SEJARAH MASJID RAUDLATUL MUTTAQIN
(Campurejo Sambit Ponorogo)
Masjid merupakan salah satu tempat ibadah yang digunakan oleh umat islam. Selain itu, masjid juga dimanfaatkan sebagai tempat-tempat pelaksanaan pembelajaran dan juga perkumpulan-perkumpulan keagamaan. Namun saat ini, seakan masjid tidak hanya difungsikan untuk beribadah saja melainkan sebagai tempat wisata. Hal ini banyak kita temukan di kota-kota besar, bahkan tampaknya justru lebih banyak yang memilih menggunakan masjid tersebut sebagai tempat wisata daripada beribadah. Bangunan masjid yang megah dengan keesotikannya, lebih sering terlihat sepi.
Namun, dalam artikel ini penulis hanya akan membahas historisitas masjid serta penentuan arah kiblat masjid tanpa mengkomaparasikannya lebih jauh dengan sisi lain dari masjid tersebut.
Dalam pembahasan masjid, seringkali ditemukan permasalahan perihal penentuan arah kiblat. Pada dasarnya, bukanlah bagaimana agar masjid tersebut bisa mengarah pada arah kiblat yang merupakan kiblat bagi umat islam seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 144. Namun permasalahan itu timbul setelah diketahui bahwa arah kiblat suatu masjid tersebut tidak mengarah ke arah kiblat. Bukan senang dengan koreksi tersebut namun justru sebagian besar lebih memilih menolak terhadap pembetulan itu sehingga muncullah permasalahan.
Selayang Pandang Masjid Raudlatul Muttaqin
Masjid Raudlatul Muttaqin merupakan sebuah masjid yang berdiri megah didaerah Campurejo, Sambit, Ponorogo. Tepatnya di dukuh Bibis II, RT 3 RW 1. Selain digunakan sebagai tempat shalat berjamaah, masjid tersebut juga digunakan untuk ngaji sorogan anak-anak Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) pada sore hari dan juga pengajian kitab kuning pada malam harinya. Selain itu, masjid ini juga digunakan untuk tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan masyarakat sekitar.
Di dekat masjid tersebut terdapat sebuah bangunan yang pada beberapa tahun silam, banyak anak yang menghuni tempat tersebut. Tepatnya bangunan tersebut merupakan pondok pesantren yang dibangun oleh pendiri majsid ini, yaitu pondok pesantren Riadlus Sholihin sebagai pondok putra dan beberapa tahun setelah putra pendiri pondok pesantren tersebut wafat, rumahnya juga dimanfaatkan sebagai pondok putri yang dikenal dengan pondok pesantren al-Hikmah. Berdasarkan cerita, pondok tersebut sempat ramai dengan santri yang datang dari berbagai penjuru daerah, diantaranya dari kota Trenggalek, Semboyan (Purwokerto, Jawa Tengah), dari kota Ponorogo sendiri serta masih banyak yang datang dari daerah-daerah yang lain.
Daerah sekitar masjid ini sudah penuh dengan perumahan kendati menurut ta’mir masjid, saat babat masjid ini belum ada perumahan sama sekali bahkan saat itu hanya berupa hutan dengan banyak tulang-belulang korban kompeni. Dahulu beberapa meter di belakang masjid tersebut terdapat sungai yang besar namun saat ini sungai tersebut tinggallah selokan kecil. Hal ini bukti bahwa memang penghuni area ini sudah bertambah drastis. Sehingga lahan-lahan kosong sudah tidak banyak ditemukan.
Babat Masjid
Masjid yang menjadi saksi bisu sejarah kemerdekaan Indonesia ini merupakan peninggalan dari kyai Syarqawi yang babat di daerah tersebut. Konon, masjid ini telah berdiri sekitar 200 tahun yang lalu yaitu saat Indonesia masih belum merdeka. Sehingga cerita yang diambil dari kisah babatnya masjid ini juga hanyalah seperti rangkaian cerita yang turun temurun terangkai dari para leluhur. Karena tidak adanya cerita tertulis dari kisah babat masjid ini. Selain itu, kisah-kisah yang didapat dari cerita mulut-kemulut, sepertinya terpotong-potong sehingga kurang jelas dalam penyampaiannya.
Masjid Raudlatul Muttaqin yang terletak di dukuh Bibis II desa Campurejo Kecamatan Sambit kabupaten Ponorogo ini didirikan oleh Kyai Syarqawi, seorang alim yang berasal dari Tegalsari, Ponorogo yaitu daerah pemukiman Kyai Ageng Besari yang merupakan Kyai guru dari Ronggo Warsito.
Dalam perjalanan hidupnya, Kyai Syarqawi telah berhasil menjadikan Nyai Munsyarif sebagai sahabat dalam hidup beliau sebelum akhirnya beliau menetap di daerah Campurejo, Ponorogo. Nyai Munsyarif merupakan putri dari Mbah Mat Karso yang merupakan putra dari Mbah Nur Kalam yang jika dirunut lebih jauh, Nyai munsyarif ini merupakan keturunan dari Jaka Tingkir.
Mbah Syarqawi sebagai peletak dasar dari masjid Raudlatul Muttaqin ini dikaruniai 5 putra yang juga tetap bermukim di Campurejo, Ponorogo. Hingga saat ini, secara turun temurun area masjid tersebut hanya dihuni oleh keturunan Mbah Syarqawi. Sehingga terasa sekali rasa kekeluargaan yang ada di daerah sekitar masjid Raudlatul Muttaqin ini.
Awalnya Kyai Syarqawi mengadakan perjalanan dan singgah di daerah Campurejo. Setelah sekian hari berada di daerah tersebut, kyai Syarqawi tidak langsung mendirikan rumah akan tetapi disana, Kyai Syarqawi bermaksud untuk mendirikan tempat ibadah, akhirnya beliau mendirikan masjid dengan bahan baku bambu yang dianyam secara rapi kemudian digunakan untuk dinding masjid tersebut atau dalam bahasa jawa biasa disebut dengan Gedhek.
Dalam usahanya untuk mendirikan masjid ini, Kyai Syarqawi tidak sendirian namun beliau di bantu oleh muridnya yang setia yaitu Mbah Irsyad dari Kradenan, Ponorogo. Selain mbah Irsyad, masih banyak lagi santri-santri yang belajar kepada beliau. Dengan banyaknya santri yang datang kepada beliau, akhirnya beliau membangun kembali sebuah gothaan yang terbuat dari kayu. Baik lantai, atap, serta dinding dan juga pintu semuanya terbuat dari kayu. Disinilah ditemukan keunikan serta ke-kunoan dari bangunan yang didirikan oleh Kyai Syarqawi.
Bangunan yang digunakan untuk bermukim oleh santri pondok pesantren Riadlut Tholibin yang tidak lain merupakan nama dari pondok pesantren didikan Kyai Syarqawi ini, masih tetap ramai sampai Kyai Syarqawi meninggal namun mulai beberapa tahun terakhir, pesantren ini hanya tinggal nama meski masih ada yang bermukim disana namun kegiatan belajar mengajar disana seperti telah sirna. Hanya saja pada malam hari seusai shalat maghrib, masjid ini masih digunakan untuk tempat sorogan anak-anak sekitar masjid. Selain itu, pada setelah dibangun sebuah TPQ pada 2003 kemarin, masjid ini juga kembali ramai dengan kegiatan belajar mengajar disore hari.
Perkembangan Masjid Raudlatul Muttaqin
Masjid Raudlatul Muttaqin yang awalnya hanya terbuat dari bambu dan dikelilingi oleh lebatnya hutan, saat ini telah menjelma menjadi sebuah bangunan yang megah. Hal ini karena adanya perombakan-perombakan yang terjadi di wajah masjid tersebut. Dikatakan wajah karena meskipun dilakukan pembaharuan-pembaharuan, namun pada dasarnya keotentikan masjid tersebut masih senantiasa terjaga. Hal ini bisa diketahui jika kita telah memasuki area masjid tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kyai Umar Dzarkasyi, seorang Ta’mir serta Kyai masjid tersebut, beliau mengatakan bahwa meski sering dijadikan poerbaikan-perbaikan, namun tulang dari masjid tersebut belum pernah berubah.
Berawal dari bambu, masjid ini akhirnya dipugar beberapa tahun setelah kemerdekaan RI yaitu dengan penggantian dinding gedhek menjadi tembok. Yang dilanjutkan dengan penggantian ubinnya dengan tekel dan saat ini masjid tersebut sudah di tutup dengan keramik putih yang tampak suci.
Permasalahan Arah Kiblat Masjid Raudlatul Muttaqin
Masjid yang didirikan oleh Kyai Syarqawi ini, belum diketahui secara jelas seperti apakah awal penentuan arah kiblatnya. Hal ini dikarenakan keterputusan cerita dan juga kurangnya perhatian masyarakat daerah tersebut akan kisah babatnya daerah itu. Khususnya sejarah didirikannya masjid Raudlatul Muttaqin yang juga sebagai awal kehidupan didaerah tersebut.
Jika memperhatikan keadaan masjid saat ini yang belum dilakukan perombakan terhadap arah kiblatnya, dapat dilihat dengan jelas bahwa masjid tersebut telah menghadap ke arah barat. Miring sedikit keutara. Namun menurut Bapak Umar Salim, Petugas pengukur arah kiblat dari Depag Ponorogo, beliau pernah mengecek arah kiblat masjid Raudlatul Muttaqin ini dan hasilnya, arah kiblat masjid tersebut kurang miring keutara. Pengecekan ini beliau lakukan saat mengikuti sima’an Al-qur’an MANTAB yang dilaksanakan di masjid Raudlatul Muttaqin pada Syawal 2003 lalu.
Selain itu, pada saat Rashdul Qiblat 16 juli 2011 kemarin, penulis juga melakukan pengukuran arah kiblat di masjid tersebut dan hasilnya juga membuktikan bahwasannya arah kiblat masjid Raudlatul Muttaqin sudah menghadap ke arah barat dengan sedikit miring keutara namun kemiringannya masih kurang.
Berdasarkan pengukuran arah kiblat pada 16 juli 2011 pukul 16. 26 WIB kemarin , diketahui bahwasannya arah kiblat masjid Raudlatul Muttaqin ini miring (mlenceng) 8° 34’ 5.43” dari arah kiblat yang ada saat ini. Arah kiblat masjid tersebut dihitung berdasarkan data lintang 7° 54’ 00” LS dan data bujur 111° 30’ 00” yang menunjukkan hasil azimuth kiblat 294° 27’ 41” (UTSB) / 24° 27’ 41” (BU) dan 65’ 32’ 18.57” (UB).
Keberlangsungan Permasalahan Arah Kiblat Masjid
Pada dasarnya, pada 16 juli 2011 kemarin, penulis hanya ingin mencoba menghitung arah kiblat berdasarkan hazanah keilmuannya dan juga bermaksud untuk mencoba mengaplikasian ilmu yang pernah didapat untuk mengoreksi masjid yang menemaninya beribadah sejak belia dan belum ada tindak lanjut dari penulis akan ketidak sesuaian arah kiblat yang ada saat ini dengan arah kiblat yang didasarkan ilmu pengetahuan. Sehingga belum jelas bagaimana respon masyarakat akan permasalahan ini.
Namun keadaan masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi keta’dziman terhadap para sesepuh sepertinya akan menjadi permasalahan tersendiri untuk memperbaiki arah kiblat. Selain itu, biground masyarakat yang hampir seratus persen pesantren, juga akan menjadi penghambat tersendiri karena berdasarkan pengalaman penulis, selama ini masyarakat daerah tersebut minim kepercayaan terhadap mahasiswa.
Sumber Data
Sekiranya kurang layak kiranya jika penulis menuliskan artikel mengenai Masjid Raudlatul Muttaqin ini tanpa adanya keterangan yang jelas akan sumber berita dari masjid tersebut sebagai Tugas Akhir Semesternya dalam mata kuliah Perangkat Rukyat I. Hari minggu 1 desember 2012, tepatnya satu hari sebelum Ujian Akhir Semester berlangsung, penulis melakukan wawancara kepada Bapak Umar Zarkasyi selaku Ta’mir masjid Raudlatul Muttaqin dengan memanfaatkan pesawat telephone. Karena, kedudukan penulis yang berada di Semarang serta kedudukan narasumber yang berada di Ponorogo, tidak memungkinkan untuk melakukan wawancara langsung mengingat waktu tinggal menghitung hari dan juga penulis harus mengikuti ujian akhir sehingga tidak bisa datang langsung ke kota Ponorogo.
Dalam wawancara tersebut, beliau tidak sedang sendirian melainkan bersamanya juga ada bapak Ahmad Sa’id yang merupakan kakak dari bapak Umar Zarkasyi yang juga salah satu ta’mir masjid tersebut.
Selain itu, penulis juga mengkompare bahan dari narasumber dengan cerita-cerita yang pernah dia dengar selama masa perjalanannya di desa tersebut.
Komentar
Posting Komentar