang cahayanya (karena merupakan awal siang) kecuali kalau hari mendung.
3. Fajar shadiq bersambung dengan ufuk, tidak ada kegelapan antara fajar ini dengan ufuk. Sedangkan fajar pertama, terputus dari ufuk, ada kegelapan antara fajar kadzib dan ufuk.
Untuk jarak antara kedua fajar ini terjadi perbedaan pendapat, yaitu[11]:
a. Ada yang mengatakan bahwa kedua fajar ini berjauhan, atau waktu fajar pertama adalah setelah tengah malam.
b. Ada yang mengatakan bahwa kedua fajar ini berdekatan, waktu fajar pertama adalah saat sahar (akhir malam, waktu untuk makan sahur).
B. PERSOALAN JARAK ZENIT SUBUH
Dalam permasalahan perbedaan jarak zenit waktu subuh, timbullah perbedaan waktu dalam pelaksanaan shalat subuh. Ada yang 8-24 menit lebih cepat dari yang lainnya. Selain itu juga disebutkan oleh syeh Mamduh Farhan Al-Buhairi, bahwasannya ada sebagian umat islam yang telah mengumandangkan adzan kemudian untuk iqomahnya menunggu 8-24 menit sesudahnya. Sehingga hal ini mengakibatkan adanya perbedaan waktu shalat yang sangat jelas dikalangan umat islam.
Perbedaan waktu subuh ini dikarenakan kriteria jarak zenit yang digunakan berbeda-beda. Sekitar 17°-20° dibawah ufuk. Dari beberapa perbedaan ini, Departemen Agama RI menggunakan kriteria 20° di bawah ufuk untuk jadwal sholat yang beredar di masyarakat. Hal ini sesuai dengan hasil ijtihad Sa’adoedien Djambek dan juga dengan berlandaskan pada dalil syar’i dan astronomis yang dianggap kuat.
Dalam bukunya Muhammad Mamduh Farhan Al-Bukhori disebutkan juga bahwa kebanyakan muslim di dunia ini menggunakan kriteria -18° karena mengikuti penanggalan (Taqwim) Liga Dunia Islam yang mengacu pada kriteria tersebut. Namun pada dasarnya kriteria ini seakan mengikuti The British Royal (kerajaan Inggris) karena yang pertama kali mencetuskan akan hal ini adalah mereka. Kerajaan Inggris memilih -18° karena berdasarkan pada Astronomical Twilight, yaitu waktu yang untuk pertama kalinya cahaya putih terpancar di langit (diambil dari encyclopedy Britanica)[12].
Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat memahami bahwa sudut yang lebih besar dari 18, yaitu antara 18,5 sampai 20° adalah waktu gelap (waktu sebelum munculnya sinar pertama kali di ufuk).
Namun posisi matahari 18° di bawah ufuk ini belum bisa dijadikan patokan karena posisi matahari ditentukan berdasarkan kurva cahaya langit yang tentunya berdasarkan kondisi rata-rata atmosfer. Dalam kondisi tertentu sangat mungkin fajar sudah muncul sebelum posisi matahari 18° di bawah ufuk, misalnya saat tebal atmosfer bertambah ketika aktivitas matahari meningkat atau saat kondisi komposisi udara tertentu antara lain kandungan debu yang tinggi sehingga cahaya matahari mampu dihamburkan oleh lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Akibatnya, walau posisi matahari masih kurang dari 18° di bawah ufuk, cahaya fajar sudah tampak.
Berdasarkan observasinya, syeikh Muhammad Mamduh menetapkan bahwa fajar shadiq muncul pada sudut 15° dibawah ufuk. Ini sejalan dengan ISNA. Begitu juga sesuai dengan penanggalan organisasi Islam di University of East Anglia di kota Norwich , Inggris, yang disiapkan oleh para pakar falak Inggris muslim. Mereka tidak menggunakan sudut 18° padahal Inggrislah yang mempelopori pemilihan sudut ini dan menginformasikan kepada dunia. Karena itulah, para pakar falak Inggris muslim menganggap bahwa ada perbedaan antara Astronomical Twilight dan fajar shadiq[13].
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis mengambil jalan tengah yaitu menggunakan criteria 18° dibawah ufuk karena untuk mengantisipasi pelaksanaan waktu subuh sebelum masuk waktunya. Selain itu, para ahli falak harus memperhatikan hal-hal yang mempengaruhi percepatan waktu subuh tersebut saat menghitung waktu shalat subuh.
Jika memang tidak ada alat-alat hisab yang dapat digunakan, maka para ahli falak terseut cukup menentukan waktu subuh dengan melihat terbbitnya fajar. Dalam hal ini, para ahli falak harus bisa membedakan antara fajar kadzi dan fajar shodiq sehingga pelaksanaan shalat bisa tepat pada waktunya.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, 2008, Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Farhan, Mamduh, dkk, Koreksi Awal Waktu Subuh, 2010, Pustaka Qiblati: Malang
Harun, Yusuf, Pengantar Ilmu Falak, 2008, Yayasan Pena: Banda Aceh
Rachim, Abdur, Ilmu Falak ,1983, Liberty : Yogyakarta
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyyah, Pedoman Hisab Muhammadiyyah, 2009, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyyah: Yoguakarta
[1] Terbit yaitu saat piringan matahari sudah seluruhnya dibawah ufuk, yaitu ketika garis ufuk bersinggungan dengan tepi piringan matahari sebelah atas. Jarak garis ufuk ke titik pusat matahari besarnya adalah seperdua garis tengah matahari, karena garis tengah piringan matahari rata-rata adalah 32 derajat maka 32 x ½ = 16. ( Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak, 2008, Yayasan Pena: Banda Aceh, hal. 23)
[10]Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, 2008, Pustaka Pelajar: Yogyakarta , hal. 232
[11] Mamduh Farhan Al-Buhairi, opcit, hal. 192
[13] Mamduh Farhan Al-Buhairi, dkk, opcit, hal. 275
Komentar
Posting Komentar